Penatalaksanaan Limfadenitis
Penatalaksanaan limfadenitis dengan observasi dapat dipertimbangkan pada nodus <3 cm, durasi <2 minggu, mobile, dan asimtomatik. Selain observasi, modalitas tata laksana yang dapat dipilih antara lain medikamentosa, operatif, radiasi, serta kemoterapi.[2,4,7]
Observasi
Observasi dapat dipertimbangkan pada penderita limfadenitis bilateral dengan onset kurang dari 2 minggu, ukuran kurang dari 3 cm, bersifat mobile, dan tidak menunjukkan adanya gejala. Pada limfadenitis akibat virus, yang umum terjadi pada anak, keluhan akan swasirna tanpa diperlukan intervensi khusus.[2,7]
Penelitian menunjukan bahwa terapi observasi efektif pada kasus limfadenitis mikobakterium non–tuberkulosis. Walaupun demikian, dapat timbul komplikasi ringan seperti bekas luka, pigmentasi, dan permukaan kulit tidak rata.[2]
Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan berdasarkan etiologi. Antibiotik dapat dipertimbangkan pada nodus lebih dari 3 cm, unilateral, tampak eritema, dan nyeri saat ditekan. Pemberian antibiotik empiris sebaiknya ditargetkan untuk patogen yang umum, termasuk S. aureus dan group A Streptococcus.
Terapi empiris dengan clindamycin patut dipertimbangkan. Kotrimoksazol umumnya efektif untuk infeksi methicillin-resistant S.aureus (MRSA), tetapi tidak efektif untuk infeksi group A Streptococcus. Durasi pemberian antibiotik umumnya 7–10 hari.[2,7,31,41]
Apabila penderita mengalami gejala selulitis, pilihan antibiotiknya adalah nafsilin, cefazolin, dan clindamycin. Ampicillin merupakan terapi yang direkomendasikan pada limfadenitis yang disebabkan oleh Streptococcus grup B. Pada limfadenitis TB, pemberian regimen tata laksana tuberkulosis sesuai tuberkulosis ekstraparu dapat dipertimbangkan bila diagnosis sudah ditegakkan.
Infeksi Francisella tularensis dapat diterapi dengan streptomycin, doxycycline, dan ciprofloxacin. Infeksi bakteri anaerob dapat diobati dengan clindamycin dan metronidazole. Pada kasus yang disebabkan oleh keganasan, kemoterapi dan radioterapi diberikan sesuai pedoman tata laksana keganasan yang diderita.[2,7,31,41]
Tindakan Operatif
Pada beberapa kasus, tindakan operatif dapat dilakukan apabila pemberian medikamentosa tidak memberi respon adekuat. Tindakan insisi drainase dilakukan pada kasus limfadenitis yang sudah mengalami supurasi. Kondisi ini paling banyak disebabkan oleh etiologi bakteri, terutama Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus.
Teknik aspirasi dilakukan pada kasus limfadenitis supuratif yang berukuran <3 cm dan apabila tata laksana tersebut gagal, tindakan eksisi dapat dipilih. Pada kasus yang disebabkan oleh mikobakterium non–tuberkulosis, eksisi nodus limfe merupakan terapi pilihan meskipun berisiko menyebabkan cedera pada nervus fasial.[6,7,42]
Radiasi dan Kemoterapi
Tindakan ini dilakukan pada kasus limfadenitis yang disebabkan oleh keganasan. Dasar penegakan diagnosis keganasan adalah temuan klinis yang dikonfirmasi dengan hasil biopsi.
Kemoterapi juga diindikasikan pada penderita limfadenitis karena mycobacterium non–tuberkulosis yang tidak dapat menjalani operasi karena lokasi nodus limfe yang dekat dengan pembuluh darah atau nervus fasialis. Durasi kemoterapi yang direkomendasikan pada kasus ini adalah selama 6–12 bulan.[2,3,31]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli