Patofisiologi Clostridium Difficile Colitis
Patofisiologi infeksi Clostridium difficile didasarkan pada 2 proses utama, yaitu perubahan flora normal traktus gastrointestinal yang menyebabkan berkurangnya resistensi terhadap kolonisasi Clostridium difficile dan invasi mukosa gastrointestinal oleh mikroorganisme yang berasal dari luar tubuh.[1,2]
Perubahan Flora Normal pada Traktus Gastrointestinal
Normalnya terdapat lebih dari 500 spesies bakteri di kolon. Dalam 1 gram feses umumnya terdapat 1012 flora normal yang bekerja sebagai pertahanan tubuh terhadap kolonisasi dari Clostridium difficile. Lactobacillus dan Enterococcus group D menjadi bakteri usus yang memiliki peran antagonis paling tinggi. Penggunaan antibiotik dapat mengeradikasi bakteri usus tersebut, menyebabkan perubahan pada mukosa usus sehingga dapat menjadi lingkungan yang baik untuk Clostridium difficile bertumbuh.[4]
Invasi Mikroorganisme yang Berasal dari Luar Tubuh
Transmisi penularan dari Clostridium difficile ini terjadi melalui rute fekal-oral, dengan tertelannya spora ke tubuh penderita. Spora ini bersifat tahan terhadap panas, antibiotik dan asam. Di usus kecil, spora yang tertelan tersebut mengalami perubahan menjadi bentuk vegetatif.
Adanya perubahan flora normal pada kolon membuat kolonisasi dari bakteri ini menjadi mudah dan memberikan lingkungan yang sesuai untuk bertumbuh, bermultiplikasi, dan memproduksi toksin. C. difficile dapat menginfeksi seluruh bagian kolon tetapi paling sering menginfiltrasi segmen distal.[1,2,4]
Infeksi Clostridium difficile dapat dikategorikan sebagai infeksi endogen maupun eksogen. Infeksi endogen berasal dari strain karier yang sudah terdapat dalam tubuh penderita, sedangkan infeksi eksogen terjadi melalui penularan antar individu ataupun berada pada lingkungan yang terkontaminasi. Patogenesis terjadinya infeksi clostridiosis ini juga bergantung pada faktor host, virulensi dari Clostridium difficile, dan paparan antimikroba.[2,4]
Enterotoksin dan sitotoksin yang dihasilkan oleh C. difficile berperan dalam menyebabkan kolitis dan diare. Enterotoksin (toksin A) akan menyebabkan peningkatan permeabilitas mukosa intestinal dan sekresi cairan. Sitotoksin (toksin B) akan menyebabkan inflamasi pada kolon. Toksin yang diproduksi akan berikatan dengan reseptor pada mukosa intestinal, yang mana terdapat protein Rho didalamnya.
Ikatan dari toksin dengan protein reseptor ini mengakibatkan polimerisasi aktin, perubahan dari dinding sel, dan aktivitas pergerakan sel. Hal ini akan melonggarkan intercellular junction sehingga menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan diare sekretorik.[1]
Selain dari toksin A dan toksin B yang diproduksi, C. difficile juga memproduksi beberapa faktor virulensi lainnyam seperti CDT binary toxin, fibronectin binding protein FbpA, fimbriae, SlpA S-layer, Cwp84 cysteine protease, dan Cwp66, serta CwpV yang berperan sebagai bagian dari pathogenesis C. difficile.[1,2,4]