Diagnosis Herpes Zoster
Diagnosis penyakit herpes zoster utamanya dapat ditegakkan secara klinis dimana akan tampak adanya vesikel dan ruam kulit bergerombol yang tersebar sesuai dermatom. Pemeriksaan penunjang seperti tes Tzanck dan PCR dapat membantu menegakkan diagnosis bila gejala klinis meragukan, misalnya pada pasien dengan karakteristik nyeri menyerupai herpes zoster tanpa disertai terbentuknya lesi.[1]
Anamnesis
Pasien herpes zoster umumnya memiliki riwayat paparan atau infeksi virus varicella zoster (VVZ) sebelumnya. Keluhan saat datang dengan herpes zoster adalah nyeri yang disertai munculnya lepuh bergerombol pada kulit yang tersebar sesuai dermatom.[1,4]
Stadium Pre Eruptif
Stadium pre eruptif ditandai dengan adanya gejala nyeri yang terasa seperti terbakar pada dermatom tertentu. Nyeri ini dapat dirasakan hingga 2 hari sebelum munculnya erupsi pada kulit. Selain nyeri, gejala lain yang dirasakan pasien pada stadium pre eruptif adalah sakit kepala, kelelahan, serta fotofobia.[1]
Stadium Akut Eksudatif
Stadium akut eksudatif dapat berlangsung selama 2 hingga 4 minggu. Stadium ini ditandai dengan terbentuknya vesikel multipel yang memiliki lekukan pada bagian tengahnya (umbilicated). Dalam perkembangannya, vesikel dapat pecah, mengalami ulserasi, dan mengering.
Lesi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya secara jelas terbatas pada satu daerah yang dipersarafi ganglion sensorik. Lesi paling sering terjadi pada daerah dermatom ganglion torakalis. Erupsi kulit yang berat dapat menimbulkan gejala sisa berupa makula hiperpigmentasi dan jaringan parut.
Stadium akut eksudatif merupakan stadium yang paling menular. Selain itu, nyeri dermatomal yang terasa biasanya memberat bahkan tidak membaik dengan pemberian antinyeri nonsteroid, seperti ibuprofen.[1]
Stadium Kronik
Stadium kronik infeksi VZV dapat berlangsung hingga lebih dari empat minggu hingga bertahan dalam beberapa bulan. Pada stadium ini, nyeri dermatomal dapat bersifat menetap. Selain itu, pasien juga dapat mengalami rasa nyeri yang bertahan walaupun tanpa stimulus nyeri (disestesia), parestesia, hingga shock – like sensation.[1]
Faktor Risiko
Faktor risiko harus digali dalam anamnesis seperti usia, riwayat vaksinasi sebelumnya, penyakit kronis seperti kanker, kondisi imunokompromais seperti infeksi HIV, dan konsumsi obat-obatan imunosupresan seperti steroid dalam jangka panjang. Riwayat transplantasi, seperti transplantasi ginjal atau transplantasi jantung, juga merupakan faktor risiko.
Pada pasien imunokompromais, perjalanan penyakit dan manifestasi klinis dapat atipikal, berulang, berlangsung lebih lama (6 minggu), cenderung kronik persisten, dan dapat menyebar ke organ internal seperti paru, hati dan otak. Gejala prodromal lebih hebat, erupsi kulit lebih berat, lebih nyeri, dan komplikasi sering terjadi.[1,4]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan gambaran berupa lesi pada kulit yang mungkin timbul dalam bentuk eritema, makula, dan papula, yang dapat berubah menjadi vesikel dan pustula. Pada infeksi herpes zoster yang khas, lesi umumnya bergerombol sesuai dengan dermatom dan hampir selalu unilateral.[1,4]
Pasien Geriatri
Pada pasien geriatri, tampilan lesi biasanya tidak khas. Infeksi herpes zoster pada pasien geriatri dapat memberikan gambaran hanya berupa bintik kecil pada dermatom maupun lesi makulopapular tanpa vesikel. Variasi klinis herpes zoster yang paling sering terlihat pada pasien geriatri adalah zoster sine herpete, herpes zoster abortif, sindrom Ramsay Hunt, herpes zoster oftalmikus, serta herpes zoster generalisata.[3]
Nervus Fasialis
Pemeriksaan fisik terkait nervus fasialis perlu dilakukan apabila terdapat dugaan sindrom Ramsay Hunt untuk mencari gejala gangguan pendengaran dan keseimbangan, paralisis fasialis, gangguan lakrimasi, serta gangguan mengecap. Pemeriksaan fisik terkait gangguan pada mata perlu dilakukan apabila terdapat kecurigaan adanya komplikasi oftalmik seperti konjungtivitis, keratitis, uveitis, hingga panoftalmitis.[1,4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit herpes zoster antara lain herpes simpleks, dermatitis venenata, dan dermatitis kontak.
Herpes Simpleks
Herpes simpleks merupakan infeksi menular seksual, sedangkan herpes zoster tidak. Untuk membedakan keduanya, perlu ditanyakan mengenai riwayat seksual pasien. Selain itu, herpes simpleks tidak mengikuti dermatoma tertentu, sehingga akan berbeda dengan herpes zoster yang penyebarannya terbatas pada satu dermatoma.
Dermatitis Venenata
Dermatitis venenata yang terdistribusi secara dermatomal akan sulit dibedakan dengan herpes zoster. Meski demikian, pada dermatitis venenata pasien memiliki riwayat kontak dengan serangga tertentu sebelum terbentuknya lesi. Selain itu, pada dermatitis venenata tidak ditemukan limfadenopati regional dan tidak ada rasa terbakar pada lesi.
Dermatitis Kontak
Untuk membedakan dermatitis kontak lokalisata dengan herpes zoster, dapat ditanyakan adanya riwayat kontak dengan alergen atau iritan tertentu. Dermatitis kontak umumnya gatal, lesi tidak tersebar dermatomal, dan tidak memiliki kelompok rentan khusus.
Dermatitis Herpetiformis
Pada dermatitis herpetiformis, lesi mirip seperti herpes zoster namun biasanya pasien memiliki riwayat intoleransi gluten. Pasien juga tidak mengalami gejala sistemik dari infeksi virus, seperti nyeri dan demam.[1,3-5]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan bila gejala klinis meragukan antara lain pemeriksaan apusan Tzanck, biopsi kulit, direct fluorescent assay (DFA), serta pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).[1,4]
Pewarnaan Tzanck
Pemeriksaan Tzanck pada herpes zoster memiliki sensitivitas 84%. Hasil positif pada pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya sel datia berinti banyak (multinucleated giant cell). Walaupun pemeriksaan Tzanck dapat membantu klinisi membedakan efloresensi lesi herpes zoster dengan lesi vesikuler lainnya, pemeriksaan ini tidak mampu membedakan antara VVZ dan herpes simpleks.[1,3,4]
Biopsi Kulit
Pada pemeriksaan biopsi kulit, herpes zoster akan memperlihatkan gambaran adanya vesikel intraepidermis yang disertai degenerasi sel epidermis, akantolisis, dan infiltrat limfosit pada dermis atas.[1,3,4]
Direct Fluorescent Assay dan PCR
Pemeriksaan direct fluorescent assay (DFA) mampu membedakan antara infeksi VVZ dengan herpes simpleks. Kekurangan dari pemeriksaan DFA adalah kurang sensitif. Pemeriksaan dengan sensitivitas sangat tinggi dan dijadikan baku emas dalam diagnosis herpes zoster adalah PCR. Selain cepat, sensitivitas pemeriksaan PCR juga tinggi hingga mencapai 97–100 %. Sampel pemeriksaan bisa didapatkan dari kerokan dasar vesikel atau lesi ketika berbentuk krusta.[7]
Variasi Klinis
Pada beberapa kasus, infeksi herpes zoster tidak diikuti adanya erupsi kulit dan tidak memberikan gejala yang khas. Beberapa variasi klinis lain yang dapat timbul adalah herpes zoster oftalmikus dan sindrom Ramsay Hunt.
Herpes Zoster Oftalmikus (HZO)
HZO merupakan keterlibatan infeksi VVZ pada nervus trigeminalis divisi oftalmikus (V1). HZO merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang oftalmologi karena berpotensi menyebabkan kebutaan pada pasien. Sekitar 50–85% kasus HZO memberikan gejala klinis pada mata seperti konjungtivitis, uveitis, keratitis, maupun retinitis.
Selain kebutaan, beberapa komplikasi lain yang mungkin timbul adalah flegmon orbitalis, nekrosis retina akut, uveitis anterior, keratitis epitelial punktata, serta inflamasi dan opasifikasi kornea.[1,4]
Sindrom Ramsay Hunt (Herpes Zoster Oticus)
Sindrom Ramsay Hunt terjadi akibat adanya keterlibatan VZV pada ganglion genikulata dan nervus kranialis yang memberikan gejala palsi wajah unilateral, otalgia, serta nyeri pada bagian aurikula atau kanalis auditorius.
Gejala tinitus, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, dan nyeri wajah dapat timbul apabila terdapat keterlibatan nervus vestibulokoklear atau nervus trigeminal. Selain itu, keterlibatan dengan nervus glosofaringeal atau nervus vagus dapat memberikan gejala disfagia, suara serak, hingga gangguan jantung.[1,4,7]
Variasi Lainnya
Beberapa variasi lain dari herpes zoster adalah herpes zoster generalisata, deep HZ, purpuric HZ, dan HZ pada sistem saraf pusat. Setiap variasi klinis memiliki karakteristik khas masing–masing dan menginfeksi kelompok individu dengan komorbid tertentu.
Sebagai contoh, herpes zoster generalisata dan infeksi herpes zoster pada sistem saraf pusat banyak terjadi pada pasien imunodefisiensi. Pada pemeriksaan pencitraan vessel wall magnetic resonance (MR) pasien dengan infeksi herpes zoster pada saraf pusat dapat terlihat gambaran vaskulitis intra dan ekstrakranial, penyangatan dan penebalan dinding pembuluh darah, edema, serta penyangatan perivaskular. Beberapa gejala infeksi herpes zoster pada sistem saraf pusat adalah kebingungan, sakit kepala, serta kelainan cara berjalan. Lebih lanjut lagi, vaskulopati akibat VVZ dapat menyebabkan stroke akut.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani