Epidemiologi Karsinoma Sel Basal
Gambaran epidemiologi karsinoma sel basal (KSB), atau dikenal juga sebagai basal cell carcinoma, dipengaruhi oleh iklim, jenis kulit dan kebiasaan.[5,6]
Global
Berdasarkan data American Cancer Society (ACS), kanker kulit merupakan kanker yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan mayoritas kasus merupakan KSB. ACS memberikan estimasi ada sekitar 5,4 juta kasus KSB dan KSS didiagnosis setiap tahun dalam populasi sejumlah 3,3 juta penduduk dimana 80% kasus merupakan KSB.
Sekalipun jumlah insidensnya besar, kematian akibat kanker kulit ini jarang ditemukan. Kanker kulit non melanoma menyebabkan kematian sebesar 2000 orang per tahun dan angka tersebut menurun dalam beberapa tahun terakhir. KSB jarang ditemukan pada individu dengan kulit berwarna lebih gelap.[1]
Di Eropa, insiden KSB meningkat sebesar 5% setiap tahun dalam dekade terakhir ini. Di Amerika Serikat, insiden penyakit ini meningkat 2% setiap tahunnya. Insiden tertinggi ditemukan pada Australia dimana 1 dari 2 individu akan terdiagnosis KSB saat berusia 70 tahun. Pada regio lain seperti Asia dan Amerika Selatan, insiden KSB lebih rendah 10-100 kali lipat tetapi ditemukan adanya peningkatan dalam beberapa dekade terakhir.
Peningkatan yang terjadi diperkirakan disebabkan karena meningkatnya pengetahuan masyarakat, berkembangnya terapi pembedahan, cancer registry yang baik, meningkatnya populasi usia tua dan perubahan pola paparan sinar ultraviolet akibat kebiasaan.
Insiden KSB meningkat seiring usia. Pada usia tua KSB ditemukan lebih banyak pada wanita, sedangkan pada usia muda lebih banyak ditemukan pada pria. Temuan ini diperkirakan karena wanita lebih peduli terhadap keadaan kulit nya dibandingkan dengan pria.[5]
Indonesia
Belum ada data nasional mengenai karsinoma sel basal di Indonesia.
Mortalitas
KSB umumnya tidak menyebabkan mortalitas. Sebagai salah satu jenis karsinoma kulit nonmelanoma, KSB memiliki laju pertumbuhan yang rendah dan biasanya terlokalisir. Pada kasus dimana terjadi keterlambatan diagnosis, KSB dapat menyebabkan morbiditas, seperti kehilangan penglihatan akibat invasi dari lesi yang terletak di area hidung maupun mata.[6]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja