Patofisiologi Defisiensi Glukosa-6-Fosfat-Dehidrogenase (G6PD)
Patofisiologi defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (defisiensi G6PD) adalah kurangnya aktivitas reduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADP) menjadi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH) yang melindungi sel dari kerusakan oksidatif akibat defisiensi enzim tersebut.
Penurunan Aktivitas Reduksi NADP
Enzim G6PD merupakan katalisator reduksi NADP menjadi NADPH dalam jalur pentosa fosfat. NADPH mempertahankan glutathione dalam bentuk tereduksi, yang berfungsi mengatasi stres oksidatif yang dapat membahayakan kelangsungan hidup sel.
Eritrosit merupakan sel yang paling rentan mengalami kerusakan oksidatif pada defisiensi G6PD karena eritrosit tidak dapat menghasilkan NADPH melalui jalur lain. Pada penderita defisiensi G6PD, stres oksidatif dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin dan hemolisis intravaskular.[2,4]
Aktivitas enzim G6PD pada sel darah merah normal yang tidak sedang mengalami stres oksidatif adalah 2 persen dari kapasitas total. Individu dengan defisiensi total G6PD tidak dapat bertahan hidup. Meskipun demikian, pada penderita defisiensi G6PD dengan pengurangan aktivitas enzim yang cukup besar, sebagian besar kasus dapat tidak menunjukkan gejala klinis.
Klasifikasi Varian Defisiensi G6PD
Varian-varian defisiensi G6PD dikelompokkan menurut WHO menjadi beberapa kelas berdasarkan keparahan penyakit :
- Kelas I: Tingkat defisiensi berat, aktivitas enzim anemia hemolitik kronis nonsferositik dengan fungsi eritrosit normal
- Kelas II: Tingkat defisiensi berat, aktivitas enzim kurang dari 10% aktivitas normal
- Kelas III: Tingkat defisiensi sedang, aktivitas enzim 10-60% aktivitas normal
- Kelas IV: tingkat defisiensi ringan sampai tidak ada, aktivitas enzim 60-150% aktivitas normal
- Kelas V: Tingkat defisiensi tidak ada, aktivitas enzim >150% aktivitas normal[2,3]
Patofisiologi Gejala pada Defisiensi G6PD
Defisiensi G6PD dapat menimbulkan penyakit seperti ikterus neonatorum (hiperbilirubinemia neonatal) dan hemolisis akut serta kronis.[1,4]
Hemolisis
Episode hemolisis akut dipicu oleh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif, seperti :
- Infeksi
- Konsumsi obat, misalnya dapson, flutamid, sulfasetamid, atau primakuin
- Konsumsi kacang fava (hemolisis setelah konsumsi kacang fava atau menghirup serbuk sarinya disebut favism)
- Ketoasidosis[2]
Pada episode hemolisis akut, tubuh berusaha mengompensasi dengan memproduksi sel-sel darah merah baru yang memiliki kadar enzim G6PD tinggi, sehingga hemolisis akut umumnya bersifat self-limiting, berlangsung antara 8-14 hari. Hemolisis kronis umumnya didapatkan pada pasien dengan defisiensi G6PD berat.[1-4]
Hiperbilirubinemia
Pada neonatus dengan defisiensi G6PD, hiperbilirubinemia dapat terjadi akibat konjugasi bilirubin yang tidak efektif. Bayi prematur lebih berisiko mengalami kondisi ini.[2,4]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja