Diagnosis Toxic Epidermal Necrolysis
Dasar penegakan diagnosis toxic epidermal necrolysis (TEN) adalah temuan klinis yang didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta ditunjang dengan temuan histologi.[1,11]
Anamnesis
Pada anamnesis, pasien biasanya mengeluhkan batuk, nyeri mata, tidak nyaman saat menelan, rhinorrhea, demam, anoreksia, dan malaise selama beberapa jam atau hari sebelum keluhan kulit muncul.
Lesi kulit sering terjadi pertama kali di daerah presternal, wajah, telapak tangan dan telapak kaki, berupa bercak kemerahan dan sulit dibedakan dengan lesi kulit lainnya. Pasien juga sering mengeluhkan lesi pada mukosa mulut, organ genital, dan okuler. Gejala pernapasan dan pencernaan juga dapat menyertai pasien pada beberapa kasus. Seiring dengan progresivitas penyakit, penderita akan mengeluhkan pengelupasan kulit yang diawali dengan vesikel atau bula.[1,2,5]
Riwayat penggunaan obat, terutama yang risiko tinggi menyebabkan TEN, perlu ditanyakan. Riwayat vaksinasi MMR, infeksi dengue, dan transplantasi juga perlu karena juga dapat menyebabkan TEN walaupun lebih jarang.[1,2]
Pemeriksaan Fisik
Gambaran yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik berbeda tergantung dari fase toxic epidermal necrolysis.[2]
Prodromal
Masa prodromal biasa terjadi 48-72 jam dan dapat berlangsung hingga beberapa minggu. Gejala prodromal yang biasa dialami, seperti demam, batuk, rhinorrhea, konjungtivitis, gejala pernapasan, pencernaan, dan malaise. Keterlibatan mukosa mulut, genital dan mata dijumpai pada 90% kasus.[1,2]
Nekrolisis
Lesi diawali dengan eksantem kulit yang bersifat diskret dan morbiliformis. Eksantem yang bersifat diskret akan mengalami konfluensi setelah 4 hari dan membentuk bula yang bersifat tegang. Penderita akan mengalami rasa nyeri, serta terbakar yang semakin dieksaserbasi dengan penekanan.
Pengelupasan pada TEN paling parah terjadi pada daerah yang sering mendapat tekanan, seperti bokong dan punggung. Lesi kulit terjadi pada >30% luas permukaan tubuh.[1-3]
Keterlibatan mukosa terjadi pada sebagian besar kasus dan paling sering terjadi pada mukosa orofaring, mata, genital, dan anus. Meskipun tidak ada keterkaitan keparahan lesi mukosa dengan kulit, keterlibatan mukosa dapat menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan pada penderita. Mukosa yang mengalami proses inflamasi dapat menyebabkan gangguan berkemih, pencernaan, dan penglihatan tergantung dari lokasi mukosa yang terlibat.[2]
Reepitelisasi
Reepitelisasi membutuhkan waktu 1-3 minggu. Pada fase ini, kuku dapat mengalami pelepasan atau disebut sebagai onikomadesis. Proses penyembuhan berjalan lebih lambat pada daerah mukosa, area tubuh yang sering mendapat tekanan, serta kulit yang mengalami maserasi dan infeksi.[1,2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding penyakit toxic epidermal necrolysis (TEN), antara lain Sindrom Steven-Johnson (SJS) atau SJS-TEN, eritema multiforme, dan staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS).[1-3]
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan SJS-TEN
Meskipun disebabkan oleh etiologi dan memberikan gambaran klinis yang serupa, sindroma Stevens Johnson dapat dibedakan dengan TEN berdasarkan luas permukaan tubuh yang mengalami kelainan. Pada SJS, pengelupasan kulit terjadi pada ≤10%, sedangkan pada kasus SJS-TEN luas permukaan tubuh yang mengalami gangguan adalah sebesar 11-30%. Kasus TEN dapat ditegakkan apabila kelainan kulit terjadi pada >30% luas permukaan tubuh.[1,3]
Eritema Multiforme
Kondisi eritema multiforme dapat dibedakan dengan penyakit TEN melalui etiologi dan gambaran klinis. Eritema multiforme paling banyak disebabkan oleh infeksi, terutama virus herpes simpleks dan dapat sembuh secara swasirna. Penyakit ini memiliki ciri khas berupa lesi target dengan 3 bagian penting, yaitu area merah tua di tengah, zona edematosa yang berwarna merah muda dan pucat, serta cincin merah di bagian terluar. Keterlibatan kulit juga tidak seluas penyakit TEN.[1,11]
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
Kondisi staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit yang ditandai pengelupasan kulit akibat toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus dan banyak dialami oleh anak-anak. Penyakit ini dapat dibedakan dengan TEN karena tidak melibatkan mukosa dan ditunjang dengan pemeriksaan biopsi yang menunjukkan lepuh intraepidermal.[11]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus toxic epidermal necrolysis (TEN) jarang diperlukan untuk diagnosis. Pemeriksaan penunjang bisa digunakan untuk mengidentifikasi agen pencetus, menyingkirkan diagnosis banding, serta evaluasi progresivitas penyakit dan tata laksana.[1,5,11]
Pemeriksaaan Laboratorium
Keterlibatan kulit pada penyakit TEN dapat menyebabkan hilangnya cairan dalam jumlah besar. Penilaian kondisi tersebut dapat dilakukan dengan pemeriksaan fungsi ginjal, jantung, dan elektrolit yang dapat menunjukkan adanya hipoalbumin, hiponatremia, peningkatan mikroalbumin urin, dan penurunan fungsi ginjal.
Pemeriksaan darah yang menunjukkan neutropenia, berasosiasi dengan tingkat mortalitas pada penderita TEN.[1,3,5,11]
Biopsi
Pemeriksaan biopsi pada penyakit toxic epidermal necrolysis digunakan untuk membantu penegakan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pada TEN, biopsi akan menunjukkan gambaran apoptosis keratinosit luas dengan nekrosis sel pada seluruh bagian epidermis, disertai dengan lepuh subepidermal akibat pemisahan dermo-epidermal junction. Keadaaan inflamasi yang terjadi pada kulit ditunjukkan dengan keberadaan sel CD8+ di epidermis dan CD4+ di dermis.[2,11]
Uji Cukit Kulit
Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk mengidentifikasi etiologi atau zat yang diduga mencetuskan TEN. Meskipun terbukti aman, spesifitas dan sensitivitas pemeriksaan tergolong rendah.[3]
In-vitro Lymphocyte Transformation Testing
Serupa dengan uji cukit kulit, pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan agen pencetus. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan dalam 1 minggu sejak onset gejala, namun bukan pemeriksaan rutin dan memiliki sensitivitas yang rendah.[3,11]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri