Penatalaksanaan Urtikaria
Dalam banyak kasus, penatalaksanaan tidak diperlukan untuk urtikaria, karena lesi kulit sering membaik dalam beberapa hari. Menghindari pemicu, jika diketahui, merupakan pendekatan penanganan terbaik. Farmakoterapi lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin seperti loratadine dan fexofenadine. Antagonis reseptor leukotrien, antihistamin potensi tinggi, dan kortikosteroid jangka pendek dapat digunakan sebagai adjuvan bila perlu.
Pada urtikaria kronis refrakter, rujukan ke spesialis sebaiknya dilakukan. Pasien mungkin memerlukan terapi lebih lanjut seperti omalizumab atau siklosporin.[1-4]
Identifikasi dan Penanganan Kegawatdaruratan
Apabila pasien urtikaria datang dengan keluhan penyerta, seperti sesak napas, nyeri abdomen hebat, bengkak tubuh, dan penurunan kesadaran maka klinisi harus bertindak cepat.
Pasien pada awalnya dapat diposisikan terlentang dengan posisi kaki lebih tinggi, diberikan oksigen aliran tinggi dan pemasangan jalur intravena. Apabila terdapat obstruksi napas akibat edema laring atau terjadi syok, dapat diberikan epinefrin (1:1000) dengan dosis 0,01 mg/kg atau 0,3 mg secara intramuskuler dan dapat diulang setiap 10-15 menit. Pertimbangkan intervensi untuk patensi jalan napas, misalnya intubasi.[1,20]
Apabila urtikaria merupakan bagian dari reaksi anafilaksis, berikan penanganan sesuai protokol penanganan anafilaksis.[1,3,6]
Identifikasi dan Penghindaran Faktor Pencetus
Pada kasus urtikaria yang sulit dalam mengidentifikasi penyebab, maka disarankan untuk menuliskan food and symptom journal. Hal ini bertujuan untuk membantu pasien memantau hal-hal yang dapat menjadi pencetus urtikaria.
Apabila faktor pencetus diketahui, pasien disarankan untuk menghindari pemicu urtikaria, seperti menghindari hawa dingin atau tekanan. Apabila urtikaria disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, seperti ibuprofen dan diklofenak, pasien dapat melakukan percobaan penghentian obat terlebih dahulu atau penggantian obat.[6,9]
Prinsip Terapi Urtikaria Akut dan Kronik
Pada kebanyakan kasus, golongan antihistamin H1 reseptor antagonis sudah cukup untuk menangani kasus urtikaria akut. Jika respon dirasa belum adekuat, maka dosis dapat ditingkatkan atau ditambahkan jenis antihistamin lain. Steroid dapat diberikan selama 3-10 hari untuk mengontrol gejala pada kasus yang berat.
Untuk urtikaria kronik, terapi lini pertama juga adalah golongan antihistamin H1 reseptor antagonis. Jika pengobatan lini pertama tidak mencukupi, maka antihistamin H1 generasi kedua dapat dititrasi hingga 2-4 kali dosis biasa. Alternatif lain adalah penambahan antihistamin H1 generasi kedua yang berbeda, antihistamin H1 generasi pertama, antihistamin H2, atau antagonis reseptor leukotrien.
Jika kontrol gejala masih belum tercapai, langkah selanjutnya adalah penambahan dan titrasi antihistamin potensi tinggi yang dapat ditoleransi, seperti hidroksizin, atau penambahan antidepresan trisiklik. Apabila pasien masih belum berespon sesuai target, maka diperlukan rujukan untuk penggunaan agen imunomodulator.[24]
Antihistamin H1 Reseptor Antagonis
Antihistamin H1 reseptor antagonis merupakan pilihan utama dalam mengontrol gejala urtikaria pada pasien. Antihistamin generasi kedua umumnya lebih sering digunakan dikarenakan lebih mudah ditoleransi pasien dan memiliki efek sedasi yang minimal.
Obat antihistamin H1 reseptor antagonis yang dapat digunakan adalah loratadine 10 mg, cetirizine 10 mg, fexofenadine 120-180 mg, dan desloratadine 5 mg. Semuanya diberikan sekali sehari per oral. Dosis cetirizine dapat ditingkatkan sampai 60 mg/hari dengan dosis terbagi. Chlorpheniramine yang merupakan antihistamin generasi pertama, sebaiknya dihindari dikarenakan efek sedasi dan gangguan performa psikomotor.
Kebanyakan obat antihistamin diberikan dengan frekuensi dosis sekali sehari untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Setelah gejala sudah terkontrol, pengobatan disarankan tetap dilanjutkan selama 3–6 bulan. Apabila pasien memiliki urtikaria dengan angioedema, maka pengobatan dapat dilakukan dengan jangka yang lebih panjang, yaitu 6–12 bulan.
Pada pasien dengan gejala yang tidak sering, antihistamin H1 reseptor antagonis dapat diberikan saat diperlukan saja atau dapat diberikan secara profilaksis. Risiko efek samping sedasi dan gangguan performa psikomotor pada antihistamin generasi kedua umumnya lebih rendah dibandingkan generasi pertama. Akan tetapi, karena risiko efek samping masih ada, penggunaan antihistamin lebih disarankan diberikan saat malam hari.[1-4]
Antihistamin H2 Reseptor Antagonis
Beberapa studi sudah menunjukkan penggunaan obat antihistamin H2 reseptor antagonis dapat menurunkan gejala urtikaria. Obat golongan ini digunakan sebagai tambahan jika terapi dengan antihistamin lini pertama tidak memberi hasil adekuat. Cimetidine 200–400 mg, 4 kali sehari, merupakan obat yang lebih disarankan dikarenakan memiliki efek imunosupresif.[1-4,9]
Antidepresan Trisiklik
Apabila gejala tidak terkontrol dengan penggunaan antihistamin dosis maksimal atau penggunaan dua jenis antihistamin, pertimbangkan untuk menambahkan antidepresan trisiklik. Penggunaan obat antidepresan trisiklik biasanya hanya pada kasus urtikaria kronik. Antidepresan trisiklik memiliki efek antihistamin yang dapat membantu menurunkan gejala.
Selain itu, antidepresan juga membantu menurunkan tingkat stres pada pasien urtikaria yang merupakan salah satu kontributor terjadinya urtikaria. Beberapa pilihan obat, seperti amitryptiline 25-75 mg, desipramin 10-25 mg, dan nortriptilin 10-25 mg dapat digunakan.[2,9]
Antagonis Reseptor Leukotriene
Antagonis reseptor leukotriene merupakan pilihan adjuvan jika penggunaan antihistamin saja tidak memberi respon klinis memuaskan pada kasus urtikaria kronik. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat aktivasi reseptor leukotriene cysteinyl dan kaskade inflamasi.
Obat antagonis reseptor leukotriene pada pasien urtikaria lebih baik digunakan bersamaan dengan obat antihistamin. Penggunaan obat ini lebih disarankan pada pasien dengan urtikaria kronik yang dikarenakan penggunaan aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dan makanan. Beberapa contoh obat yang dapat digunakan, adalah montelukast 10 mg sekali sehari dan zafirlukast 20 mg, dua kali sehari.[2,9]
Terapi Anti-IgE
Omalizumab sudah ditemukan memiliki efikasi dalam menurunkan gejala urtikaria pada pasien urtikaria persisten yang sudah diberikan obat antihistamin dosis tinggi. Mekanisme aksi dari obat ini dalam menurunkan gejala urtikaria sampai sekarang masih belum diketahui. Terapi ini direkomendasikan apabila terapi antihistamin dosis tinggi tidak dapat menurunkan gejala pasien urtikaria kronik. Omalizumab dapat diberikan dengan dosis 300 mg setiap 4 minggu untuk mendapatkan efek yang cepat dan stabil.[1-4,9]
Imunosupresan
Pemberian imunosupresan dapat membantu menurunkan gejala pada pasien urtikaria refrakter. Beberapa kelas obat imunosupresan, seperti kortikosteroid dan siklosporin, telah ditemukan efikasinya dalam menurunkan tanda dan gejala urtikaria.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid disarankan diberikan pada pasien dengan gejala yang tidak membaik dengan pengobatan antihistamin atau pasien dengan urtikaria berat (urtikaria dengan angioedema atau gejala sistemik). Pemberian kortikosteroid umumnya dapat menurunkan durasi penyakit dan menurunkan tingkat keparahan penyakit.
Kortikosteroid oral dapat diberikan selama 3-5 hari. Contoh obat kortikosteroid adalah prednisolon 20-50 mg sekali sehari.[1-4,9]
Siklosporin
Penggunaan siklosporin dosis rendah, 5–6 mg/kg/hari, ditemukan dapat menjadi terapi alternatif pada pasien dengan urtikaria refrakter. Cara kerja obat ini telah dihipotesiskan berhubungan dengan mekanisme mediasi sel T, dimana terjadi inhibisi basofil dan degranulasi sel mast.[1,6,9]
Terapi Imunosupresan Lainnya
Beberapa terapi immunosupresan lainnya dapat menjadi pilihan terapi urtikaria refrakter. Tacrolimus dapat diberikan dengan dosis 0,05-0,07 mg/kg 2 kali sehari selama 4 minggu yang diikuti penurunan dosis bertahap sebanyak setengah dosis selama 6 minggu. Terapi imunosupresan lainnya, mikofenolat mofetil, dapat diberikan dengan dosis 1000 mg dua kali sehari. Namun obat ini kurang direkomendasikan dikarenakan dapat meningkatkan risiko infeksi.[2,21]
Penulisan pertama oleh: dr. Audric Albertus