Epidemiologi Hipotiroid
Data epidemiologi hipotiroid menunjukkan bahwa prevalensi dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras, dan lokasi geografis. Prevalensi hipotiroid meningkat pada orang berusia lanjut, pada , dan area-area yang mengalami defisiensi iodin. Selain itu, hipotiroid juga sering ditemukan pada pasien dengan gangguan autoimun seperti diabetes mellitus tipe 1, atrofi gaster autoimun, dan coeliac disease karena berkaitan dengan endokrinopati autoimun.[1,7,8]
Global
Di negara-negara dengan asupan iodin cukup, prevalensi hipotiroid bervariasi antara 1‒2% dan meningkat hingga 7% pada orang berusia 85‒89 tahun. Data menunjukkan bahwa prevalensi hipotiroid meningkat seiring bertambahnya usia dan meningkat pada area dengan defisiensi iodin (negara berkembang). Prevalensi hipotiroid juga dilaporkan 10 kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria.
Prevalensi hipotiroid di Eropa berkisar antara 0,2‒5,3%, sedangkan prevalensi hipotiroid di Amerika Serikat berkisar antara 0,3‒3,7%. Sebuah studi oleh NHANES III (National Health and Nutrition Examination Survey III) di Amerika Serikat menyatakan bahwa prevalensi umum hipotiroid adalah 4,6%. Prevalensi tersebut dilaporkan sama pada individu Caucasian dan Hispanic, namun lebih rendah pada individu Afro-Caribbean (1,7%).[9]
Indonesia
Data epidemiologi hipotiroid pada orang dewasa di Indonesia masih belum tersedia. Namun, berdasarkan data yang dikumpulkan Unit Koordinasi Kerja Endokrinologi Anak, ditemukan 595 kasus hipotiroid kongenital selama tahun 2010.
Sejak tahun 2000‒2013 didapatkan 73 kasus bayi dengan hipotiroid kongenital (1:2736) sehingga jika diproyeksikan dengan angka kelahiran 5 juta bayi per tahun, maka diperkirakan lebih dari 1.600 bayi dengan hipotiroid kongenital akan lahir setiap tahun.[8,10]
Mortalitas
Angka mortalitas pada pasien hipotiroid terutama berkaitan dengan terjadinya koma miksedema maupun gangguan kardiovaskular. Pada kasus koma miksedema, angka mortalitas mencapai lebih dari 20% walaupun dengan pemberian terapi yang optimal. Hal ini dikarenakan terapi koma miksedema membutuhkan dosis hormon tiroid yang mungkin toksik.[11]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini