Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnson
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson atau Stevens-Johnson Syndrome meliputi tiga komponen, yaitu mengidentifikasi dan penghentian segera konsumsi obat pencetus, terapi suportif, dan terapi spesifik dengan imunosupresan seperti siklosporin dan kortikosteroid. Keberhasilan terapi sindrom Stevens-Johnson sangat bergantung pada kecepatan identifikasi dan derajat keparahan lesi.[1,2,10]
Penghentian Obat Penyebab
Mengidentifikasi dan menghentikan konsumsi obat penyebab sedini mungkin merupakan faktor terpenting dalam mengurangi mortalitas pasien. Terkadang sulit untuk mengidentifikasi obat pencetus, terutama pada pasien yang mengonsumsi obat dalam jumlah banyak. Angka kematian dapat diturunkan jika pemberhentian obat yang dicurigai sebagai pencetus dilakukan langsung saat lesi pertama muncul.
Waktu paruh obat yang panjang, metabolit reaktif persisten, serta fungsi ginjal dan hepar yang terganggu dapat memperburuk progresi penyakit meskipun obat sudah diberhentikan. Pada kasus seperti ini, dialisis dan plasmaferesis dapat digunakan untuk mengeliminasi obat seluruhnya dari tubuh pasien, terutama jika sindrom Stevens-Johnson disebabkan oleh tipe obat kerja lambat.[2,10]
Terapi Gawat Darurat
Pasien sindrom Stevens-Johnson mengalami disfungsi thermoregulasi, kehilangan cairan tubuh masif, dan ketidakseimbangan hemodinamik. Oleh sebab itu, perlu diberikan resusitasi cairan.
Peranan utama Unit Gawat Darurat adalah untuk mendiagnosis sindrom Stevens-Johnson, memberikan terapi untuk menyelamatkan jiwa, dan mengkonsultasikan ke dokter spesialis kulit. Perlu diperhatikan bahwa sindrom Stevens-Johnson dapat menyebabkan komplikasi berat seperti sepsis dan gagal ginjal akut.[10,11]
Medikamentosa
Karena sindrom Stevens-Johnson berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas, terapi imunosupresan dianggap dapat bermanfaat. Meski demikian, penggunaan terapi imunosupresan, seperti siklosporin dan steroid, masih menjadi kontroversi.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah salah satu obat yang paling kontroversial untuk sindrom Stevens-Johnson. Beberapa ahli menganggap pemakaian steroid bermanfaat karena efek imunosupresif, antiinflamasi, dan antiapoptosis yang dimilikinya. Namun, beberapa ahli lainnya menganggap bahwa penggunaan steroid dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi, sepsis, ulkus gastrointestinal, serta pemulihan luka dan perawatan yang lebih lama.[2,11,12]
Secara umum, kortikosteroid diberikan dalam 48 jam pertama setelah lesi muncul dan dihentikan dalam 3-5 hari. Kortikosteroid yang bisa digunakan adalah dexamethasone pulsus intravena dosis tinggi 1,5 – 2 mg/kg.[11,12]
Siklosporin A
Siklosporin A menghambat aktivasi sel T CD4+ dan CD8+ dan selanjutnya menghambat pelepasan protein sitotoksik seperti granzyme B, perforin, dan granulysin, yang berperan penting dalam kematian keratinosit pada sindrom Stevens-Johnson. Selain itu, siklosporin A memiliki efek antiapoptosis.
Siklosporin dapat digunakan dalam dosis 3 mg/kg/hari selama 10-24 hari. Dosis kemudian diturunkan secara bertahap selama 2-4 minggu berikutnya. Beberapa studi melaporkan bahwa pasien sindrom Stevens-Johnson yang diobati dengan siklosporin mengalami peningkatan kecepatan epitelisasi yang signifikan dan pengurangan lama tinggal di rumah sakit.[3,11,14]
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin Intravena (IVIG) merupakan diduga dapat menghentikan proses apoptosis pada sindrom Stevens-Johnson. IVIG digunakan dalam dosis tinggi, minimal 2g/kg/hari selama 3 sampai 4 hari. IVIG telah dilaporkan efektif meningkatkan kesintasan pasien.
Penggunaan IVIG harus dihindari pada pasien dengan insufisiensi renal, gangguan jantung, dan defisiensi IgA.[2,3,10-12]
Plasmaferesis
Plasmaferesis dilakukan untuk menghilangkan obat, metabolit obat, dan sitokin dari pasien. Beberapa serial kasus menunjukkan terapi plasmaferesis aman dan memberi luaran klinis yang baik.[16]
Terapi Suportif
Hingga saat ini, belum ada baku emas perawatan luka untuk sindrom Stevens-Johnson. Secara umum, lesi dirawat luka dengan cairan salin steril dan antimikrobial topikal. Jaga suhu ruang perawatan pada kisaran 30-32°C. Jika dianggap perlu, dapat dilakukan debridement untuk menyingkirkan jaringan nekrotik dan lesi ditutup dengan dressing yang bersifat non-adherent.
Berikan pasien terapi cairan dengan larutan elektrolit seperti cairan salin normal 0,7 ml/kg per persen luas permukaan tubuh, serta larutan albumin 5% 1 ml/kg per persen luas permukaan tubuh Target pemberian terapi cairan adalah menjaga output urin sebanyak 50-80 ml per jam.
Pasien juga harus diberikan diet khusus berupa diet cair, sebanyak 1500 kalori dalam 1500 ml pada 24 jam pertama. Kemudian, ditambahkan 500 kalori setiap harinya hingga mencapai 3500-4000 kalori per hari. Pemberian melalui selang nasogastrik digunakan apabila pasien tidak dapat makan.
Lakukan juga monitoring infeksi. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, antibiotik empiris harus diberikan secepatnya.[1,10,11]
Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta