Diagnosis Akalasia
Diagnosis akalasia atau achalasia dilakukan dengan pemeriksaan motilitas esofagus. Hasil tes motilitas esofagus pada pasien akalasia bisa memperlihatkan tekanan sfingter esofagus bawah yang tidak kembali normal dalam keadaan istirahat dan tidak dapat berelaksasi dengan baik setelah proses menelan makanan.[2]
Anamnesis
Diagnosis akalasia harus mulai dicurigai pada pasien yang datang dengan keluhan sulit menelan makanan padat maupun cair. Gejala yang mungkin timbul adalah disfagia (ada pada >90% kasus), refluks atau regurgitasi (pada 70% kasus), heartburn (pada 50% kasus), dan penurunan berat badan (pada 30% kasus).[1]
Gejala yang dialami sering tidak spesifik dan menyebabkan diagnosis jadi terlambat. Untuk membantu diagnosis, dokter dapat menginterpretasikan keluhan berdasarkan sistem skoring Eckardt yang mencakup penilaian penurunan berat badan, disfagia, nyeri retrosternal, dan regurgitasi.[1,9]
Tabel 1. Sistem Skoring Eckardt
Nilai | Gejala | |||
Penurunan berat badan | Disfagia | Nyeri retrosternal | Regurgitasi | |
0 | Tidak ada | Tidak ada | Tidak ada | Tidak ada |
1 | <5 | Jarang | Jarang | Jarang |
2 | 5–10 | Setiap hari | Setiap hari | Setiap hari |
3 | >10 | Setiap makan | Setiap makan | Setiap makan |
Sumber : dr. Audrey Amily, 2019.[9]
Total skor Eckardt ≥3 bersifat sugestif untuk adanya akalasia aktif, sedangkan skor <3 menandakan remisi. Secara lebih detail, interpretasi skor Eckardt untuk akalasia adalah sebagai berikut:
- Skor total 0-1: stage 0
- Skor total 2-3: stage 1
- Skor total 4-6: stage 2
- Skor total >6: stage 3
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat mencari tahu faktor risiko akalasia, misalnya kondisi autoimun. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan kulit untuk melihat ada tidaknya kelainan kulit seperti pada penderita lupus. Selain itu, dokter juga dapat memeriksa mulut pasien untuk melihat lesi atau kelembaban mukosa mulut, guna mencari kemungkinan pasien mengalami sindrom Sjogren.[6,8]
Pemeriksaan kardiopulmonal juga perlu dilakukan dengan cermat pada pasien akalasia agar dapat mengeksklusi penyebab nyeri dada ataupun sensasi terbakar pada dada yang disebabkan oleh faktor kardiopulmonal. Pemeriksaan neurologi juga dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan neurologi yang menyebabkan disfagia.[6,8]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding akalasia adalah GERD (Gastroesophageal Reflux Disease), kanker esofagus, laringomalasia, dan stroke.
GERD
Diagnosis banding utama akalasia adalah GERD dan sindrom dyspepsia. Keluhan pada kedua kondisi ini menyerupai keluhan pada akalasia, seperti regurgitasi makanan, nyeri dada, maupun sensasi terbakar pada dada.[2,3,6]
Namun, pada pasien akalasia, keluhan utama adalah disfagia. Selain itu, pada akalasia, keluhan disfagia, sensasi terbakar pada dada, dan regurgitasi makanan terus berulang meskipun pasien sudah mendapatkan obat penekan produksi asam lambung seperti proton-pump inhibitor dalam jangka waktu lama.[2,3,6]
Kanker Esofagus
Kanker esofagus sering keliru didiagnosis sebagai akalasia karena gejala awalnya tidak spesifik, yang hanya ditandai dengan disfagia kronis. Selain itu, sekitar 0,4–9,2% kejadian kanker esofagus didahului oleh akalasia. Diagnosis pasti kanker esofagus bisa ditegakkan melalui biopsi mukosa esofagus.[10]
Laringomalasia
Laringomalasia merupakan kelainan kongenital pada laring. Laringomalasia lebih sering terjadi pada anak-anak, dengan gejala utama berupa gangguan pernapasan dan gizi. Perbedaan laringomalasia dan akalasia dapat dilihat melalui distribusi usia pasien dan ada tidaknya gejala pernapasan.[11]
Stroke
Akalasia juga dapat didiagnosis banding dengan stroke. Disfagia sering ditemukan setelah stroke. Gejala ini timbul akibat gangguan area insula, gyrus prefrontal, korteks somatosensorik, dan regio precuneus. Stroke menyebabkan gangguan pada salah satu area tersebut, yang menyebabkan fungsi mekanik menelan tidak berjalan baik.[11,12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang awal yang umumnya dilakukan untuk pasien suspek akalasia yang mengalami disfagia maupun regurgitasi makanan adalah pemeriksaan radiologis (esofagogram) atau endoskopi. Namun, pemeriksaan baku emas adalah manometri esofagus. Manometri dilakukan jika hasil esofagogram dan endoskopi inkonklusif.[4]
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan bila keluhan klinis sudah bertahan lama dan sudah diobati dengan obat-obatan penekan asam lambung selama ±6–8 minggu tanpa perubahan yang signifikan.[4]
Esofagogram
Pemeriksaan radiologis ini menggunakan barium swallow sebagai kontras. Gambaran khas pada akalasia adalah gambaran seperti paruh burung (bird’s beak appearance) di esofagus proksimal, yang diikuti dilatasi pada esofagus distal dan air-fluid level pada lambung. Pemeriksaan barium swallow dapat memberikan keuntungan untuk melihat morfologi esofagus. Endoskopi lalu menjadi pemeriksaan penunjang lanjutan apabila esofagogram belum dapat menegakkan diagnosis.[3,4,8]
Endoskopi
Pada akalasia stadium dini, hasil endoskopi sering ditemukan normal. Pada stadium lanjut, endoskopi dapat memberikan gambaran dilatasi esofagus yang disertai dengan stasis makanan pada gastroesophageal junction. Namun, endoskopi bukan merupakan pemeriksaan yang amat akurat untuk mendiagnosis akalasia. Sensitivitas pemeriksaan radiologis maupun endoskopi lebih rendah daripada manometri.[1,2]
Manometri
Manometri menjadi pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis akalasia. Hasil yang didapatkan pada manometri adalah relaksasi inkomplit dari sfingter esofagus bawah, yang ditandai dengan tekanan residual mencapai >10 mmHg dan gambaran aperistaltik sepanjang esofagus. Adanya tekanan residual di sfingter bawah esofagus menandakan kegagalan relaksasi sfingter bawah esofagus.[3]
Akalasia dibedakan menjadi 3 tipe berdasarkan pemeriksaan manometri, yaitu:
- Akalasia klasik (tipe 1): hilangnya kontraksi esofagus secara keseluruhan
- Akalasia dengan efek kompresi (tipe 2): adanya tekanan di esofagus yang terjadi tiba-tiba dan tidak teratur (simultaneous pressurization)
- Akalasia spastik (tipe 3): adanya tekanan esofagus yang tinggi dengan hilangnya kontraksi esofagus (high-pressure non-peristaltic body contractions)[2,3]
Histopatologi
Berdasarkan pemeriksaan histopatologi esofagus, tampak proses inflamasi kronis yang terjadi pada pleksus Auerbach esofagus yang mengganggu kerja neuron inhibitorik dan neuron eksitatorik. Terganggunya pleksus Auerbach ini terjadi secara progresif, yang kemudian menyebabkan dilatasi esofagus. Dilatasi ini menyebabkan kerja peristaltik dari lumen mukosa esofagus terganggu, sehingga terjadi stasis makanan.[2]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur