Diagnosis Cedera Otak Traumatik
Diagnosis cedera otak traumatik diawali dengan menentukan derajat keparahan dari cedera tersebut apakah berat, sedang atau ringan. Pemeriksaan awal dilakukan bersamaan dengan primary survey, sesuai dengan pedoman Advanced Trauma Life Support. Setelah semua kemungkinan kondisi mengancam nyawa tertangani, barulah secondary survey yang terdiri dari anamnesis yang terfokus, pemeriksaan fisik secara head-to-toe dan pemeriksaan penunjang seperti CT scan kepala khususnya pada cedera otak traumatik yang berat dimulai.
Namun, berbeda dengan orang dewasa yang umumnya menunjukkan manifestasi klinis cukup jelas, manifestasi klinis cedera otak traumatik pada populasi bayi bisa sulit dikenali karena bersifat kurang spesifik, sehingga dokter perlu memberikan perhatian lebih pada populasi anak.[28,29]
Anamnesis
Pasien dengan kecurigaan cedera otak traumatik harus ditanyakan riwayat dan mekanisme trauma. Penyebab paling sering adalah terjatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga, dan akibat penyerangan. Pada kecelakaan bermotor perlu diperhatikan apakah pasien memakai alat pelindung kepala atau tidak.[6]
Anamnesis pada cedera otak traumatik dapat dilakukan pada pasien atau kepada orang yang menyaksikan proses terjadinya trauma dan keluarga jika pasien tidak kooperatif atau tidak sadar. Anamnesis dapat dilakukan dengan sebuah mnemonic AMPLE, terdiri dari:
-
Allergy: riwayat alergi
-
Medication: riwayat konsumsi obat terutama antikoagulan atau antiplatelet
-
Past medical history including tetanus status: menanyakan riwayat penyakit dan riwayat vaksinasi tetanus
-
Last meal: riwayat makan terakhir
-
Events leading to injury: menanyakan mekanisme trauma[6]
Klasifikasi Cedera Otak Traumatik
Cedera otak traumatik digolongkan menggunakan skoring keparahan cedera, dimana glasgow coma scale (GCS) merupakan skala yang paling sering digunakan. Glasgow coma scale (GCS) menilai respon mata, verbal dan motorik dalam menilai kesadaran seseorang. GCS memiliki rentang skor 3-15, dimana skor ini dapat menjadi pembanding kondisi pasien dalam rentang waktu tertentu yang penting dalam penanganan. Pasien dengan skor GCS lebih dari 12 dikategorikan sebagai cedera kepala ringan, 9-12 sebagai cedera kepala sedang dan kurang dari 8 sebagai cedera kepala berat.[17]
Berdasarkan tingkat keparahannya cedera otak traumatik dibagi menjadi:
- Ringan, GCS 14-15
- Sedang, GCS 9-13
- Berat, GCS 3-8
Cedera Otak Traumatik Berat
Gejala akut pada cedera otak traumatik yang lebih berat bermacam-macam namun pada umumnya cedera berat disertai penurunan kesadaran dengan GCS kurang dari 8 hingga koma.
Cedera Otak Traumatik Sedang
Cedera otak traumatik sedang pada dasarnya ditandai dengan penurunan kesadaran dengan GCS antara 9 hingga 12. Pasien dengan cedera otak traumatik juga mungkin menderita gangguan memori, disorientasi hingga gangguan neurologis fokal.
Cedera Otak Traumatik Ringan
Cedera otak traumatik ringan (mild traumatic brain injury) adalah pasien dengan gangguan fungsi fisiologis otak yang diakibatkan trauma dengan manifestasi minimal satu dari berikut ini:
- Penurunan kesadaran kurang dari 30 menit
-
Hilang memori terhadap kejadian segera sebelum atau sesudah kejadian (post traumatic amnesia) kurang dari 24 jam
- Perubahan status mental saat kejadian seperti disorientasi atau kebingungan
- Defisit neurologis fokal transien atau non transien
- Skor GCS 13-15 setelah 30 menit [26]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan dengan manajemen awal trauma yakni dengan prosedur sesuai advanced trauma life support (ATLS). Setelah mengamankan jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen, dan resusitasi cairan, pasien diperiksa untuk menilai disabilitas yaitu tingkat kesadaran dan pemeriksaan neurologis. Pada pemeriksaaan fisik saat secondary survey, pemeriksaan fisik harus dilakukan dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Setelah mengalami cedera otak traumatik, 30-80% pasien mengalami gejala setelah gegar otak. Pada umumnya membaik dalam beberapa jam hingga beberapa hari, sebagian lainnya dapat berminggu-minggu.
Manifestasi klinis pada cedera otak traumatik ringan (mild TBI) terdiri dari kombinasi gejala fisik dan gejala neuropsikiatri. Gejala fisik berupa nyeri kepala, pusing, mual, fatigue, gangguan tidur, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau kejang bila terjadi kerusakan pada lobus temporal atau frontal, yang harus dibedakan dari epilepsi.
Gejala neuropsikiatri terdiri dari gangguan kognitif, perilaku, dan gangguan lainnya. Gangguan kognitif dapat berupa gangguan pemusatan perhatian, gangguan memori dan gangguan fungsi eksekutif. Gangguan pemusatan perhatian dapat berakibat pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Luasnya gangguan kognitif berkorelasi dengan keparahan cedera.
Gejala perilaku yaitu berhubungan dengan kepribadian pasien, antara lain irritabilitas, gangguan mood, agresi, impulsif, perilaku egois. Gejala lainnya yang berhubungan adalah depresi, gangguan cemas, dan post traumatic stress disorder.[26]
Reaksi Pupil
Pemeriksaan reaksi pupil pada pasien dengan cedera otak traumatik meliputi menilai apakah ada pupil ukuran atau bentuk yang ireguler atau refleks pupil yang melambat atau negatif. Pemeriksaaan neurologis lengkap harus dilakukan jika ditemukan abnormalitas pupil. Kelainan pupil pasien penderita cedera otak traumatik sering berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial akibat perjalanan suatu hematoma/perdarahan ataupun suatu edema otak. Namun, penyebab lain yang menyebabkan kelainan pupil harus dipertimbangkan.[18]
Tanda Lateralisasi
Tanda lateralisasi merupakan salah satu cara untuk menilai lokasi otak yang cedera. Penilaiannya dilakukan dengan menilai gerakan ekstremitas atas dan bawah serta membandingkan kekuatan ekstremitas atas dan bawah secara bilateral.[6]
Triase pada Situasi terdapat Multiple dan Mass Casualties
Pada tahap triase, saat pasien datang, maka pasien akan disortir berdasarkan sumber daya yang dibutuhkan untuk penanganan dan sumber daya yang saat itu tersedia. Tipe pemilahan nya terbagi atas multiple casualties dan mass casualties. Multiple casualties adalah keadaan dimana jumlah pasien dan keparahan cedera mereka tidak melebihi kapabilitas fasilitas kesehatan untuk memberikan perawatan, maka pasien dengan masalah mengancam nyawa dan cedera multipel harus ditangani terlebih dahulu.
Mass casualties adalah keadaan dimana jumlah pasien dan keparahan cedera mereka melebihi kapabilitas fasilitas kesehatan untuk memberikan perawatan, maka pasien yang memiliki kesempatan untuk hidup lebih besar dan membutuhkan paling sedikit sumber daya dan fasilitas harus ditangani terlebih dahulu.[6]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada umumnya adalah kondisi yang tersamar akibat terjadinya suatu proses trauma. Beberapa penyakit yang dapat dipertimbangkan adalah stroke, penyakit Alzheimer, tumor, aneurisma serebral dan hidrosefalus pada bayi.
Stroke
Stroke terutama stroke sirkulasi anterior merupakan insiden stroke yang paling sering terjadi. biasanya diakibatkan oleh sumbatan berupa emboli ataupun kombinasi aterosklerosis dan trombus yang mengakibatkan keadaan iskemik pada otak. Namun, berbeda dengan cedera otak traumatik, biasanya stroke diikuti kelumpuhan pada anggota tubuh yang dikendalikan oleh area otak yang mengalami kematian.[26]
Penyakit Alzheimer
Pasien dengan penyakit Alzheimer umumnya juga mengalami gangguan memori akut hingga gangguan kesadaran. Berbeda dengan cedera otak traumatik, biasanya alzheimer terjadi secara bertahap yang mempengaruhi terutama fungsi kognitif.[26]
Tumor atau Metastasis Otak
Pada pasien dengan tumor atau metastatik otak sering dijumpai gejala berupa nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran dan gejala lain yang mirip dengan cedera otak traumatik. Namun, pada pemeriksaan radiologi biasanya dijumpai gambaran masa pada otak.[26]
Aneurisma Serebral
Pasien dengan aneurisma serebral menunjukkan beberapa gejala yang mirip dengan cedera otak traumatik dengan peningkatan tekanan intrakranial. Namun, pada pasien dengan aneurisma serebral pasien biasanya mengalami nyeri kepala yang sangat berat dan muncul tiba-tiba.[26]
Epilepsi
Pada pasien epilepsi terdapat pola kejang yang juga sering terjadi pada pasien dengan cedera otak traumatik. Keadaan seperti ensefalopati epileptiform, serangan umum tonik-klonik dan epilepsi lobus temporal memiliki pola yang juga sering dijumpai pada kejang akibat cedera otak traumatik. Namun, biasanya pada pasien dengan epilepsi keadaan kejang dapat terjadi tanpa adanya trauma pada kepala.[26]
Hidrosefalus
Hidrosefalus pada bayi terkadang memiliki gejala yang mirip dengan cedera otak traumatik. Namun, pada hidrosefalus biasanya proses terjadi secara perlahan yang diikuti dengan perubahan bentuk kepala dan gangguan pertumbuhan.[26]
Pemeriksaan Penunjang
Computerized tomography (CT) scan dari kepala merupakan sebuah batu loncatan dalam praktik klinis cedera otak traumatik, namun akibat mahalnya biaya CT scan, risiko paparan radiasi, and, tentunya akibat masih sulitnya akses CT scan di beberapa daerah di Indonesia, maka diperlukan kemungkinan modalitas lain terutama pada cedera otak traumatik ringan.
Computed Tomography (CT) Scan
Sampai saat ini computed tomography (CT) scan merupakan gold standard untuk pemeriksaan cedera otak traumatik terutama pada fase akut. Sebuah pemeriksaan yang cepat, tidak invasif dan tujuan pemeriksaaan CT scan terutama saat emergensi bertujuan untuk mendeteksi lesi sebelum terjadi cedera otak sekunder.
Penelitian menunjukkan penanganan secepatnya termasuk pembedahan dapat memberikan dampak luaran yang signifikan, terutama jika dekompresi dilakukan dalam 48 jam setelah trauma. Namun, di Indonesia akses untuk CT scan pada pasien cedera otak traumatik masih tidak secepat yang diharapkan.[7,19]
Keuntungan pemeriksaan CT scan dalam cedera otak traumatik adalah sensitifitasnya mendeteksi perdarahan akut intra-axial dan extra-axial, efek massa, ukuran ventrikel dan suatu fraktur. Namun, sensitifitasnya agak rendah dalam mendeteksi lesi non-hemoragik kecil seperti kontusio kortikal dan diffuse axonal injury (DAI), demikian juga dengan ensefalopati akibat hipoksemia.[19]
Pertimbangan Penggunaan CT Scan:
Berdasarkan The American College of Radiology Appropriateness Criteria, The New Orleans Criteria dan The Canadian Head CT rules. Terdapat kesepakatan umum bahwa semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat harus dilakukan pemeriksaan CT scan.
Indikasi harus CT-Scan segera adalah:
- Penurunan skor GCS atau skor GCS persisten kurang dari 15
- Tanda-tanda fraktur pada tulang tengkorak (basis kranii, depresi, atau fraktur terbuka)
- Muntah lebih dari 1 kali
- Usia lebih dari 60 tahun
- Kelainan pada pemeriksaan neurologis
- Mekanisme trauma risiko tinggi seperti terlempar dari kendaraan, pejalan kaki ditabrak oleh kendaraan
-
Serangan kejang [19]
Indikasi pertimbangan perlu dilakukan CT-Scan:
- Usia lebih dari 60 tahun
- Amnesia anterograd persisten
- Amnesia retrograd lebih dari 30 menit
- Koagulopati
- Terjatuh lebih dari 1 meter
- Hilang kesadaran lebih dari 30 menit
- Faktor sosial yang tidak dapat dianamnesis untuk riwayat yang jelas
Mengenai penggunaan CT scan pada pasien anak, penelitian menunjukkan bahwa muntah bukan indikasi CT scan kepala, gejala-gejala lain harus dipertimbangkan.[24]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan sampel darah pada pasien cedera otak traumatik ditujukan untuk menilai kondisi penyulit dan kondisi yang mendasari keadaan pasien.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
- Pemeriksaan kadar elektrolit, pada pasien koma sering ditemui hiponatremia akibat gangguan pengaturan hormon diuretik. Kadar magnesium juga dapat menurun pada fase akut akibat proses eksitotoksik
- Pemeriksaan faktor koagulasi aPTT, PT, trombosit terutama pada pasien orang lansia yang mungkin sedang dalam pengobatan dengan antikoagulan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menilai risiko perdarahan intrakranial
- Kadar alkohol dalam darah, untuk menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran atau disorientasi [26]
Biomarker Darah:
Terdapat pemeriksaan biomarker yang dapat membantu menentukan prognosis dan kondisi klinis cedera otak.
Creatine Kinase:
Saat ini telah teridentifikasi tiga isotype dari creatine kinase dengan salah satunya creatine kinase otak (CK-BB) yang terdapat pada astrosit dari sistem saraf pusat. Konsentrasi CK-BB pada serum dan cairan serebrospinal telah terbukti meningkat pasca terjadinya cedera otak traumatik dengan puncaknya terjadi pada saat fase akut dari trauma hingga kemudian perlahan-lahan kembali normal. Peningkatan CK-BB juga ditemukan pada keadaan cedera otak akibat hipoksia pada kejadian henti jantung.[8]
S-100β:
S-100β telah dikenal sebagai suatu biomarker dari cedera otak yang menjanjikan dan dianggap sebagai chain reactive protein (CRP) dari otak. Nama S-100β berasal dari karakteristik protein ini dimana ia mampu 100% larut dalam ammonium sulfat jenuh pada pH netral. Terdapat tiga tipe protein S-100 yang terbentuk dari dua subunitnya α dan β.
Tipe yang banyak dijumpai pada sitosol sel glial pada sistem saraf pusat dikenal sebagai protein S-100β. Protein ini mampu membedakan mana pasien yang cedera dan mana yang tidak serta beberapa penelitian menemukan adanya korelasi antara S-100β dengan baik keparahan suatu cedera maupun luaran yang mungkin terjadi. Protein S-100β juga diyakini dapat memprediksi secara akurat kematian pada keadaan akut.[8]
Neuron-specific Enolase (NSE):
Enolase adalah suatu enzim glikolitik yang terdiri atas 3 subunit berbeda yakni α, β, dan γ. Dua bentuk yang paling stabil adalah γγ dan αγ yang dikenal sebagai neuron-specific enolase (NSE), berdasarkan fakta bahwa enzim ini berasal dari sitoplasma sel saraf, jaringan neuroendocrine perifer dan sistem penyerapan dan degradasi amine. Nilai potensial dari NSE terbukti dari kerjanya yang berhubungan langsung dengan aktivitas sel saraf dibanding sel glial ataupun sel Schwann.
Meskipun dihubungkan secara langsung dengan GCS ketika digunakan sebagai biomarker tunggal, kerja NSE yang paling dikenal adalah ketika dikombinasikan dengan S-100β pada cedera otak traumatik ringan yang dapat menjadi prognosis awal pasien dan dapat bertahan hingga 3 hari pasca cedera otak traumatik berat pada cairan serebrospinal.[8]
Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP):
Glial fibrillary acidic protein (GFAP) merupakan suatu filamen protein yang dapat ditemukan pada sel glial pada sistem saraf pusat. Kegunaan GFAP adalah sebagai indikator patologi dari sistem saraf pusat termasuk infarksi otak, abnormalitas saraf yang prematur, ensefalopati dan cedera otak traumatik.
GFAP dapat membedakan keparahan suatu cedera, peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi otak. Penelitian telah memperlihatkan bahwa GFAP merupakan suatu prediktor yang lebih baik terhadap kecacatan yang parah dan status vegetatif dalam perbandinganya dengan luaran yang baik serta, telah terbukti dalam memprediksi secara kuat kemungkinan kematian dalam enam bulan.[8]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold Tampubolon