Penatalaksanaan Deep Vein Thrombosis
Penatalaksanaan deep vein thrombosis (DVT) atau thrombosis vena dalam yang utama adalah dengan pemberian antikoagulan. Terapi antikoagulan dapat dilakukan dengan direct oral anticoagulant (DOAC), seperti rivaroxaban atau dabigatran, yang menunjukkan efikasi yang setara dengan warfarin dengan risiko perdarahan yang lebih rendah dibandingkan terapi antikoagulan konvensional.[20,21]
Prinsip Penanganan DVT
Penatalaksanaan DVT dapat dibagi menjadi fase inisiasi awal, fase terapi primer, fase pencegahan sekunder, dan fase lanjutan.[4,15,20]
Fase Inisiasi Awal
Fase inisiasi awal (5 – 21 hari) bertujuan untuk memulai penggunaan antikoagulan guna mencegah propagasi DVT. Fase ini terdiri dari perawatan rawat jalan dan rawat inap dengan pilihan terapi antikoagulan, fibrinolitik, atau filter vena cava. Perawatan rawat jalan direkomendasikan untuk pasien DVT tanpa komplikasi atau risiko komplikasi rendah.[20]
Indikasi rawat inap pada pasien DVT antara lain:
- Diduga atau terbukti ada kejadian emboli paru konkomitan
- Komorbiditas kardiovaskular atau pulmonal yang signifikan
- DVT Iliofemoral
- Kontraindikasi terhadap antikoagulan
- Gangguan koagulasi familial atau turunan: defisiensi antithrombin III (ATIII), prothrombin 20210A, defisiensi protein C atau protein S, atau faktor V Leiden
- Gangguan perdarahan familial
- Kehamilan
- Obesitas morbid (>150 kg)
- Komorbiditas signifikan, seperti gagal ginjal (kreatinin >2 mg/dL)
- Faktor lain, seperti tidak tersedia atau tidak dapat dipantau ketat bila rawat jalan, tuna wisma, atau tempat tinggal terlalu jauh dari rumah sakit
Pilihan terapi bagi pasien DVT adalah direct oral anticoagulant (DOAC), seperti apixaban dan rivaroxaban, serta vitamin K antagonist (VKA) seperti warfarin. Kontraindikasi antikoagulan oral dan VKA adalah pasien dengan riwayat insufisiensi ginjal, penyakit hepar derajat sedang-berat, dan sindrom antifosfolipid.[20]
Terapi fibrinolitik diberikan bagi pasien DVT anggota gerak bawah yang mengancam nyawa. Selain itu, terapi ini juga diindikasikan bagi pasien DVT simptomatik usia muda dengan risiko perdarahan rendah tetapi memiliki risiko tinggi post-thrombotic syndrome.
Pada pasien DVT dengan gangguan hemodinamik, direkomendasikan untuk mengkombinasikan antikoagulan dan terapi trombolitik. Terapi trombolisis melalui kateter direkomendasikan untuk pasien DVT ekstensif. Filter vena cava (IVC filter) direkomendasikan untuk pasien DVT proksimal dengan penyakit kardiopulmonal.[9,11,20]
Fase Terapi Primer
Fase terapi primer (3- 6 bulan) merupakan fase di mana pasien DVT harus mengkonsumsi obat antikoagulan dalam jangka waktu tertentu untuk mengatur dosis terapeutik, mencegah propagasi DVT, dan mengurangi risiko rekurensi. Pasien provoked dan unprovoked DVT direkomendasikan untuk mengkonsumsi obat antikoagulan minimal 3-6 bulan, dan dapat berlanjut hingga 6-12 bulan.[4,20]
Fase Pencegahan Sekunder dan Fase Lanjutan
Fase pencegahan sekunder meliputi pertimbangan untuk menghentikan terapi antikoagulan dan terapi indefinitif serta pemilihan terapi lainnya. Untuk mempertimbangkan penghentian penggunaan obat antikoagulan, maka dokter perlu melakukan penilaian skoring prognosis, melakukan pemeriksaan D-Dimer atau ultrasonografi untuk mendeteksi residu thrombosis vena.
Pasien yang sudah menyelesaikan terapi di fase terapi primer, direkomendasikan untuk melanjutkan terapi antikoagulan dengan VKA. Fase lanjutan bertujuan untuk mengurangi risiko rekurensi jangka panjang.[4,20]
Antikoagulan
Berbagai antikoagulan dapat dipilih pada DVT, termasuk unfractionated heparin, low molecular weight heparins, warfarin, fondaparinux, serta golongan direct oral anticoagulant (DOAC) seperti dabigatran dan apixaban. Tinjauan Cochrane (2023) menunjukkan bahwa DOAC unggul dalam hal keamanan terkait risiko perdarahan dibandingkan pilihan antikoagulan lain.[20,21]
Direct Oral Anticoagulant (DOAC)
Golongan DOAC digunakan sebagai alternatif warfarin. Penggunaan DOAC kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal. Keunggulan golongan ini adalah sedikit interaksi obat, dapat diberikan per oral tanpa bridging therapy lebih dulu, tidak perlu pemantauan laboratorium, dan efikasinya telah dilaporkan setara warfarin. Keterbatasannya adalah waktu paruh lama, serta belum banyak studi untuk kelompok pasien tertentu seperti pasien kanker.[10,21]
Dosis yang dapat digunakan adalah:
- Dabigatran 150 mg setiap 12 jam. Turunkan dosis menjadi 110 mg setiap 12 jam pada pasien di atas 75 tahun atau jika klirens kreatinin (CrCl) 30–49 mL/min.
Edoxaban diberikan 60 mg setiap 24 jam, dapat diturunkan menjadi 30 mg setiap 24 jam pada pasien dengan CrCl < 30 mL/menit.
- Apixaban diberikan 10 mg setiap 12 jam selama 7 hari, dilanjutkan dengan dosis 5 mg setiap 12 jam. Jika digunakan untuk terapi jangka panjang, turunkan dosis menjadi 2,5 mg 2 kali sehari.
Rivaroxaban diberikan 15 mg setiap 12 jam selama 3 minggu, dilanjutkan dengan dosis 20 mg setiap 24 jam. Untuk terapi jangka Panjang, turunkan dosis menjadi 10 mg per hari.[4,9]
Warfarin
Warfarin memerlukan waktu sekitar 1 minggu agar dapat bekerja sehingga diberikan segera setelah diagnosis DVT ditegakkan bersamaan dengan bridging therapy seperti LMWH. Dosis standar yang digunakan adalah 5 mg/hari, dapat disesuaikan setiap 3-7 hari untuk mendapat nilai INR antara 2.0-3.0. Durasi penggunaan adalah 3-6 bulan untuk DVT tanpa komplikasi. Pada penggunaan warfarin, lakukan pemantauan terhadap prothrombin time (PT) atau INR secara teratur selama durasi terapi.[9,11]
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Keuntungan penggunaan LMWH adalah dapat diberikan subkutan dengan dosis 1-2 kali yang disesuaikan dengan berat badan. Keterbatasan LMWH adalah tidak dapat digunakan pada pasien dengan insufisiensi renal berat karena diekskresikan melalui ginjal. Pemantauan aktivitas faktor Xa perlu dilakukan empat jam setelah penyuntikan LMWH 0.6 -1 IU/mL (setiap 12 jam) atau 1-2 IU/mL (setiap 24 jam).[4]
Unfractionated Heparin (UFH)
LMWH lebih direkomendasikan dibandingkan UFH intravena, namun UFH dapat digunakan untuk pasien dengan insufisiensi renal berat atau penyakit kritis lain. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian UFH adalah berat badan dan nilai activated partial thromboplastin time (APTT).
Dosis (body weight adjusted) UFH rute IV adalah 80 IU/ kgBB bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan 18 IU/ kgBB/jam. Sementara itu, untuk rute subkutan, dosis UFH adalah 5000 IU bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan 175000 IU setiap 12 jam dengan memperhatikan nilai APTT.[4,9]
Pemantauan rasio perlu dilakukan untuk memprediksi risiko terjadinya rekurensi DVT. Target rasio APTT dalam 24 jam setelah pemberian UFH adalah 1,5–2,5. Selain APTT, penilaian aktivitas antifaktor Xa juga dapat dilakukan dengan target nilai 0,3-0.7 IU/mL. Penyesuaian dosis UFH berdasarkan nilai APTT adalah:
- APTT <35 detik (rasio APTT/nilai normal <1,2): bolus 80 U/kgBB, lalu 4 U/kgBB/jam
- APTT 35-45 detik (rasio APTT/nilai normal 1,2-1,5): bolus 40 U/kgBB lalu dinaikkan 2 U/ kgBB /jam
- APTT 46-70 detik (rasio APTT/nilai normal 1,5-2,5): tidak ada perubahan dosis
- APTT 71-90 detik (rasio APTT/nilai normal 2,5-3): diturunkan 2 U/kgBB/jam
- APTT >90 detik (rasio APTT/nilai normal >3): tunda infus 2 jam, lalu turunkan 3 IU/kgBB/jam[4]
Fondaparinux
Secara struktur kimia, fondaparinux mirip dengan UFH dan LMWH, namun efek antikoagulasinya dihasilkan melalui mekanisme yang berbeda. Fondaparinux selektif terhadap faktor Xa dan tidak memiliki afinitas terhadap PF-4 sehingga mengurangi kejadian heparin-induced thrombocytopenia.[10]
Keterbatasan obat ini adalah waktu paruh lama (17-21 jam), dan tidak dapat diberikan pada pasien dengan nilai klirens kreatinin (CrCl) < 30 mL/menit. Fondaparinux diberikan secara subkutan dengan dosis terapi 7,5 mg (setiap 24 jam). Apabila berat badan pasien <50 kg, maka dosis yang diberikan 5 mg. Sedangkan bila berat badan pasien > 100 kg, maka dosis yang diberikan adalah 10 mg.[4,10]
Terapi Trombolisis
Terapi thrombolitik dengan kateter dapat direkomendasikan pada pasien DVT simptomatik dengan gejala yang menetap <14 hari, status fungsional baik, dan memiliki angka harapan hidup >1 tahun, serta risiko perdarahan yang rendah.[17]
Saat ini trombolisis intravena untuk DVT, misalnya menggunakan streptokinase, tidak lagi direkomendasikan karena meningkatkan kejadian komplikasi perdarahan, peningkatan risiko mortalitas, serta meningkatkan kejadian post-thrombotic syndrome.[1,4,9,11]
Filter Vena Cava
Penatalaksanaan DVT dengan filter vena cava (IVC filter) hanya dilakukan pada kasus-kasus spesifik. Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien yang kontraindikasi terhadap terapi antikoagulasi, mengalami perdarahan yang mengancam nyawa, dan gagal terapi atau rekurensi dengan penggunaan antikoagulasi yang sudah adekuat. Kebanyakan filter IVC yang ada saat ini tidak perlu diambil lagi setelah dipasang.
Perlu diketahui bahwa filter IVC dikaitkan dengan peningkatan risiko DVT rekuren hingga sebesar 70% bila dibandingkan dengan tanpa pemasangan filter IVC. Pemasangan filter IVC juga membawa risiko thrombosis filter, migrasi, dan penetrasi dinding IVC.[9,11]
Stoking Kompresi
Stoking kompresi telah dilaporkan memiliki bermanfaat dalam penanganan DVT dengan mengurangi risiko post-thrombotic syndrome (PTS) dan oklusi vena residu.
Terdapat studi yang menunjukkan bahwa penggunaan stoking kompresi selama minimal 6 bulan, hingga skor Villalta menurun menjadi 4 atau kurang dalam dua pembacaan berturut-turut, memiliki efek yang sama dengan penggunaan selama 2 tahun dalam mencegah PTS pada pasien dengan DVT proksimal akut. Studi tersebut juga menemukan bahwa kompresi akut pada kaki dalam waktu 24 jam setelah diagnosis DVT, dibandingkan dengan tidak menggunakan kompresi, dikaitkan dengan penurunan oklusi vena residu dan PTS.[9]
Pencegahan Sekunder Tromboembolisme Vena
Pencegahan sekunder kejadian tromboembolisme vena (VTE) umumnya diperlukan. Pada pasien yang telah menyelesaikan pengobatan antikoagulan untuk DVT yang pertama kali tanpa pemicu yang jelas, dan pada kondisi di mana antikoagulasi lanjutan tidak sesuai atau tidak dapat diakses, dapat diberikan aspirin 100 mg secara harian untuk mengurangi risiko VTE berulang.
Sementara itu, untuk pasien dengan VTE yang telah menyelesaikan 6–12 bulan terapi antikoagulan, di mana terdapat ketidakpastian klinis mengenai kelanjutan atau penghentian terapi antikoagulan, terapi antikoagulan lanjutan dengan apixaban dosis rendah 2,5 mg dua kali sehari selama 12 bulan tambahan telah dilaporkan lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi risiko VTE berulang atau kematian berbagai sebab.[9]
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra