Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Bayi
Penatalaksanaan gastroesophageal reflux (GER) pada bayi yang utama adalah meyakinkan orang tua bahwa gejala pasien akan membaik seiring berjalannya waktu. Apabila pasien tidak mengalami gastroesophageal reflux disease (GERD) ataupun komplikasinya, farmakoterapi dan intervensi medis umumnya tidak diperlukan. Pada kebanyakan GER pada bayi, tata laksana konservatif dapat memperbaiki gejala dan gejala akan hilang saat bayi menginjak usia 1 tahun.[3,5]
Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi saja umumnya cukup untuk bayi dengan GER tanpa komplikasi. Uncomplicated gastroesophageal reflux dapat didiagnosis pada bayi yang tidak memiliki tanda bahaya, memiliki kenaikan berat badan adekuat, dapat makan dengan baik, tidak mengalami iritabilitas, dan menunjukkan hasil pemeriksaan fisik yang normal.
Kebanyakan pasien yang mengalami refluks adalah pasien dengan uncomplicated gastroesophageal reflux. Meski demikian, selain menjalani terapi nonfarmakologi, bayi perlu menjalani pemantauan adanya tanda bahaya, awitan gejala baru, ataupun perburukan gejala secara rutin. Pada kebanyakan kasus, regurgitasi akan hilang saat bayi berusia 1 tahun. Jika gejala tidak membaik saat bayi berusia 18‒24 bulan, evaluasi ulang diperlukan dan penyebab selain GERD harus dipertimbangkan.
Jika gejala regurgitasi mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya, atau jika regurgitasi menyebabkan kongesti nasal ataupun gangguan tidur, maka terapi seperti penggunaan pengental makanan, 2 minggu percobaan diet hipoalergenik, dan pemosisian tegak setelah makan dapat dicoba untuk meringankan gejala.
Selain itu, sampaikan pada orang tua bahwa pasien tetap harus tidur dalam posisi supinasi untuk mencegah sudden infant death syndrome (SIDS). Tata laksana nonfarmakologi lain mencakup menghindari paparan asap rokok dan mencegah overfeeding.[2,9,13-15]
Menghindari Paparan Asap Rokok
Asap rokok dilaporkan dapat menurunkan tekanan sfingter esofagus inferior. Selain itu, terdapat studi yang menunjukkan bahwa asap rokok menyebabkan peningkatan frekuensi refluks. Sampaikan pada pengasuh pasien bahwa menghindari paparan asap rokok juga membawa banyak manfaat kesehatan lain bagi pasien.[2,9,13-15]
Menghindari Overfeeding
Distensi gaster dapat menyebabkan GER pada bayi, sehingga pemberian makan dalam porsi lebih kecil dapat membantu mengurangi frekuensi dan volume regurgitasi. Pada bayi yang mendapat ASI, menyusui harus diteruskan karena ASI telah dilaporkan memiliki efek proteksi terhadap GER. Pada bayi yang mendapat susu formula, sarankan pemberian makan dalam porsi kecil dengan frekuensi yang lebih sering.[2,9,13-15]
Terapi Postural
Terapi postural dapat dilakukan dengan memposisikan bayi dalam posisi tegak selama 20‒30 menit setelah makan. Tindakan ini bertujuan untuk membantu mengurangi episode regurgitasi.[2,9,13-15]
Diet Hipoalergenik
Diet hipoalergenik dilakukan selama 2 minggu dengan menyingkirkan susu sapi dan kedelai dari diet pasien (atau ibu pasien pada bayi ASI). Percobaan diet hipoalergenik ini dapat dilakukan pada bayi dengan GER yang mengalami kenaikan berat badan tidak adekuat, iritabilitas, atau penolakan makan (feeding refusal).
Pada bayi ASI, efek dari diet hipoalergenik pada ibu bisa menunjukkan hasil yang memakan waktu lebih lama. Hal ini karena eliminasi protein alergenik dari ASI memakan waktu (tidak serta merta terjadi).[2,9,13-15]
Pengental Makanan
Penggunaan pengental makanan dapat memberi manfaat derajat sedang pada bayi dengan GER, kecuali pada bayi prematur atau kelebihan berat badan. Pada ibu yang menyusui, penggunaan pengental makanan bisa menyulitkan karena ibu perlu untuk memerah ASI. Oleh karenanya, perlu diingat bahwa pemberian pengental makanan tidak boleh sampai mengganggu atau menghentikan pemberian ASI.[2,9,13-15]
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk menangani GER pada bayi hanya diberikan pada bayi dengan esofagitis yang telah terkonfirmasi dari endoskopi. Penggunaan farmakoterapi secara rutin pada GER dan GERD dianggap kurang rasional karena kondisi ini dapat mengalami resolusi secara spontan seiring pertambahan usia. Terapi farmakologi juga tidak bermanfaat pada pasien uncomplicated gastroesophageal reflux berusia kurang dari 1 tahun.
Pilihan terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah obat golongan antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa proton. Pilihan obat lain seperti antasida, agen prokinetik, dan agen pelindung permukaan lambung dapat dipertimbangkan sesuai indikasi.[2,9,13-15]
Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 dapat mengurangi sekresi asam lambung dengan penghambatan interaksi antara histamin dan reseptor H2 pada sel parietal lambung secara kompetitif, juga mengurangi keluaran pepsin dan volume asam lambung.
Antagonis reseptor H2 tidak mengurangi frekuensi refluks gastroesofagus sehingga kurang efektif dibanding penghambat pompa proton (PPI) namun lebih efektif dibandingkan plasebo. Penggunaan dalam jangka panjang tidak direkomendasikan karena dapat timbul toleransi. Contoh obat golongan antagonis reseptor H2 adalah ranitidin.[9]
Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor/PPI)
Penghambat pompa proton (PPI) dapat secara efektif menghambat sekresi asam dengan menghalangi pompa hidrogen-kalium-adenosin trifosfatase yang berada pada membran sel parietal lambung.
Obat golongan PPI disarankan untuk dikonsumsi 30 menit sebelum pemberian makan pertama setiap harinya. PPI juga tidak menimbulkan toleransi pada penggunaan jangka panjang. Contoh obat golongan ini adalah omeprazole dan lansoprazole.[9]
Pilihan Obat Lain
Antasida tidak bermanfaat dalam pengobatan GER pada bayi. Antasida dapat dipertimbangkan untuk penggunaan jangka pendek pada anak yang lebih besar untuk meredakan nyeri ulu hati.
Secara teoritis, agen prokinetik dapat meningkatkan pengosongan lambung dan meningkatkan tekanan sfingter esofagus, tetapi efikasinya dalam pengobatan GER pada bayi belum didukung basis bukti adekuat. Beberapa agen prokinetik juga dikaitkan dengan efek samping berbahaya, seperti efek sistem saraf pusat akibat metoklopramid dan aritmia akibat cisapride.[9]
Tindakan Bedah
Tindakan bedah hanya diindikasikan jika terdapat kondisi yang mengancam jiwa, seperti kegagalan kardiopulmoner, apnea, dan ancaman sudden infant death syndrome (SIDS) yang diakibatkan oleh GERD bayi. Tindakan bedah juga dapat dipertimbangkan pada bayi dengan gagal tumbuh, esofagitis, striktur esofagus, emesis yang sulit diatasi, atau kondisi kronis yang berkaitan dengan GERD bayi yang tidak respon terhadap terapi farmakologis.
Tindakan bedah yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi bayi adalah fundoplikasi. Tindakan ini memiliki tingkat keberhasilan 60‒90%. Risiko dari tindakan ini adalah infeksi di lokasi bedah, perdarahan, perforasi usus, pneumothorax, hernia hiatus, striktur esofagus, kelainan refleks muntah, hingga obstruksi usus.[5,9,13,14]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini