Pendahuluan Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula merupakan fraktur maksilofasial yang paling sering terjadi, karena karakteristik mandibula yang prominen, mobile, dan posisinya yang tidak terlindungi bagian tubuh lain. Penyebab tersering fraktur mandibula adalah kecelakaan, kekerasan, serta cedera saat olahraga atau pekerjaan.[1,2]
Saat ini, data prevalensi fraktur mandibula di Indonesia belum banyak. Namun, di Amerika Serikat terjadi >2.500 kasus fraktur mandibula setiap tahun. Selain fraktur mandibula, jenis fraktur maksilofasial sering lainnya adalah fraktur os nasal dan os zygomaticus. Fraktur mandibula seringkali disertai cedera bagian wajah lainnya, seperti fraktur gigi. trauma kepala, temporal, mata, nasal, dan leher/cervical.[3-5]
Gambaran klinis fraktur mandibula terlihat berdasarkan lokasi anatomi mandibula yang mengalami kerusakan. Keluhan umum pasien fraktur mandibula adalah nyeri saat menggerakkan rahang, trismus, maloklusi gigi, bengkak, perdarahan, nyeri internal dan eksternal oral, disfagia, serta deformitas pada lokasi fraktur.[4-6]
Anestesi pada bibir bawah juga dapat terjadi jika kerusakan mengenai nervus alveolar. Fraktur mandibula yang dibiarkan dapat menyebabkan gangguan jangka panjang, seperti gangguan mengunyah, maloklusi, dan nyeri kronis.[4-6]
Survei primer, resusitasi, dan debridemen harus dilakukan sebagai tata laksana awal fraktur mandibula. Penatalaksanaan fraktur mandibula harus mengutamakan perbaikan maloklusi gigi, sehingga pasien dapat mengunyah secara normal kembali. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan harus dapat mengembalikan mandibula ke posisi normal atau reduksi. Kemudian dilakukan fiksasi pada posisi normal hingga tulang union.[5]
Stabilisasi fraktur dapat dilakukan dengan metode closed reduction atau open reduction. Fraktur dengan mobilitas yang minimal dan tanpa maloklusi dapat ditata laksana dengan tindakan konvensional atau non-bedah.[5]