Diagnosis Crohn's Disease
Diagnosis Crohn’s disease ditegakkan dengan endoskopi dimana dapat terlihat cobblestone appearance disertai skip lesions sepanjang saluran cerna.
Anamnesis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan kapan mulainya gejala. Crohn’s disease adalah suatu penyakit yang kronik sehingga gejala umumnya sudah dirasakan dalam waktu lama atau sering berulang.
Gali adanya darah atau mukus di feses, nyeri perut, inkontinensia, diare nokturnal, riwayat diet, dan apakah ada infeksi saluran cerna dalam waktu dekat sebelum gejala muncul.
Cari juga adanya faktor risiko seperti penggunaan obat anti nyeri, riwayat apendektomi, riwayat merokok, riwayat keluarga dengan keluhan yang sama, atau riwayat keluarga dengan kolitis ulseratif.
Selain itu, pasien juga mungkin mengeluhkan gejala ekstraintestinal seperti episkleritis, uveitis, aphthous stomatitis, steatosis hepar, kolelitiasis, kolangitis, nefrolitiasis, hidronefrosis, infeksi saluran kemih, penurunan berat badan, ankylosing spondylitis, arthritis dan eritema nodosum, pyoderma gangrenosum.[1,8]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, bisa didapatkan hipotensi dan takikardia jika terjadi dehidrasi. Berat badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh (IMT) juga harus dinilai karena pasien dengan Crohn’s disease dapat mengalami penurunan berat badan hingga menjadi underweight. Pada pemeriksaan abdomen, bisa didapatkan nyeri tekan, distensi, atau teraba massa.
Inspeksi perianal diperlukan untuk menilai adanya fistula. Lakukan juga pemeriksaan ekstraintestinal untuk menilai adanya gangguan seperti uveitis pada mata, atau arthritis pada sendi.[1,3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding Crohn’s disease yang paling mirip adalah kolitis ulseratif, sehingga harus dibedakan antara Crohn’s disease dan kolitis ulseratif (Tabel 1).[3]
Tabel 1. Perbedaan Crohn’s disease dengan Kolitis Ulseratif
Perbedaan umum | Crohn’s disease | Kolitis ulseratif |
Distribusi | Sepanjang saluran cerna | Hanya pada kolon |
Skip lesion / lesi segmental (ada area sehat dan sakit) | Lesi berkelanjutan hingga sebelum rektum | |
Patologi | Seluruh lapisan jaringan | Hanya pada mukosa |
Granuloma | Tidak ada granuloma | |
Radiologi | Sepanjang saluran cerna | Hanya ditemukan di kolon |
Gambaran skip lesion | Lesi berkelanjutan hingga sebelum rektum | |
Adanya kelainan fistula, abses, dan striktura fibrotik | Hanya kelainan mukosa | |
Gejala | ||
Perdarahan | Kadang ada | Sangat sering |
Obstruksi usus | Sering | Jarang |
Fistula | Sering | Tidak ada |
Penurunan berat badan | Sering | Jarang |
Penyakit perianal | Sering | Sangat jarang |
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan laboratorium, analisis feses, histopatologi, endoskopi, dan radiologi.[1]
Endoskopi
Endoskopi yang direkomendasikan adalah ileokolonoskopi dimana akan didapatkan rektum yang menyempit, inflamasi ileus, skip lesions, gambaran cobblestone, fisura dan ulkus longitudinal, serta striktur dan fisura.
Esofagoduodenoskopi juga dapat dilakukan jika ada gejala saluran pencernaan atas.[1]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium terkait Crohn’s disease tidak spesifik sehingga tidak bertujuan untuk menegakkan diagnosis, namun lebih dimaksudkan untuk menunjang penatalaksanaan Crohn’s disease, misalnya untuk menilai inflamasi dan adanya defisiensi nutrisi.
Pemeriksaan Darah Lengkap :
Pemeriksaan darah lengkap pada pasien dengan kecurigaan Crohn’s disease dilakukan untuk mendeteksi anemia, adanya inflamasi kronis, malabsorpsi zat besi, perdarahan kronis, dan malabsorpsi vitamin B12 atau asam folat.[3]
Kimia Darah :
Pemeriksaan kimia darah meliputi:
- Elektrolit: menilai level hidrasi pasien dan fungsi ginjal
- Albumin: Crohn’s disease identik dengan hypoalbuminemia
- Kadar besi serum: Crohn’s disease identik dengan defisiensi besi
- Mikronutrien (asam folat, vitamin B12, kalsium, magnesium): untuk menilai adanya defisiensi mikronutrien[3]
Penanda Inflamasi :
Peningkatan penanda inflamasi dapat ditemukan pada Crohn’s disease, baik dalam bentuk laju endap darah maupun C-reactive protein (CRP). Namun demikian, kadar yang normal tidak mengeksklusi diagnosis Crohn’s disease.[3]
Analisis Feses
Analisis sampel feses berguna untuk mengevaluasi adanya leukosit, perdarahan tersembunyi, pathogen, parasit, dan toksin Clostridium difficile. Analisis feses ditujukan untuk mengeksklusi etiologi infeksi pada kasus kambuh, serta sebelum memulai terapi imunosupresif.[3]
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi direkomendasikan diambil dari setidaknya dua sampel dari setidaknya 5 segmen, salah satunya adalah ileum. Pada hasil akan didapatkan infiltrasi sel inflamatorik (limfosit dan sel plasma) dengan iregularitas kripta fokal dan granuloma independen.[1]
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG bermanfaat sebagai skrining untuk diagnosis inflammatory bowel disease (IBD) secara cepat, mudah didapat, dan relatif murah. USG rektal sering dijadikan alternatif dari MRI dalam mendeteksi gangguan perianal, mengevaluasi fistula. Namun demikian, sensitivitas USG sangat tergantung dari operator.[3]
Rontgen Abdomen
Evaluasi Crohn’s disease dapat dilakukan dengan rontgen abdomen, baik dengan maupun tanpa kontras. Pemeriksaan rontgen abdomen tanpa kontras berguna untuk mengevaluasi kecurigaan obstruksi atau perforasi. Gambaran yang umum ditemukan adalah penebalan mural dan dilatasi, atau adanya tanda-tanda obstruksi, perforasi, atau toxic colon.[3]
Rontgen abdomen dengan kontras barium enema bermanfaat untuk menilai karakteristik mukosa saluran cerna, menemukan adanya diverticula, fistula, striktur, dan obstruksi. Perlu diingat bahwa pemeriksaan dengan kontras dikontraindikasikan pada pasien dengan peritonitis (kecurigaan perforasi).
Small Bowel Follow Through / SBFT
SBFT adalah pemeriksaan radiografi dengan kontras, di mana pasien meminum cairan kontras kemudian radiografer akan mengevaluasi saluran cerna secara real time seiring berjalannya kontras sepanjang saluran cerna (usus halus).
Computed tomography (CT) scan
Menurut American College of Radiology, CT scan dinilai lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan barium untuk mendeteksi Crohn’s disease, dan lebih superior dalam memvisualisasikan usus halus. Hal ini menyebabkan CT scan menjadi salah satu pemeriksaan penunjang terpilih dalam mendiagnosis atau mengevaluasi penatalaksanaan Crohn’s disease.
CT scan bermanfaat untuk mendeteksi kelainan mukosa yang ada (baik yang jelas maupun yang samar), hingga komplikasi hepatobilier maupun renal. Gambaran yang dapat ditemukan bervariasi, seperti penebalan dinding usus halus, obstruksi usus, edema mesenterik, abses, serta fistula.[3]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja