Epidemiologi Furunkulosis
Data epidemiologi menunjukkan bahwa agen infeksi yang paling sering menyebabkan furunkulosis adalah Staphylococcus aureus. Pasien laki-laki lebih berisiko untuk mengalami furunkulosis.
Global
Infeksi kulit dan jaringan lunak, misalnya furunkulosis, folikulitis, dan selulitis, merupakan infeksi bakteri yang paling sering terjadi baik pada pasien rawat jalan maupun rawat inap. Namun, insidensinya secara global belum diketahui secara pasti. Hal ini mungkin disebabkan manifestasi klinis dan lama infeksi yang variatif. Namun, diperkirakan sekitar 10–20% populasi global merupakan karier Staphylococcus aureus.
Insidensi diketahui meningkat pada populasi yang berusia lebih tua dan pada pasien immunocompromised, misalnya akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Di Amerika Serikat, diagnosis infeksi kulit dan jaringan lunak pada pasien rawat inap adalah sebanyak 2%. Infeksi kulit dan jaringan lunak lebih sering dialami pasien laki-laki.
Sebuah studi kasus kontrol menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus ditemukan pada 100% sampel apusan hidung pasien dengan furunkulosis nonrekuren, dan 89% pada pasien furunkulosis rekuren.[1,11,13,20]
Indonesia
Belum terdapat data epidemiologi nasional furunkulosis di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) menyatakan penyebab tersering infeksi kulit dan jaringan lunak di Indonesia adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Berdasarkan data tersebut, populasi di Indonesia diperkirakan berisiko terkena furunkulosis.[5]
Mortalitas
Furunkulosis sendiri jarang menyebabkan mortalitas. Namun, mortalitas dapat terjadi jika furunkulosis berkembang menjadi sepsis atau meningitis. Infeksi juga dapat menyebar melalui peredaran darah dan mengakibatkan osteomyelitis, endokarditis, atau abses otak. Terjadinya hal-hal tersebut tentu akan meningkatkan risiko mortalitas pasien.[5,9]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra