Diagnosis Dislokasi Bahu
Diagnosis dislokasi bahu dapat dilakukan dengan penunjang pencitraan baik dengan rontgen, CT scan, maupun MRI untuk mengevaluasi adanya fraktur serta menilai keterlibatan jaringan lunak sekitar.[4,5]
Anamnesis
Pasien dislokasi bahu umumnya merasakan sensasi pergerakan sendi atau popping sensation, nyeri pada bahu, keterbatasan gerakan lengan, dan kesemutan atau baal pada lengan. Pada anamnesis perlu ditanyakan mekanisme trauma yang terjadi, serta faktor risiko yang dimiliki pasien, misalnya aktivitas fisik atau riwayat dislokasi bahu sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, Range of motion (ROM) terbatas dan terasa nyeri yang hebat jika dilakukan gerakan. Pada pemeriksaan fisik juga perlu dilihat kondisi neurovaskular ipsilateral, seperti adanya rasa kesemutan yang menjalar atau bahkan baal. Pulsasi arteri radial perlu diperiksa untuk mengetahui apakah ada gangguan peredaran darah. Pemeriksaan lain adalah perabaan akral hangat atau dingin dan capillary refill time (CRT).
Dislokasi Bahu Anterior
Jika terjadi dislokasi bahu anterior, akan didapatkan lengan terabduksi dengan rotasi eksternal, caput humerus menonjol di sisi anterior, dan cekungan di sisi posterior bahu.
Dislokasi Bahu Posterior
Pada dislokasi bahu posterior, posisi lengan teradduksi dengan rotasi internal, dan caput humerus menonjol di sisi posterior. Dislokasi bahu posterior lebih sulit terdeteksi karena pasien hanya tampak seperti melipat lengan ke sisi dalam tubuh.
Dislokasi Bahu Inferior
Pada dislokasi bahu inferior, tangan akan terabduksi, dengan siku fleksi. Dapat teraba caput humeri pada dinding lateral thorax.[4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dislokasi bahu adalah cedera pada sendi bahu lainnya, seperti cedera sendi acromioclavicular, fraktur klavikula, cedera rotator cuff, dan swimmer’s shoulder.
Cedera Sendi Acromioclavicular
Secara klinis, cedera sendi acromioclavicular ditandai dengan nyeri pada bahu sisi anterior, os klavikula terlihat lebih tinggi dibandingkan acromion, dan scarf test / cross body adduction test positif.
Scarf test atau cross body adduction test dilakukan dengan siku posisi fleksi 90 derajat dan bahu fleksi 90 derajat elevasi ke depan dada. Kemudian lengan diadduksi hingga tangan menyentuh pundak kontralateral. Hasil positif bila nyeri pada sendi bahu, menandakan adanya cedera sendi acromioclavicular. Diagnosis dipastikan dengan rontgen atau MRI bahu.[12]
Fraktur Klavikula
Pasien dengan fraktur klavikula dapat mengeluhkan bengkak dan nyeri pada area klavikula, disertai penurunan kemampuan menggerakan lengan di sisi yang cedera. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonjolan tulang, krepitasi, dan ROM terbatas. Fraktur klavikula dibedakan dengan dislokasi bahu melalui rontgen.[12]
Cedera Rotator Cuff
Pada cedera rotator cuff, nyeri dada yang dikeluhkan sulit terlokalisir. Pada saat elevasi dan abduksi, akan didapatkan kekuatan menurun. Gerakan pasif lebih leluasa dibandingkan gerakan aktif, dan drop arm test positif.
Drop arm test dilakukan dengan pemeriksa melakukan gerakan pasif abduksi dan rotasi eksternal pada lengan pasien, dan pasien diminta menahan lengan pada posisi tersebut. Hasil positif bila pasien tidak mampu secara aktif mempertahankan posisi lengan sehingga lengan perlahan jatuh atau drop arm.
Diagnosis dikonfirmasi dengan MRI.[12]
Swimmer’s Shoulder
Pada swimmer’s shoulder pasien mengeluhkan nyeri bahu terutama saat sedang atau segera sesudah berenang. Nyeri terasa di “dalam” bahu seperti nyeri rotator cuff. Painful arc test positif menandakan adanya subacromial impingement.
Painful arc test dilakukan dengan pasien melakukan abduksi lengan perlahan ke lateral dari bawah hingga ke atas kepala. Hasil positif bila pada posisi antara 70-110 derajat terdapat nyeri yang kemudian hilang setelah lengan melewati sudut tertentu hingga lengan terangkat lurus ke atas.
MRI umumnya normal, namun terkadang bisa ditemukan tendinitis supraspinatus, adanya cairan pada bursa subacromial (bursitis), atau disertai cedera rotator cuff.[12]
Pemeriksaan Penunjang
Dislokasi bahu dapat didiagnosis secara klinis. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis, mengevaluasi adanya fraktur.
Walaupun pemeriksaan radiologi sering dilakukan, beberapa studi merekomendasikan penggunaan pemeriksaan radiologi secara selektif. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan pada pasien dengan dislokasi pertama kali, ketika mekanisme cedera melibatkan trauma tumpul yang berisiko menimbulkan fraktur, atau klinisi tidak yakin dengan posisi sendi.[5]
Rontgen
Rontgen bahu untuk mendeteksi adanya dislokasi, seperti rontgen muskuloskeletal lainnya, harus dilakukan pada 2 posisi, terutama posisi anterioposterior (AP) dan axillary lateral view. Namun bila axillary lateral tidak bisa dilakukan akibat keterbatasan range of motion pasien, dapat diambil posisi scapular Y view (posisi posteroanterior oblique).
Rontgen bermanfaat untuk menilai adanya fraktur atau adanya segmen fraktur yang avulsi pada sendi bahu. Pada rontgen juga perlu dilihat adanya lesi Blankart dan Hill-Sachs, fraktur klavikula, posisi caput humeri, dan disrupsi acromioclavicular.
MRI
MRI dilakukan setelah dislokasi bahu direduksi untuk menilai keterlibatan jaringan lunak dan apakah diperlukan intervensi bedah. Pada dasarnya, pemeriksaan MRI paling baik dilakukan dengan kontras yang diinjeksikan ke dalam sendi bahu. MRI bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding terutama cedera rotator cuff.
CT Scan
CT scan dilakukan bila gambaran rontgen tidak dapat diambil dengan baik, misalnya bila pasien terlalu nyeri sehingga tidak dapat diambil sesuai posisi yang diinginkan atau tidak kooperatif.[4]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri