Diagnosis Clostridium Difficile Colitis
Diagnosis infeksi Clostridium difficile colitis dapat dicurigai pada pasien yang mengalami diare dan sedang mendapatkan terapi antibiotik selama 3 bulan terakhir, memiliki riwayat rawat inap di rumah sakit selama beberapa waktu terakhir, dan/atau mengalami diare selama 48 jam atau lebih sejak rawat inap di rumah sakit.[10]
Penegakkan diagnosis clostridiosis dilakukan dengan mengkombinasikan dua jenis pemeriksaan. Menurut European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ESCMID), sejauh ini belum ada pemeriksaan tunggal yang cukup untuk mengkonfirmasi infeksi C. difficile. Namun, pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis hanya dilakukan pada pasien dengan gejala diare.[1,2]
Anamnesis
Clostridiosis memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi, mulai dari asimptomatik pada pasien karier, diare ringan hingga berat, sampai kolitis fulminan pada derajat berat. Disamping itu, kondisi ini juga memiliki masa inkubasi yang bervariasi, mulai dari 2-3 hari atau bahkan lebih dari 3 hari tergantung pada kondisi host. Gejala khas dari infeksi ini adalah buang air besar dengan konsistensi tinja cair sebanyak 3 kali atau lebih dalam 24 jam, tanpa disertai darah. Buang air besar berdarah umumnya jarang ditemui. Namun, pada pemeriksaan feses sering ditemukan hasil darah samar yang positif.[1,2]
Clostridiosis dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat, gejala, dan tanda.[1,5,7,8]
Infeksi Non Fulminan
Infeksi C. Difficile derajat ringan-sedang (Nonsevere Clostridium Difficile Infection), ditandai dengan hitung leukosit <15,000 sel/mL dan serum kreatinin <1.5 mg/dL.
- Karier atau Asimptomatik:
Pada kondisi karier tidak ditemukan gejala yang bermakna tetapi terdapat bakteri C. difficile di dalam feses. Frekuensi terjadinya karier berkisar 3% pada dewasa sehat, 20-30% pada pasien rawat inap, dan 50% pada pasien yang menjalani rawat inap dalam waktu lama.[2,8]
- Clostridium Difficile Associated Diarrhea (CDAD):
Pada anamnesis CDAD didapatkan diare yang terjadi dalam 2 jam hingga 2 bulan setelah penggunaan antibiotik, yang biasanya diikuti oleh nyeri perut ataupun kram perut. Dikatakan diare apabila didapatkan tinja cair yang terjadi sebanyak 3 kali atau lebih selama 2 hari berturut-turut.[2,8]
- Clostridium Difficile Associated Colitis (CDAC):
Kolitis tanpa adanya pseudomembran menjadi manifestasi klinis tersering dari clostridiosis. Gejala yang paling sering dialami, yaitu nyeri perut, nausea, malaise, diare, serta kemungkinan adanya diare berdarah.[2,8]
Infeksi C. Difficile derajat berat (Severe Clostridium Difficile Infection), ditandai dengan hitung leukosit >15,000 sel/mL dan serum kreatinin >1.5 mg/dL.
Kolitis Pseudomembranosa:
Kolitis pseudomembranosa termasuk manifestasi klinis derajat berat pada clostridiosis. Berdasarkan anamnesis, gejala yang dapat ditemukan pada kolitis pseudomembranosa adalah berupa nyeri perut hebat, demam tinggi, rasa haus yang hebat, rasa berdebar jantung, diare yang sering, tinja berdarah, mual muntah hebat, dan malaise berat. [2,8]
Kolitis Fulminan (Severe and Complicated Clostridium Difficile Infection)
Kolitis fulminan dapat terjadi sekitar 3% dari penderita dan termasuk derajat paling berat pada clostridiosis. Hal ini disebabkan karena pada kolitis fulminan sudah terjadi komplikasi seperti perforasi, ileus, toksik megacolon, hingga kematian. Gejala yang ditimbulkan berupa demam tinggi, nyeri perut hebat, diare, hipotensi hingga syok hipovolemik.[2,8]
Menggolongkan derajat keparahan infeksi C. difficile bermanfaat untuk menentukan penanganan yang akan diberikan. Penggolongan dilakukan berdasarkan penilaian klinis dan kriteria diatas.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik disesuaikan dengan derajat keparahan clostridiosis.[2,3,8]
Karier atau Asimptomatik
Tidak ada hasil pemeriksaan fisik yang bermakna.[2,3,8]
Clostridium difficile Associated Diarrhea (CDAD)
Berdasarkan pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri tekan di seluruh dinding perut, bising usus meningkat pada pemeriksaan auskultasi, hipertimpani pada perkusi bagian perut. Defans muskular jarang ditemukan pada kondisi ini.[2,3,8]
Clostridium difficile Associated Colitis (CDAC)
Dalam pemeriksaan fisik pada kondisi ini umumnya ditemukan tanda dehidrasi, seperti bibir kering, denyut nadi yang cepat, demam tinggi, laju pernapasan cepat, hingga turgor kulit berkurang. Pada pemeriksaan fisik abdomen umumnya ditemukan nyeri tekan perut dan bising usus yang meningkat. Defans muskular mungkin ditemukan pada kondisi ini.[2,3,8]
Kolitis Pseudomembranosa
Kolitis pseudomembranosa termasuk manifestasi klinis derajat berat clostridiosis. Pemeriksaan fisik yang umum ditemukan pada kondisi ini adalah demam tinggi, nyeri perut bagian bawah atau seluruh perut, distensi abdomen, tanda-tanda dehidrasi, serta diare hingga menyebabkan hypovolemia. Selain itu, pada clostridiosis derajat berat juga dapat ditemukan leukositosis >15,000 sel/uL, albumin serum <3 g/dL, dan/atau kadar kreatinin serum meningkat >1.5 kali lipat. [2,3,8]
Kolitis Fulminan
Kolitis fulminan merupakan derajat terberat dari clostridiosis. Pemeriksaan fisik yang ditemukan umumnya demam tinggi, hipovolemik, dehidrasi berat, nyeri perut hebat, dan defans muskular seluruh perut. Bising usus kemungkinan sudah tidak ditemukan karena adanya tanda perforasi dan ileus. Penurunan kesadaran juga dapat terjadi akibat dari komplikasi yang ada.[2,3,8]
Clostridiosis yang disertai kolitis fulminan ditandai dengan hipotensi, demam >38.5 derajat Celsius, penurunan kesadaran, leukositosis signifikan (hitung leukosit >40.000 /uL), serum laktat >2.2 mmol/l, dan kegagalan organ.[2,3,8]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari clostridiosis adalah kondisi medis lainnya yang memiliki gejala klinis serupa, yaitu diare, demam, dan nyeri perut.
Penyakit Crohn
Penyakit Crohn merupakan suatu inflamasi kronik yang mengenai traktus gastrointestinal mulai dari mulut hingga ke anus. Gejala awal yang ditemukan pada kondisi ini mirip dengan gejala clostridiosis, yaitu demam, diare, buang air besar berdarah, penurunan berat badan, mual, muntah, dan malnutrisi. Yang membedakan keduanya adalah buang air besar berdarah dan gejala sistemik lebih sering ditemukan pada penyakit Crohn. Pada pemeriksaan feses, pada penyakit Crohn umumnya hanya ditemui darah samar positif atau eritrosit positif. Tidak ditemukan adanya toksin dari Clostridium.[3,7,10]
Divertikulitis
Divertikulitis terjadi akibat terbentuknya kantung pada mukosa kolon yang kemudian mengalami peradangan. Perbedaan mendasar antara divertikulitis dengan clostridiosis adalah pola buang air besar yang dialami, dimana pada clostridiosis umumnya ditemukan diare, sedangkan pada divertikulitis umumnya terjadi konstipasi atau obstipasi.[3,10,12]
Gastroenteritis Akut
Gastroenteritis akut menjadi penyebab kematian tersering akibat diare. Gastroenteritis akut memiliki gejala yang sangat mirip dengan clostridiosis, yaitu diare yang sering, nyeri perut, nausea, malaise, dan demam. Pada gastroenteritis derajat berat juga dapat terjadi dehidrasi berat dan hipovolemik. Perbedaannya dengan clostridiosis adalah tidak ditemukannya toksin Clostridium difficile pada pemeriksaan tinja.[3,10,13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan pada pasien clostridiosis yang memiliki gejala. Selain itu, pada pasien yang tidak memiliki gejala dan yang sudah perbaikan setelah terapi medikamentosa, pemeriksaan penunjang tidak diperlukan lagi. Berdasarkan European Society of Clinical Microbiology and Infectious Disease, diagnosis clostridiosis membutuhkan gabungan dari 2 pemeriksaan. Pemeriksaan tahap pertama dimana pemeriksaan awal berupa glutamate dehydrogenase test (GDH) dengan metode enzyme immunoassay (EIA) atau nucleic acid amplification test (NAAT) dan pemeriksaan kedua adalah deteksi toksin A/B pada feses dengan metode EIA.[2,3,8]
Apabila didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan GDH atau NAAT, maka infeksi clostridiosis dapat dieksklusi. Namun, apabila didapatkan hasil positif pada pemeriksaan GDH atau NAAT, maka pemeriksaan perlu dilanjutkan dengan EIA untuk memastikan diagnosis. Hasil EIA positif menandakan diagnosis clostridiosis dapat ditegakkan. Jika pemeriksaan EIA memberikan hasil negatif, maka perlu dilakukan evaluasi klinis kembali. Hasil negatif pada pemeriksaan kedua ini dapat disebabkan oleh kadar toksin yang rendah, hasil false negative, atau penderita hanya sebagai karier dari C. difficile tersebut.[2,3,8]
Pemeriksaan Enzyme Immunoassay (EIA)
Pemeriksaan Immunoassay ditujukan untuk mendeteksi toksin A dan toksin B yang dihasilkan oleh C. difficile, dengan menggunakan sediaan feses. Pemeriksaan EIA toksin memiliki sensitivitas 75-95% dan spesifisitas 83-98%. Pemeriksaan ini paling banyak digunakan untuk mendiagnosis clostridiosis karena mudah untuk dikerjakan dan murah dari segi biaya.[2,3,8]
Pemeriksaan terhadap antigen C. difficile juga dapat dilakukan dengan deteksi glutamate dehydrogenase (GDH). GDH adalah enzim yang dihasilkan oleh C. difficile, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan toksin A dan B. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 75-90% dengan nilai prediksi negatif berkisar 95-100%, serta spesifisitas 59% karena pemeriksaan ini tidak dapat membedakan jenis yang bersifat toksigenik. DIkarenakan sensitivitasnya tinggi, pemeriksan ini digunakan secara luas sebagai skrining terhadap clostridiosis. Hasil GDH negative dapat memastikan bahwa tidak terdapat infeksi C. difficile. Apabila GDH positif, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan EIA toksin atau untuk memastikan diagnosis.[2,3,8]
Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)
Nucleic acid amplification test (NAAT) juga menjadi pilihan dalam mendiagnosis clostridiosis karena memiliki sensitivitas 80-100% dan spesifisitas 87-99%, yang mana lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan EIA. Pemeriksaan ini memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi ketika hasil yang diperoleh negative. Namun, biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih mahal dibandingkan metode lainnya.[1-3,4]
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan metode polymerase chain reaction (PCR) atau metode isothermal amplification. Interpretasi dari metode NAAT sering menimbulkan kekeliruan karena metode PCR untuk mendeteksi gen Clostridium difficile tidak dapat menentukan apakah gen yang terdeteksi tersebut termasuk dalam strain yang memproduksi toksin dan menyebabkan penyakit saat ini atau tidak. Sehingga, apabila ada penyebab lain dari diare tersebut, bisa mengarahkan ke kesalahan diagnosis.[1-3,4]
Cell Culture Neutralization Assay (CCNA)
Pemeriksaan CCNA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan mendeteksi toksin B C. difficile pada kultur sel. Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan EIA toksin, tetapi prosesnya memakan waktu yang lama dan membutuhkan fasilitas laboratorium yang khusus.[3,4,8]
Kultur Feses
Kultur feses juga menjadi salah satu pemeriksaan yang digunakan dalam menegakkan diagnosis clostridiosis. Pada kultur feses, pemeriksaan akan dilakukan dengan melakukan kultur pada sampel tinja yang telah diambil, dalam beberapa hari akan dilakukan pemeriksaan di laboratorium untuk melihat pertumbuhan bakteri Clostridium difficile pada sampel tinja tersebut. Namun, pemeriksaan ini memerlukan fasilitas anaerob, tenaga ahli, dan biaya yang mahal, sehingga tidak secara rutin digunakan untuk mendiagnosis clostridiosis.[1,2,3,4]
Pemeriksaan Darah
Pada clostridiosis derajat berat dapat ditemukan peningkatan leukosit >15000 sel/uL, penurunan serum albumin <3 g/dL, serta peningkatan kreatinin yang menandakan terjadinya gagal ginjal akut oleh dehidrasi yang dialami. Pada kolitis fulminan umumnya ditemukan asidosis metabolik, hipoalbuminemia, dan leukositosis signifikan ( ≥40.000 sel/uL) dalam pemeriksaan analisa gas darah.[1,2,3]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis clostridiosis berat adalah CT scan abdomen. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan penebalan dari mukosa kolon, gambaran edema, pancolitis, dan asites. Selain itu, pemeriksaan CT scan juga dapat memperlihatkan gambaran komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu gambaran toksik megacolon dan perforasi usus, yang mungkin membutuhkan intervensi bedah.[2,3,4]
Pemeriksaan Endoskopi
Endoskopi tidak secara rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis clostridiosis. Pemeriksaan ini hanya dilakukan apabila klinis pasien menyerupai clostridiosis, tetapi pemeriksaan penunjang tidak ada yang menunjukkan hasil positif. Pada clostridiosis yang sudah diberikan terapi tetapi tidak menunjukkan perbaikan secara klinis, atau adanya kecurigaan terhadap diagnosis lainnya, pemeriksaan endoskopi juga perlu dilakukan.[1-4]
Pada endoskopi kasus clostridiosis akan terlihat gambaran pseudomembran. Gambaran ini ditandai dengan terdapatnya penonjolan putih kekuningan berbentuk plak pada mukosa yang eritem dan tersebar tidak merata.[1-4]