Penatalaksanaan Multiple Myeloma
Keputusan penatalaksanaan multiple myeloma didasarkan pada kelayakan pasien untuk menjalani proses transplantasi sel punca. Terapi inisial dapat mempersiapkan transplantasi pada pasien yang layak transplantasi atau meningkatkan kualitas hidup pada pasien geriatri yang tidak layak menjalani transplantasi.[4-6]
Terapi Jika Layak Menjalani Transplantasi Sel Punca
Kriteria pasien yang layak menjalani transplantasi sel punca antara lain:
- Berusia <65 tahun
- Status performa baik, dengan nilai status performa ECOG (Eastern Cooperative Oncology Group) <3
- Tidak ada disfungsi organ yang signifikan[2,3]
Pasien yang layak menjalani transplantasi perlu menjalani kemoterapi induksi dengan regimen obat triplet yaitu siklofosfamid, bortezomib, dexamethasone (CyBorD) atau lenalidomide, bortezomib, and dexamethasone (RVD). Regimen terapi diberikan sebanyak 4 siklus dengan setiap siklus berdurasi 4 minggu. Namun, regimen terapi ini dapat bervariasi tergantung penilaian klinisi.
Setelah menjalani transplantasi serta conditioning kemoterapi seperti melfalan, pasien dapat memulai konsolidasi dengan RVD yang diikuti dengan kemoterapi oral untuk maintenance berupa lenalidomide atau injeksi subkutan bortezomib. Terapi ini dihentikan hingga ada intoleransi obat atau ada progresi penyakit. Saat relaps, pasien akan perlu memulai regimen kemoterapi baru.[2,5,6]
Terapi Jika Tidak Layak Menjalani Transplantasi Sel Punca
Pasien yang tidak dapat menjalani transplantasi akan menerima terapi awal berupa regimen obat triplet, umumnya berupa regimen daratumumab yang sering dikombinasi dengan lenalidomide dan dexamethasone. Pasien yang berusia sangat tua atau frail dapat menerima regimen doublet (bukan triplet) dengan dosis direduksi.
Pasien bisa meneruskan daratumumab dan lenalidomide hingga terjadi intoleransi atau progresi penyakit. Sementara itu, bortezomib dan dexamethasone biasanya selesai dalam 6–12 bulan.[2,5,6]
Terapi Jika Kondisi Relaps atau Refrakter
Terapi multiple myeloma yang relaps bersifat kompleks dan tergantung pada faktor risiko setiap individu, misalnya usia, frailty, riwayat terapi sebelumnya, dan status refrakter terhadap kelas obat tertentu.
Sebelumnya, terapi doublet berupa bortezomib dan dexamethasone paling banyak dipakai sebagai terapi lini pertama pada kasus relaps. Namun setelah 2016, mulai diperkenalkan terapi triplet berupa panobinostat, bortezomib, dan dexamethasone, yang menjadi pilihan bila sebelumnya pasien telah mendapat terapi doublet.[2,5,6]
Terapi Suportif
Pada pasien multiple myeloma yang mengalami anemia simtomatik, terapi suportif berupa transfusi darah dapat diberikan atau pada beberapa kasus disertai pemberian erythropoiesis-stimulating agents. Pasien dengan sindrom hiperviskositas diberikan terapi plasmaferesis.
Pada pasien dengan hiperkalsemia dan gagal ginjal, terapi yang bisa dipertimbangkan adalah hidrasi, kortikosteroid, bifosfonat, kalsitonin, dan hemodialisis. Terapi profilaksis juga diperlukan bagi pasien multiple myeloma, contohnya vaksin, antibiotik profilaksis dan hematopoietic growth factors selama beberapa bulan pertama induksi kemoterapi. Nyeri tulang yang berat biasanya membutuhkan opioid untuk meredakan nyeri.[2,4,8-10]
Manajemen Tromboembolisme
Pedoman terkini juga menyarankan optimalisasi manajemen tromboembolisme vena, yang risikonya diketahui meningkat pada pasien yang menerima regimen kemoterapi multiagen. Algoritma manajemen didasarkan pada sistem skoring untuk stratifikasi risiko, agar pemberian tromboprofilaksis lebih personal sesuai kebutuhan setiap pasien.
Pasien yang berisiko tinggi tromboembolisme vena mungkin akan mendapatkan manfaat lebih banyak dari antikoagulan bila dibandingkan dengan mereka yang berisiko rendah tromboembolisme.
Prediktor tromboembolisme vena yang digunakan untuk menilai risiko adalah jenis immunomodulatory agent yang digunakan, indeks massa tubuh pasien, ada tidaknya fraktur pelvis atau femur, ada tidaknya penggunaan erythropoietin-stimulating agent dan dexamethasone/doxorubicin. Orang keturunan Asia dan orang dengan riwayat tromboembolisme juga lebih berisiko.[11,12]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda