Diagnosis Atresia Bilier
Deteksi dini untuk diagnosis atresia bilier sangat penting dilakukan sebab keberhasilan tata laksana akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Baku emas diagnosis atresia bilier dapat dilakukan dengan kolangiogram intraoperatif dengan didukung oleh biopsi hepar. [8]
Japanese Association of Pediatric Surgeons membagi atresia bilier menjadi tiga kelompok utama berdasarkan anatomi dan derajat obstruksi bilier, yaitu :
- Tipe I (atresia bilier distal): mengenai duktus biliaris komunis, sedangkan kantung empedu dan duktus hepatik masih paten
- Tipe II (atresia bilier proksimal): atresia pada duktus hepatikum, namun bagian proksimal duktus intrahepatik tetap paten namun dapat membentuk struktur kista pada porta hepatika
- Tipe IIa: kantung empedu dan duktus biliaris komunis ada dan paten
- Tipe IIb: kantung empedu, duktus biliaris komunis, dan duktus hepatika seluruhnya mengalami obliterasi
- Tipe III (“complete”): obliterasi duktus biliaris intrahepatik dan seluruh ekstrahepatik [14]
Anamnesis
Anamnesis pada pasien dengan atresia bilier harus meliputi riwayat prenatal, perinatal, riwayat mulai timbulnya sindrom kolestasis, serta riwayat keluarga untuk menyingkirkan kolestatik hepatik yang disebabkan oleh kelainan genetik atau metabolik.
Gejala kolestasis seperti ikterus yang melebihi 14 hari, warna urine yang gelap, serta perubahan warna feses menjadi seperti dempul merupakan gejala yang sering didapatkan pada pasien atresia bilier. Ikterus biasanya muncul pada usia 3-6 minggu. [20]
Riwayat prenatal yang meliputi riwayat penyakit ibu selama kehamilan, antara lain infeksi toxoplasma, rubella, CMV dan Herpes (TORCH), serta hepatitis B perlu ditanyakan. Riwayat kelahiran juga perlu diketahui, seperti adanya infeksi intrapartum serta berat badan lahir. Riwayat penggunaan nutrisi parenteral, transfusi darah, dan penggunaan obat hepatotoksik juga perlu diketahui.
Selain itu, anamnesis mengenai riwayat tumbuh kembang juga perlu dilakukan karena pasien dengan atresia bilier berisiko untuk mengalami gangguan tumbuh kembang. [21]
Pemeriksaan Fisik
Neonatus dengan atresia bilier biasanya menunjukkan tanda-tanda kolestasis, seperti ikterus persisten yang melebihi 14 hari, warna urine yang gelap, feses seperti dempul, dan hepatomegali. Pada tahap yang lebih lanjut, bayi akan menunjukkan tanda-tanda splenomegali, sirosis hepatis, asites, gejala hipertensi portal, dan gangguan tumbuh kembang. [8,22,23]
Jaundice pada neonatus dengan ikterus fisiologis jarang bertahan lebih dari 2 minggu, sehingga dokter perlu melakukan evaluasi jika keadaan ikterus ini memanjang.
Pemeriksaan antropometri yang meliputi tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala harus rutin dilakukan pada pasien atresia bilier. Pada hari-hari awal kehidupan, neonatus dengan atresia bilier dapat menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal, tetapi setelah 2-3 bulan pasien akan mengalami gangguan pertumbuhan.
Adanya murmur kardiak saat pemeriksaan fisik mengindikasikan adanya kelainan terkait anomali jantung.
Neonatus yang datang dengan presentasi klinis kolestasis harus dicurigai sebagai atresia bilier karena tindakan pembedahan pada usia 2 bulan terbukti memberikan hasil yang baik dan dapat mencegah terjadinya sirosis yang ireversibel. [24]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada atresia bilier adalah meliputi penyakit dengan keadaan cholestatic jaundice. Berdasarkan tanda dan gejala yang muncul pada atresia bilier, maka di bawah ini beberapa diagnosis banding untuk atresia bilier :
Neonatal Hepatitis
Pada neonatal hepatitis, ikterus yang muncul disebabkan oleh inflamasi dan/atau kerusakan duktus biliaris di dalam hepar (intrahepatik). Etiologi terseringnya adalah virus serta penyakit lainnya seperti Alagille syndrome, defisiensi alfa-1 antitripsin, fibrosis kistik, kolestasis familial intrahepatik yang progresif, serta gangguan sintesis bilirubin.
Gejala biasanya muncul pada minggu pertama kehidupan dan dapat menyebabkan ikterus, hepatomegali, penurunan nafsu makan. Bayi dengan atresia biliaris memiliki kadar GGT lebih dari 300 UI/L, hal ini yang membedakan atresia biliaris dan neonatal hepatitis. [8]
Primary Sclerosing Cholangitis (PSC)
Primary sclerosing cholangitis (PSC) merupakan penyakit yang jarang dan dikarakterisasi dengan inflamasi, penebalan, dan adanya fibrosis abnormal pada duktus bilier. Hal ini menyebabkan terjadinya kolestasis. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, namun dapat terjadi pada neonatus dengan gejala menyerupai neonatal hepatitis dan atresia bilier. Penyebab dari PSC belum dapat diketahui, namun berhubungan dengan gangguan sistem imun. [25,26]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk atresia bilier meliputi pemeriksaan laboratorium, pencitraan, dengan baku emas diagnosisnya adalah biopsi hepar. Atresia bilier juga dapat ditandai dengan peningkatan bilirubin total dan direk. Kadar serum alfa-1 antitripsin harus ditentukan karena defisiensi alfa-1 antitripsin dapat menjadi salah satu etiologi terjadinya kolestasis. [3]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien atresia biilier, antara lain kadar bilirubin total dan direk, fungsi hepar, kadar alfa-1 antitripsin serum, dan sweat chloride test.
Neonatus dengan atresia bilier memiliki kadar bilirubin direk (terkonjugasi) yang abnormal saat lahir (>1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau >20% bilirubin total bila bilirubin total >5 mg/dL). Pada pasien tersebut perlu dilakukan follow up pemeriksaan bilirubin direk 2 minggu kemudian. [3,24]
Fungsi hepar dapat diperiksa dengan mengevaluasi kadar albumin, enzim hepar, serta prothrombin time/partial thromboplastin time (PT/PTT). Pemeriksaan kadar albumin dan profil koagulasi (PT/PTT) dapat memberikan gambaran mengenai tingkat keparahan gangguan hepar. Albumin dan faktor-faktor koagulasi diproduksi hepar dan kadarnya akan menurun apabila terdapat gangguan fungsi hepar. [22]
Enzim hepar merupakan marker dari kerusakan hepar, terdiri dari alanin transaminase (ALT) dan aspartat transaminase (AST), ditemukan di dalam hepatosit dan dilepaskan pada saat hepar mengalami kerusakan. Selain itu, alkali fosfatase (ALP) yang ditemukan pada sel-sel endotel duktus biliaris dan gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) juga dapat menjadi penanda kerusakan hepar.
Enzim-enzim ini akan mengalami peningkatan dengan adanya kerusakan hepar. Peningkatan kadar GGT merupakan parameter yang penting pada atresia biliaris. Enzim GGT akan meningkat sampai dengan 4 kali lipat pada atresia biliaris (≥300 UI/L). Rasio GGT/ALT yang lebih dari 2 dapat membantu menegakkan diagnosis atresia biliaris, walaupun bukan gold standard diagnosis. ALP ditemukan lebih rendah pada mereka dengan atresia biliaris. [8,22,27]
Salah satu etiologi dari kolestasis adalah defisiensi alfa-1 antitripsin sehingga pemeriksaan ini diperlukan untuk mengeksklusi keadaan tersebut. [12]
Sweat chloride test dilakukan untuk mengeksklusi fibrosis kistik, karena gangguan duktus biliaris adalah salah satu komplikasi tersering dari fibrosis kistik. Pada sweat chloride test, keringat yang telah terserap dengan kertas filter akan diletakkan pada buffer sehingga konsentrasi klorida dapat ditentukan. [24]
Biopsi Hepar
Biopsi hepar pada kolestasis neonatal menunjukkan adanya fibrosis hepar yang variatif, proliferasi duktus biliaris, obstruksi duktus bilier (kolestasis) dengan infiltrasi sel-sel inflamatori. Namun, sensitivitas dan spesifisitas biopsi hepar menurun pada pasien yang berusia lebih dari 2 bulan. Pemeriksaan histopatologis juga dapat menentukan prognosis pasien. Bayi dengan atresia bilier ekstrahepatik dengan fibrosis yang luas pada usia dini dan malformasi ductal plate memiliki angka survival yang lebih rendah (prognosis yang buruk). [28,29]
Pencitraan
Baku emas diagnosis atresia bilier dapat dilakukan dengan kolangiografi intraoperatif. Apabila triangular cord sign pada sonografi terlihat dengan jelas, maka tahap selanjutnya yang direkomendasikan adalah melakukan operative cholangiography. [3,12,22]
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah hepatobiliary scan dan Hepatobiliary iminodiacetic acid (HIDA) scan untuk mengetahui aliran empedu ke usus. Namun, pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan penunjang yang krusial. [5,6]
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan penunjang lain pada atresia bilier diperlukan untuk mengeksklusi penyebab lain dari kolestasis neonatal yang disebabkan oleh gangguan metabolik, infeksi, genetik, dan endokrin.
Studi yang dilakukan Chatmanee, et al menunjukkan bahwa pasien dengan atresia bilier memiliki kadar MMP-7 yang lebih tinggi dibandingkan bayi sehat. Kadar MMP-7 ini berhubungan dengan stadium fibrosis. MMP-7 memiliki angka sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (98,67% dan 95%) apabila digunakan untuk mengeksklusi diagnosis banding lainnya yang menyebabkan kolestasis neonatal. Dengan demikian, pemeriksaan kadar MMP-7 dapat dijadikan biomarker non-invasif yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada masa mendatang, walaupun saat ini belum digunakan secara rutin. [3,30]