Patofisiologi Multiple Myeloma
Patofisiologi penyakit multiple myeloma lebih mudah dipahami dengan membagi fase penyakit menjadi premaligna serta fase maligna. Kondisi klinis yang berkaitan juga dapat dijelaskan berdasarkan perkembangan penyakit pasien dari fase premaligna menjadi maligna.
Patologi Terbentuknya Sel Myeloma
Patofisiologi multiple myeloma diketahui berasal dari sel plasma premaligna asimptomatik yang bernama monoclonal gammopathy of undetermined significance (MGUS). Sel plasma sendiri berasal daril Limfosit B yang nantinya secara normal akan membentuk immunoglobulin yang berperan dalam imunitas. Sel myeloma, sebagai klon abnormal sel plasma, berasal dari post-germinal center plasma cell di nodus kelenjar limfa, yang nantinya akan bermuara ke sumsum tulang.[2,3]
Jadi secara garis besar, proses patofisiologi multiple myeloma dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase terbentuknya MGUS dan fase perubahan menjadi sel multiple myeloma (MM).
Fase Terbentuknya MGUS
MGUS terbentuk diduga akibat terjadinya respon abnormal saat terjadi reaksi antigenik sehingga terbentuk sitogen abnormal yang menghasilkan immunoglobulin monoklonal dengan ciri proliferasi tak terkontrol, serta mampu menghindari apoptosis dan sistem imun.[2-4]
MGUS ditemukan pada lebih dari 3 % orang diatas usia 50 tahun. Sel plasma MGUS inilah yang nantinya akan berkembang menjadi sel myeloma dengan probabilitas 1 % pertahunnya. Pada beberapa orang, dengan kondisi intermediate (smoldering atau asymptomatic myeloma) probabilitas transformasi menjadi sel myeloma ganas meningkat menjadi 10% per tahun pada 5 tahun pertama, 3% per tahun pada 5 tahun berikutnya, dan akhirnya menjadi 1% per tahun untuk 10 tahun selanjutnya.[2-4]
Abnormalitas inisial sitogenetik yang terjadi antara lain terjadinya translokasi yang menyebabkan posisi onkogen menjadi berdampingan (seperti cyclin D1 pada 11q13, cyclin D3 pada 6q21 dan MMSE pada 4p16.3) pada rantai berat immunoglobulin di kromosom 14. [2-4]
Fase Perubahan MGUS
Perubahan MGUS menjadi MM dijelaskan berdasarkan hipotesis “second hit”. Menurut hipotesis ini, perubahan sel MGUS menjadi MM disebabkan oleh lesi sitogenetik berulang yang terjadi pada klon sel plasma abnormal, yang diakibatkan oleh ketidakstabilan genetik atau lingkungan mikro hematopoietik pada klon sel. Abnormalitas lanjutan ini contohnya terjadi pada del 17p13 (pada lokus p53), yang menyebabkan terjadinya mutasi Ras, aktivasi NFκB (Nuclear Factor Kappa B) serta pengeluaran berlebihan BCL-2 yang menyebabkan sel dapat menghindari reaksi apoptosis.[2,3]
Patofisiologi Gejala
Immunoglobulin monoklonal, yang merupakan immunoglobulin abnormal serta disfungsional yang dibentuk oleh sel myeloma, memiliki peran penting pada manifestasi klinis penyakit multiple myeloma. Immunoglobulin disfungsional yang terbentuk mensupresi globulin normal, menyebabkan leukopenia serta menyebabkan limfosit berfungsi secara abnormal, sehingga meningkatkan risiko infeksi rekuren.[2]
Immunoglobulin yang diproduksi terus-menerus dalam jumlah besar juga dapat menyebabkan terjadinya hiperviskositas (dengan gejala berupa chepalgia dan pandangan kabur), neurologic derangement, disfungsi trombosit sehingga pasien mudah mengalami perdarahan dan kerusakan tubulus renalis yang berujung gagal ginjal. [2,7]
Immunoglobulin disfungsional ini tidak memiliki manfaat untuk menjaga daya tahan tubuh, justru mengganggu kerja sistem imun dengan supresi globulin normal, mengganggu kerja limfosit serta menyebabkan leukopenia. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya immunoparesis sehingga pasien mudah sekali mengalami infeksi rekuren.[3]
Sementara itu, infiltrasi klon sel myeloma maligna di sumsum tulang menekan pembentukan sel-sel darah baru sehingga bermanifestasi sebagai anemia, trombositopenia, dan leukopenia. Pada tulang, sel maligna ini juga berperan dalam menginhibisi osteoblasts dan menstimulasi osteoclasts, sehingga terbentuk lesi litik pada tulang. [2,3]
Osteoklas terstimulasi akibat meningkatnya jumlah RANKL (receptor activator of NFκB ligand), serta terinhibisinya osteoprotegrin (OPG). MIP-1 alpha (macrophage inflammatory protein-1 alpha) dan IL-6 juga menstimulasi osteoclasts. Sel myeloma juga meningkatkan kadar DKK1 (dickkopf 1) yang berfungsi menginhibisi osteoblasts. Peningkatan kerja osteoklas ini lah yang menyebabkan terjadinya hiperkalsemia pada pasien.[3,8]