Patofisiologi Tiroiditis
Patofisiologi thyroiditis bervariasi pada setiap jenisnya, yaitu thyroiditis akut, subakut, dan kronik. Patofisiologi thyroiditis akut umumnya melibatkan infeksi bakteri atau radiasi yang menimbulkan inflamasi, kerusakan parenkim tiroid, dan rasa nyeri. Sementara itu, patofisiologi thyroiditis subakut umumnya melibatkan infeksi virus. Pada thyroiditis kronik, patofisiologi biasanya melibatkan kondisi autoimun, penggunaan obat tertentu, dan proses fibrosis.[1]
Thyroiditis Akut
Thyroiditis akut biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri gram positif (Streptococcus atau Staphylococcus), bakteri anaerob, atau jamur. Kelenjar tiroid sebenarnya memiliki daya tahan yang baik terhadap infeksi karena terbungkus oleh kapsul yang kaya pembuluh darah dan saluran limfa. Namun, infeksi dapat terjadi pada orang berusia tua, orang dengan penyakit kronik, dan orang dengan kondisi immunocompromised.
Kebanyakan kasus thyroiditis supuratif akut terjadi pada lobus tiroid sinistra yang berkaitan dengan abnormalitas struktur anatomi kelenjar tiroid, yaitu persistensi sinus piriformis. Sementara itu, thyroiditis akibat radiasi bisa disebabkan oleh kerusakan parenkim tiroid setelah terpapar iodin radioaktif yang digunakan untuk terapi penyakit Grave’s atau kanker.[1,2]
Thyroiditis Subakut
Thyroiditis subakut adalah penyakit self-limiting yang umumnya disebabkan oleh infeksi virus. Perjalanan klinisnya melalui 3 fase, yaitu fase hipertiroidisme, hipotiroidisme, dan eutiroid. Perjalanan penyakit diawali dengan destruksi sel folikel tiroid dan pelepasan preformed hormones. Hal ini menyebabkan hipertiroidisme yang bisa berlanjut menjadi tirotoksikosis. Fase ini berlangsung selama 4–10 minggu.[3]
Selanjutnya, fase tirotoksikosis mengalami remisi dalam 4–8 minggu. Pada saat ini, kelenjar tiroid kehabisan koloid sehingga kesulitan untuk memproduksi hormon tiroid. Hal ini menyebabkan hipotiroidisme. Fase hipotiroidisme berlangsung hingga 2 bulan. Setelah itu, pasien thyroiditis subakut umumnya kembali ke kondisi eutiroid atau kembali ke fungsi tiroid sebesar 90–95% tergantung etiologinya.[3]
Thyroiditis postpartum juga bersifat subakut dan terjadi karena pembentukan antibodi terhadap sel tiroid fetus yang kemudian terakumulasi di kelenjar tiroid ibu. Kondisi ini dapat dialami pada 1 tahun pertama setelah persalinan.[1,4,5]
Pada thyroiditis postpartum, terjadi pelepasan preformed hormones ke darah yang menyebabkan hipertiroidisme. Selanjutnya, muncul hipotiroidisme transien akibat simpanan tiroid yang habis atau muncul hipotiroidisme permanen akibat destruksi sel tiroid.[1,4,5]
Thyroiditis Kronik
Thyroiditis kronik umumnya disebabkan oleh kondisi autoimun. Salah satu contoh yang paling sering terjadi adalah thyroiditis Hashimoto. Pada kasus ini, tubuh membentuk antibodi terhadap suatu infeksi virus yang ternyata memiliki struktur mirip dengan protein kelenjar tiroid. Akibatnya, antibodi tersebut menyerang sel tiroid. Antibodi anti-TPO (antithyroid peroxidase) yang ditemukan pada 90% pasien thyroiditis Hashimoto dapat menginduksi sitotoksisitas dan menyebabkan kematian tirosit.[1]
Sementara itu, thyroiditis kronik akibat penggunaan obat tertentu biasanya disebabkan oleh 2 hal, yaitu peningkatan pelepasan/sintesis hormon tiroid atau kondisi destruktif akibat pelepasan preformed hormones. Hal tersebut menyebabkan kondisi hipertiroid.[1]
Namun, efek hipotiroidisme juga mungkin terjadi akibat penurunan sintesis/pelepasan hormon tiroid atau akibat hipofisitis yang menyebabkan hipotiroidisme sekunder. Contoh obat yang dapat menyebabkan thyroiditis adalah amiodarone dan lithium.[1]
Patofisiologi thyroiditis Riedel belum diketahui secara jelas tetapi diduga berkaitan dengan inflamasi kronik oleh sel mononuklear. Kondisi ini diklaim sebagai penyakit tiroid IgG4 yang mencakup thyroiditis Riedel, pankreatitis autoimun, pneumonia interstisial, dan pseudotumor orbita.[1]