Epidemiologi Skleroderma
Data epidemiologi skleroderma secara global cukup beragam pada setiap negara, dengan prevalensi lebih tinggi ditemukan pada wilayah Eropa, Amerika Utara dan Amerika Selatan. Data epidemiologi mengenai skleroderma di Indonesia masih sangat terbatas.
Global
Secara global, epidemiologi dari skleroderma beragam pada setiap negara. Prevalensi skleroderma secara umum lebih tinggi ditemukan pada wilayah Eropa, Amerika Utara dan Amerika Selatan jika dibandingkan dengan wilayah Asia Timur. Prevalensi skleroderma sistemik secara global mencapai 17,6 per 100.000 penduduk dan insidensinya mencapai 1,4 per 100.000 jiwa per tahunnya.
Di Amerika Utara, prevalensi skleroderma sistemik mencapai 13,5–44,3 per 100.000 jiwa, dan di Eropa mencapai 7,2–33,9 per 100.000 jiwa. Perkiraan insidensi baik di Eropa dan Amerika Utara masing-masing yakni 0,6 – 2,3 dan 1,4 – 5,6 per 100.000 jiwa.[3,5-7]
Insidensi dari skleroderma lokal diperkirakan sebesar 2,7 per 100.000 jiwa, dan meningkat sebanyak 3,6% setiap tahunnya di Amerika Utara, 1,8 per 100.000 jiwa per tahunnya di Swedia, dan 1,1 per 100.000 jiwa per tahunnya di Denmark.[8]
Indonesia
Data epidemiologi mengenai skleroderma di Indonesia masih sangat terbatas. Namun, berdasarkan data yang didapatkan dari Rekomendasi oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia tahun 2023, dikatakan bahwa puncak usia pasien dengan skleroderma sistemik di Indonesia adalah pada rentang usia 30–40 tahun, dan mayoritas pasien adalah perempuan.[5]
Mortalitas
Skleroderma sistemik memiliki angka mortalitas tertinggi di antara penyakit autoimun sistemik lainnya. Penyebab mortalitas paling banyak yang ditemukan pada skleroderma sistemik yakni akibat hipertensi pulmonal, fibrosis paru (penyakit paru interstisial), dan krisis ginjal skleroderma. Di antaranya, skleroderma dengan krisis ginjal memberikan angka mortalitas yang lebih tinggi.[3,9]
Terdapat beberapa prediktor yang dapat memprediksi prognosis yang buruk pada pasien dengan skleroderma sistemik yakni usia tua, laki-laki, serum kreatinin lebih dari 3 mg/dL, kontrol tekanan darah tidak lengkap dalam 3 hari pertama krisis, normotensi, serta penggunaan obat angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs) sebelum krisis ginjal skleroderma.[3,9]
Pada pasien krisis ginjal skleroderma, angka kematian dalam 1 tahun sebesar 20–30% dan angka kematian dalam 5 tahun sebesar 30–50%. Data kumulatif mengenai mortalitas pada kelompok pasca pengguna obat ACEIs yakni sekitar 20% pada usia 6 bulan, 30%–36% pada usia 1 tahun, 19%–40% pada usia 3 tahun dan hampir 50% pada usia 10 tahun sejak timbulnya krisis ginjal skleroderma.[3,9]