Diagnosis Intoleransi Makanan
Diagnosis intoleransi makanan perlu dicurigai pada individu yang mengalami keluhan gastrointestinal tanpa penyebab yang jelas, terutama jika keluhan timbul berkaitan dengan konsumsi makanan tertentu. Hingga saat ini, belum ada suatu tes biomarker yang dapat digunakan untuk diagnosis intoleransi makanan. Penentuan agen pencetus dapat dilakukan dengan food diary dan eksklusi dari diet.[1,3]
Anamnesis
Pada anamnesis biasanya dapat ditemukan gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, perut terasa kembung atau begah, diare, sering kentut dan sendawa, mual, dan muntah. Gejala biasanya muncul beberapa jam setelah makan dan dapat menghilang dalam hitungan jam hingga hari.
Intoleransi terhadap bahan aditif juga dapat menimbulkan gejala pada sistem organ lainnya. Ini mencakup urtikaria, eksim, sesak napas, nyeri kepala, dan migraine.
Pada kasus intoleransi laktosa, adanya gejala demam, muntah, penurunan berat badan, atau darah pada feses dapat mengarahkan ke defisiensi laktase sekunder. Adanya riwayat infeksi akut; kondisi kronik seperti penyakit Celiac dan penyakit Crohn; atau riwayat terapi dengan antibiotik, kemoterapi, atau radiasi juga mengarahkan kepada defisiensi laktase sekunder.[1,3,12]
Food Recall
Dalam anamnesis, food recall penting untuk dilakukan dengan cermat. Hal-hal yang perlu digali adalah jenis makanan yang dikonsumsi terakhir, jarak antara konsumsi makanan dengan munculnya gejala, kuantitas jenis makanan yang diduga menimbulkan gejala intoleransi, dan respons pasien setiap memakan jenis makanan tersebut.
Jika pasien mengalami kesulitan dalam melakukan food recall, pembuatan food diary atau food journal dapat membantu penegakkan diagnosis.
Food diary atau food journal merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk membantu pencatatan makanan yang dikonsumsi pasien. Pada food diary ini tercantum jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah, waktu konsumsi, dan waktu timbul gejala. Bahan makanan dalam kemasan juga perlu diperhatikan kandungannya dan perlu dicatat di dalam food diary.[1,3,15]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya normal, kecuali jika gangguan pada sistem gastrointestinal sangat berat sampai menimbulkan kondisi dehidrasi atau distensi abdomen. Pada intoleransi makanan akibat bahan aditif dapat ditemukan kelainan kulit seperti urtikaria dan eksim.[1,3]
Diagnosis Banding
Intoleransi makanan perlu dibedakan dari alergi makanan, irritable bowel syndrome, inflammatory bowel disease, dan gastroenteritis.
Alergi Makanan
Intoleransi makanan perlu dibedakan dengan alergi makanan. Reaksi pada alergi makanan melibatkan sistem imun, sedangkan pada intoleransi tidak. Pada alergi makanan, ada gejala lain selain di saluran pencernaan, seperti urtikaria atau gangguan pernapasan. Jumlah yang sedikit bisa menyebabkan reaksi alergi yang fatal. Hasil skin prick test positif dan jika dimediasi oleh IgE maka terdapat peningkatan IgE dalam darah saat gejala muncul.[1,2]
Irritable Bowel Syndrome
Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan diagnosis eksklusi. Pada kasus IBS, terjadi keluhan gastrointestinal kronik yang hilang timbul, seperti nyeri perut yang disertai dengan perubahan bentuk feses atau frekuensi defekasi, tanpa adanya kelainan organik yang bisa diidentifikasi. Beberapa pasien memiliki koeksistensi dengan intoleransi laktosa. Tidak ada pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.[16]
Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory bowel disease terdiri dari kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Keluhan pasien umumnya lebih berat dibandingkan intoleransi makanan. Pasien dapat mengalami diare berdarah disertai penurunan berat badan. Pemeriksaan kolonoskopi menunjukkan adanya ulkus pada dinding saluran pencernaan.[18]
Gastroenteritis
Gastroenteritis akan menyebabkan diare yang sama dengan intoleransi makanan. Penyebab yang sering adalah diare. Pada gastroenteritis, diare dialami umumnya kurang dari 14 hari. Pada pemeriksaan feses atau serologi akan ditemukan agen infeksius penyebab diare.[20]
Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis intoleransi makanan, seperti food challenge test, breath test, confocal laser endomicroscopy (CLE), dan pemeriksaan biopsi.
Hingga saat ini, belum ada pemeriksaan biomarker yang dapat digunakan untuk memberikan informasi yang dapat diandalkan untuk mengetahui intoleransi makanan terhadap bermacam-macam subgrup FODMAP (fermentable oligosaccharides, disaccharides, monosaccharides, and polyols).[1,3,9,17]
Food Challenge Test
Food challenge test merupakan pemeriksaan baku untuk menentukan apakah pasien mengalami intoleransi makanan atau tidak. Penggunaan food diary selama 2-4 minggu bermanfaat untuk mencari hubungan sebab akibat antara makanan tertentu dengan gejala gastrointestinal.
Pemeriksaan dilakukan dengan mengeksklusi makanan dari diet pasien sampai gejala tidak muncul. Gejala biasanya hilang total dalam 3–4 minggu. Kemudian, makanan yang diduga menjadi penyebab intoleransi dikenalkan kembali ke dalam diet secara perlahan. Apabila gejala kembali muncul, maka pasien mengalami intoleransi terhadap makanan tersebut.[1,3,9,17]
Breath Test
Pemeriksaan breath test dilakukan untuk mengidentifikasi adanya intoleransi terhadap karbohidrat (laktosa, fruktosa, dan FODMAP). Fermentasi karbohidrat di saluran pencernaan akan menghasilkan gas, salah satunya adalah gas hidrogen. Hidrogen tidak diproduksi oleh tubuh sehingga jika ditemukan adanya hidrogen pada ekspirasi, maka merupakan fermentasi dari mikrobiota di usus.
Untuk mendapatkan hasil breath test yang akurat, pasien diminta untuk melakukan hal-hal berikut:
- Tidak menggunakan antibiotik, laksatif, atau probiotik 14 hari sebelum pemeriksaan
- Diet rendah karbohidrat yang dapat difermentasikan 48 jam sebelum pemeriksaan
- Puasa pada malam sebelum pemeriksaan
- Membersihkan mulut dengan larutan antiseptik sesaat sebelum pemeriksaan dimulai
Karbohidrat yang diberikan adalah 25–50 gram dan berbentuk larutan. Hasil dikatakan positif jika ditemukan peningkatan 10–20 ppm hidrogen atau metana di atas nilai dasar pada dua kali pemeriksaan napas berjarak 15–30 menit dalam 3–5 jam.[1,3,9,17,19]
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk menyingkirkan adanya reaksi imunologi yang terlibat. Reaksi imunologi ini dapat dilihat melalui adanya peningkatan imunoglobulin, terutama kadar imunoglobulin E. Pada alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE, peningkatan limfosit T dapat ditemukan.
Pada pasien dengan gejala diare dengan dehidrasi berat, pemeriksaan elektrolit dapat dilakukan untuk mengevaluasi adanya gangguan elektrolit.[1,3,9,17]
Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis intoleransi laktosa. Kadar pH normal pada feses adalah 5,0–5,5, pada bayi, anak, dan remaja. Pasien dengan intoleransi laktosa memiliki kadar pH yang lebih rendah di fesesnya.
Pemeriksaan feses untuk menilai adanya infeksi akut seperti Giardia dan Cryptosporidium juga dapat dilakukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab defisiensi laktase sekunder.[1,3,9,21]
Confocal Laser Endomicroscopy (CLE)
Confocal Laser Endomicroscopy merupakan pemeriksaan baru untuk melihat perubahan pada mukosa saluran pencernaan. Antigen makanan yang dicurigai sebagai penyebab gejala intoleransi diberikan ke mukosa duodenum via endoskopi. Jika terjadi peningkatan limfosit intraepitelial, kebocoran epitel, atau pembesaran rongga intervili dalam waktu 5 menit, maka dapat dikatakan bahwa pasien mengalami intoleransi terhadap antigen tersebut.[22,23]
Pemeriksaan Biopsi
Biopsi dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan bahwa intoleransi makanan disebabkan oleh kelainan mukosa pada saluran pencernaan, terutama pada defisiensi sukrase-isomaltase. Sampel yang diambil adalah bagian duodenum atau jejunum. Pemeriksaan biopsi ini bersifat kompleks dan invasif karena mengambil sampel dari mukosa usus.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Shofa Nisrina Luthfiyani
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta