Patofisiologi Skleroderma
Patofisiologi dari skleroderma terjadi melalui tiga mekanisme utama, yaitu anomali vaskular, fibrosis berlebihan, dan fenomena autoimun. Penyebab anomali vaskular tidak diketahui secara pasti, namun kejadian ini ditandai dengan kerusakan mikrovaskular berupa kelainan struktur dan fungsi dari sel endotelial.
Kelainan pada struktur dan fungsi dari sel endotel mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi serta pelepasan dari berbagai mediator poten seperti sitokin, kemokin, prekursor fibroblas, faktor pertumbuhan polipeptida, dan zat-zat lain seperti prostaglandin, dan spesies oksigen reaktif (ROS atau penurunan senyawa seperti prostasiklin dan oksida nitrat.[3]
Peningkatan sel-sel inflamasi dan prekursor fibroblas (fibrosit) yang dimediasi oleh kemokin dan sitokin mengakibatkan terjadinya suatu proses inflamasi kronis yang melibatkan makrofag dan limfosit T dan B. Interaksi abnormal antara sel endotel, fibroblas dan limfosit T dan B menyebabkan terjadinya keterlibatan dari mikrosirkulasi.
Sel-sel inflamasi akan memproduksi dan mensekresi transforming growth factor beta (TGF-β) dan mediator profibrotik lainnya yakni endotelin 1 dalam jumlah besar, sehingga terjadi proliferasi dari sel otot polos, akumulasi dari jaringan fibrotik subendotelial, inisiasi dari agregasi trombosit, dan produksi dari ROS sehingga dapat mempercepat terjadinya remodelling dari vaskular, vasokonstriksi, hingga oklusi mikrovaskular.[1,3]
Fibroblas yang teraktivasi akan berdiferensiasi menjadi miofibroblas secara cepat, sehingga meningkatkan kemampuan sintesis kolagen (tipe I, III, VI) secara cepat. Tak hanya kolagen, pada proses fibrotik juga terjadi peningkatan produksi dari matriks ekstraselular (distimulasi oleh TGF-β) dan jaringan ikat makromolekul seperti cartilage oligomeric matrix protein (COMP), glikosaminoglikan, tenasin, dan fibronektin.[1,3]
Pada fenomena autoimun atau alterasi dari proses imunologi, terjadi akibat produksi dari beberapa autoantibodi, infiltrasi jaringan dengan makrofag dan limfosit T dan B, serta disregulasi produksi sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan. Sitokin dan faktor pertumbuhan yang dilepaskan akan menginduksi aktivasi dan konversi fenotipik berbagai tipe sel, seperti fibroblas residen, sel epitel, sel endotel, dan perisit, menjadi miofibroblas yang teraktivasi.
Miofibroblas bertanggung jawab untuk inisiasi dan pembentukan proses fibrotik. Penggunaan imunosupresan seperti azathioprine dapat membantu mengontrol aktivitas sistem imun yang berkontribusi pada fenomena autoimun.[3]