Etiologi Akalasia
Etiologi akalasia atau achalasia bersifat multifaktorial, sehingga mencakup beberapa faktor seperti faktor autoimun, genetik, dan viral. Hingga saat ini, etiologi akalasia masih terus dipelajari lebih lanjut, karena masih banyaknya teori yang kontroversial.[2-5]
Akalasia Primer
Etiologi akalasia primer umumnya adalah faktor autoimun dan faktor genetik. Namun, etiologi akalasia primer juga dapat bersifat multifaktorial.
Faktor Autoimun
Teori kelainan autoimun sebagai penyebab akalasia didukung oleh 3 temuan. Pertama, akalasia sering terjadi pada pasien yang memiliki riwayat penyakit autoimun, misalnya diabetes mellitus tipe 1, hipotiroidisme, sindrom Sjogren, systemic lupus erythematosus (SLE), dan uveitis.[2-5]
Temuan kedua yang mendukung teori ini adalah ditemukannya sel-sel inflamasi seperti sel T limfosit dan eosinofil pada pleksus myenteric. Peningkatan sel inflamasi ini terkait dengan penyakit autoimun.[2-3]
Temuan terakhir yang mendukung teori ini adalah adanya autoantibodi spesifik yang menyebabkan kerusakan pada neuron. Namun, adanya autoantibodi ini belum dapat dipastikan apakah merupakan penyebab atau akibat akalasia.[2-5]
Faktor Genetik
Abnormalitas genetik mengambil porsi terbesar dalam etiologi akalasia. Abnormalitas genetik yang umumnya terjadi adalah suatu delesi gen ataupun suatu polimorfisme.
Kelainan genetik yang umumnya ditemukan bersama akalasia adalah Down syndrome. Gen utama yang berkaitan dengan akalasia adalah human leukocyte antigen (HLA), yang mengandung perubahan pada urutan asam amino pembentuknya.[2-5]
Kelainan genetik lain yang berkaitan dengan akalasia adalah polimorfisme gen yang mengatur regulasi sistem imun. Polimorfisme ini didapati pada gen nitrogen oksida dan vasoactive intestinal polypeptide (VIP). Kelainan gen didapati pada kromosom 12q24.2, 17q11.2-q12, dan gen 7q36.[2-5]
Gen pembentuk protein tirosin fosfatase yang berperan langsung terhadap regulasi dan aktivasi sel limfosit T juga ditemukan mengalami suatu mutasi genetik. Defek genetik pada gen yang berperan langsung dalam sistem imun menjadi salah satu faktor risiko terkuat terjadinya kelainan autoimun.[2-5]
Akalasia Sekunder
Etiologi akalasia sekunder yang paling sering adalah infeksi virus. Selain itu, penyebab lain yang berperan adalah tumor gastroesophageal junction dan tumor gaster.[6]
Infeksi Virus
Teori infeksi virus sebagai etiologi akalasia sebenarnya masih inkonklusif. Virus yang pernah diteliti berkaitan dengan akalasia adalah virus yang bersifat neurotropik atau virus yang menginfeksi mukosa esofagus.[2-5]
Virus herpes simpleks merupakan virus yang paling sering berkaitan dengan kejadian akalasia. Virus herpes simpleks menginduksi aktivasi respons imun tipe lambat yang memproduksi sel T sitotoksik. Hal ini terbukti dari sel T sitotoksik yang ditemukan terakumulasi pada sfingter esofagus bawah (LES).[2-5]
Selain itu, pada pasien akalasia, DNA virus herpes simpleks sering ditemukan pada mukosa esofagus dan pleksus Auerbach. Infeksi laten virus herpes simpleks pada esofagus menyebabkan kerusakan neuron yang bekerja di esofagus tersebut. Virus lain yang juga berkaitan dengan akalasia adalah virus campak, virus varicella zoster, dan cytomegalovirus.[2-5]
Tumor pada Traktus Gastrointestinal
Akalasia sekunder juga dapat disebabkan oleh tumor dalam traktus gastrointestinal, terutama tumor pada gastroesophageal junction dan pada kardia gaster. Tumor traktus gastrointestinal bisa menyebabkan penyempitan intralumen, kompresi ekstralumen, dan infiltrasi pleksus myenteric. Tipe tumor tersering adalah adenokarsinoma.[7]
Infeksi Parasit
Akalasia sekunder bisa disebabkan oleh infeksi parasit Trypanosoma cruzi, yang sering disebut sebagai penyakit Chagas. Parasit ini umumnya ditemukan di benua Amerika. Trypanosoma cruzi menyebabkan destruksi pleksus myenteric dan disfungsi neuron post-ganglionic di bagian esofagus distal.[4]
Faktor Risiko
Faktor risiko akalasia adalah infeksi parasit dan virus. Selain itu, penyakit autoimun juga menjadi salah satu faktor risiko. Contoh kondisi autoimun yang menjadi faktor risiko adalah lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjogren, esofagitis eosinofilik, dan skleroderma.[8]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur