Patofisiologi Gastroenteritis
Patofisiologi gastroenteritis terjadi melalui 2 mekanisme antara lain yaitu akibat kerusakan pada vili usus yang menyebabkan malabsorbsi dan diare osmotik serta pelepasan toksin yang berikatan dengan reseptor enterosit spesifik dan menyebabkan pelepasan ion klorida ke lumen intestinal sehingga menyebabkan diare sekretorik.[2,5]
Gastroenteritis Akibat Virus
Transmisi gastroenteritis umumnya terjadi melalui rute fekal-oral dari makanan dan air yang terkontaminasi. Beberapa virus, seperti norovirus, dapat ditularkan melalui jalur udara. Manifestasi klinis berhubungan dengan infeksi usus, tetapi mekanisme yang tepat dari terjadinya diare masih belum jelas.[2]
Studi yang paling banyak dilakukan yaitu pada rotavirus. Rotavirus melekat dan memasuki enterosit dewasa di ujung vili usus halus. Virus ini menyebabkan perubahan struktural pada mukosa usus halus, termasuk pemendekan vili dan infiltrasi sel inflamasi mononuklear di lamina propria. Infeksi rotavirus menyebabkan gangguan pencernaan karbohidrat, dan akumulasinya di lumen usus, serta malabsorbsi nutrisi dan penghambatan reabsorpsi air secara bersamaan, dapat menyebabkan komponen malabsorbsi diare.[2]
Rotavirus mensekresi suatu enterotoksin yaitu NSP4, yang menyebabkan aktivasi mekanisme sekretori dari Ca2+ yang dependen terhadap Cl-. Mobilisasi kalsium intraseluler kalsium akibat ekspresi NSP4 endogen maupun eksogen dapat menyebabkan sekresi klorida secara transien.[2]
Gastroenteritis Akibat Bakteri
Pada gastroenteritis yang disebabkan oleh bakteri, mekanisme yang terjadi meliputi invasi mukosa, perlekatan, dan produksi toksin. Untuk menentukan protokol manajemen gastroenteritis, penting untuk memahami dengan baik patofisiologi gastroenteritis. Usus halus memiliki peran penting untuk menyerap cairan. Dalam kasus gastroenteritis, usus halus gagal dalam menyerap cairan dikarenakan adanya toksin pada usus.[5]
Faktor virulensi lain yang signifikan pada gastroenteritis akibat bakteri adalah perlekatan. Beberapa bakteri perlu melekat pada mukosa usus, terutama pada awal infeksi. Untuk dapat melakukan hal tersebut, bakteri menghasilkan beberapa faktor perekat dan protein yang membantu perlekatan yang diperlukan pada dinding usus. Misalnya, bakteri Vibrio cholerae (kolera) menggunakan jenis adhesin permukaan tertentu untuk dapat menempel pada usus. Contoh lain adalah E. coli enterotoksigenik yang memproduksi antigen faktor kolonisasi yang merupakan protein perlekatan. Gejala disentri akibat infeksi shigella dan E. coli terjadi sebagai akibat dari invasi dan penghancuran mukosa usus halus.[5]
Faktor virulensi penting terakhir pada gastroenteritis akibat bakteri adalah produksi toksin, termasuk enterotoksin. Enterotoksin dapat menyebabkan diare berair karena adanya efek sekretori pada mukosa usus halus.[5]