Epidemiologi Intoleransi Makanan
Data epidemiologi menunjukkan bahwa intoleransi makanan terjadi pada sekitar 15-20% populasi dunia. Meski demikian, angka ini sulit dipastikan karena kebanyakan bukti ilmiah intoleransi makanan menggunakan laporan mandiri dari pasien, bukan diagnosis objektif.[1,10]
Global
Prevalensi intoleransi makanan diperkirakan sebesar 15-20% dari seluruh populasi, tergantung dari metode pengumpulan data dan definisi yang digunakan. Sebuah penelitian berbasis internet di Amerika Serikat menunjukkan bahwa intoleransi makanan dialami oleh 24,8% sampel. Dari data tersebut, intoleransi makanan lebih sering ditemukan pada kelompok usia muda, jenis kelamin perempuan, ras Asia, atau multi ras.[1,10]
Pada umumnya, malabsorbsi karbohidrat lebih sering ditemukan dibandingkan intoleransi lainnya. Prevalensi non-Celiac gluten (wheat) sensitivity diperkirakan sebesar 10%.[11,12]
Intoleransi makanan lebih sering ditemukan pada pasien dengan irritable bowel syndrome (IBS). Di Korea, didapatkan bahwa prevalensi intoleransi makanan berkisar 79,2% pada kelompok IBS dibandingkan kontrol 4,8%.[13]
Indonesia
Data epidemiologi intoleransi makanan secara umum di Indonesia belum ada. Meski demikian, data mengenai intoleransi laktosa pada anak Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi malabsorbsi laktosa pada anak usia 3-5 tahun sebesar 21,3%; sedangkan kelompok usia 6-11 tahun sebanyak 57,8%.[14]
Mortalitas
Dibandingkan alergi makanan, intoleransi makanan lebih tidak bersifat fatal. Meski demikian, intoleransi makanan dapat menyebabkan komplikasi berupa malnutrisi akibat penghindaran berlebihan dari bahan makanan yang menyebabkan intoleransi. Intoleransi makanan juga bisa menyebabkan penurunan produktivitas dan kualitas hidup karena gejala yang sering rekuren.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Shofa Nisrina Luthfiyani
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta