Penatalaksanaan Cedera Otak Traumatik
Penatalaksanaan cedera otak traumatik pada unit gawat darurat mengikut protokol advanced trauma life support (ATLS). Pasien penurunan kesadaran harus selalu dilakukan manajemen jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen yang adekuat, dan pemberian cairan. Imobilisasi spinal harus dilakukan kecuali jika sudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang mengindikasikan bahwa imobilisasi dapat dihentikan. Penilaian skor glasgow coma scale (GCS) dilakukan dan secepatnya diputuskan apakah memerlukan pemeriksaan CT-Scan kepala atau tidak.
Penatalaksanaan Gawat Darurat
Penanganan suatu cedera otak sebaiknya dimulai pada lokasi kejadian, dengan manuver ataupun instrumen paling memungkinkan yang tersedia saat kejadian atau pada unit gawat darurat.
Penanganan Jalan Napas/Oksigenasi
Penanganan jalan napas dilakukan untuk memastikan amannya jalur masuk udara kedalam tubuh pasien.
-
Pencegahan, identifikasi dan penanganan hipoksia (saturasi oksigen kurang dari 90% dan/atau sianosis). Pertimbangkan penggunaan oksigen high-flow pada kasus-kasus cedera otak yang potensial.
- Lakukan manuver reposisi jalan napas
-
Segera lakukan ventilasi bag-valve-mask (BVM) jika diperlukan dengan alat bantu jalan napas seperti oropharyngeal airway
-
Lakukan intubasi endotrakeal jika diperlukan setelah provider advanced trauma life support (ATLS) berpengalaman tersedia.[9]
Primary Survey/Advanced Trauma Life Support
Pada primary survey dilakukan penanganan sekaligus identifikasi kondisi mengancam nyawa dengan urutan sebagai berikut:
-
Airway and restriction of cervical spine motion: Pembebasan jalan napas dan melindungi tulang servikal
-
Breathing and ventilation: Menilai pernapasan dan kemampuan ventilasi
-
Circulation with hemorrhage control: Menilai sirkulasi melalui denyut jantung, tekanan darah dan perfusi jaringan, serta mencari dan menangani sumber perdarahan
-
Disability: Menilai status kesadaran pasien dengan metode AVPU (Alert, Responds to voice, responds to pain, unresponsive) serta, menyingkirkan kemungkinan penurunan kesadaran akibat masalah metabolik
-
Exposure: Buka pakaian pasien dan identifikasi kemungkinan cedera di tempat lain dan jaga kehangatan dengan penghangatan pasif menggunakan selimut atau ruangan yang dihangatkan.[6]
Penanganan Ventilasi
Penanganan ventilasi memastikan proses pertukaran udara di paru-paru berjalan sebaik mungkin.
- Pasien terintubasi: target ETCO2 adalah 40 mmHg dengan kehati-hatian menjaga rentang ETCO2 antara 35-45 mmHg. Laju pernapasan dijaga pada bayi 25 kali per menit, anak 20 kali per menit dan remaja/dewasa 10 kali per menit.
- Ventilasi Mekanik: penggunaan ventilator akan sangat berguna terutama dalam mengoptimalkan parameter ventilasi dan terapi oksigen. Target volum tidal antara 6 hingga 7 ml/kg dengan laju disesuaikan dengan memperhatikan ETCO2 agar selalu berada pada target.
- Ventilasi pada kemungkinan terjadi herniasi otak: pada saat penanganan awal dilarang melakukan hiperventilasi profilaksis meskipun pada cedera otak berat, karena terdapat bukti yang kuat bahwa hal ini merugikan.
- Hiperventilasi hanya disarankan pada tanda herniasi yang jelas. Pada beberapa kasus bahkan sebaiknya dilakukan hiperventilasi ringan dengan target ETCO2 berkisar antara 30 hingga 35 mmHg.[9,28,29]
Penanganan Tekanan Darah
Penanganan tekanan darah dilakukan terutama untuk memastikan distribusi oksigen keseluruh tubuh. Pada cedera otak traumatik, pasien dapat ditemukan dalam keadaan hipotensi ataupun hipertensi.
Hipotensi:
Kebanyakan penelitian cedera otak traumatik menggunakan tekanan darah sistolik (TDS) < 90 mmHg sebagai kriteria hipotensi pada dewasa maupun anak-anak usia remaja. Pada pasien anak, hipotensi didefinisikan sebagai keadaan dimana TDS dibawah persentil 50 berdasarkan usia. Dapat diestimasikan dengan rumus [70 mmHg + (2 x usia)].
Penanganan hipotensi berdasarkan guideline cedera otak traumatik merekomendasikan TDS ≥ 90 mmHg. Sekali pengukuran kurang dari 90 mmHg dapat menjadi patokan untuk mulai melakukan resusitasi cairan dengan bolus awal sebanyak 1 L NaCl atau ringer laktat pada dewasa dan remaja serta 20 ml/Kg pada remaja. Hal ini kemudian diikuti dengan dosis rumatan dengan menjaga TDS tetap ≥ 90 mmHg.
Hipertensi:
Penanganan hipertensi: pada cedera otak traumatik, penanganan hipertensi akut tidak direkomendasikan. Namun, pemberian cairan dapat dibatasi secara minimal pada pasien dengan TDS ≥ 140 mmHg.[9]
Terapi Medikamentosa
Obat-obatan yang digunakan dalam manajemen cedera otak traumatik adalah terapi antifibrinolitik with asam traneksamat, serta agen osmolaritas antara manitol dan hypertonic saline. Pemberian profilaksis antibiotik, untuk mencegah infeksi dan pneumonia direkomendasikan jika dianggap perlu.
Pemberian steroid tidak dianjurkan karena justru menunjukkan luaran yang buruk pada suatu penelitian dengan jumlah sampel yang besar dengan cedera otak traumatik sedang hingga berat.[35]
Beberapa klinisi memberikan obat neuroprotektif seperti citicolin atau piracetam untuk pasien cedera otak. Akan tetapi, efektivitas kedua obat ini pada cedera otak masih memiliki bukti ilmiah yang kontroversial.
Terapi Antifibrinolitik
Pemberian segera antifibrinolitik asam traneksamat dalam tiga jam awal sejak terjadinya trauma pada pasien dengan cedera otak traumatik sedang berhubungan dengan menurunnya angka kematian. Pemberian terapi ini pada pasien cedera otak traumatik lainnya dapat dipertimbangkan meskipun manfaatnya belum diketahui secara pasti. Umumnya asam traneksamat diberikan dengan dosis 1 gram secara intravena selama 10 menit diikuti pemberian asam traneksamat sebanyak 1 gram secara intravena setelah 8 jam.[22]
Penggunaan Sedatif dan Analgetik
Menurunkan stres dan respon adrenokortikal adalah komponen yang penting dalam penanganan cedera otak traumatik. Hal ini dikarenakan bahkan pasien tidak sadar dapat mengalami peningkatan tekanan darah dan tekanan intrakranial akibat respon stres. Agen sedasi dapat menurunkan stres metabolik pada cedera otak akut dengan menurunkan metabolisme otak dan konsumsi oksigen sehingga menurunkan tekanan intrakranial.[9]
Pasien-pasien dengan cedera otak traumatik yang biasanya mengalami nyeri kepala umumnya ditangani dengan fentanyl. Sebagai sedasi, propofol merupakan agen sedatif yang paling dianjurkan karena efikasinya dalam mengurangi kebutuhan metabolisme otak dan tekanan intrakranial. Selain itu, durasi kerjanya yang pendek yang memungkinkan pemeriksaan neurologis sementara.[22,32-34]
Penggunaan Osmotherapy
Penggunaan agen osmolaritas antara manitol dan hypertonic saline selama ini masih dalam perdebatan tentang mana yang lebih baik. Manitol dapat meningkatkan aliran darah ke otak dengan ekspansi plasma, mengurangi kekentalan darah dengan merubah bentuk eritrosit serta menyebabkan terjadinya diuresis osmotik.
Sementara hypertonic saline, menyebabkan air masuk melalui sawar darah otak dan meningkatkan aliran darah dengan meningkatkan volum plasma. Namun, saat ini The Brain Trauma Foundation (BTF) merekomendasikan penggunaan manitol dengan dosis 0,25-1 mg/Kg yang efektif mencegah dan menangani peningkatan tekanan intrakranial tanpa menyebabkan hipotensi yang bermakna.[9]
- Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25 g/kgBB sampai 1 g/kgBB. Terapi manitol harus dihindari pada kondisi hipotensi dan tanda-tanda herniasi transtentorial.
-
Cairan NaCl atau salin 3%, infus kontinyu maupun bolus 250 mL cairan NaCl 3% untuk meningkatkan kadar elektrolit natrium hingga batas atas 155 meq/L apabila perlu. Penghentian pemberian salin 3 % harus di tapering-off.
Penggunaan Anti Kejang
Kejang mungkin saja terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial dan keadaan ketika terganggunya penghantaran oksigen ke otak yang mengalami cedera. Untuk menghindari cedera otak sekunder, banyak penelitian mempelajari tentang keuntungan profilaksis kejang. Saat ini The Brain Trauma Foundation (BTF) menganjurkan penggunaan profilaksis kejang dalam 7 hari setelah cedera dengan levetiracetam sebagai pilihan karena memperlihatkan luaran klinis yang baik dalam mencegah kejang pasca trauma.[9,30,31]
Monitoring dan Penatalaksanaan Tekanan Intrakranial
Berdasarkan guidelines The Brain Trauma Foundation (BTF) dinyatakan bahwa penanganan tekanan intrakranial dimulai ketika > 22 mmHg untuk menurunkan angka kematian. Monitoring dapat dilakukan secara invasif dengan teknik external ventricular drain (EVD) dimana sebuah kateter ditempatkan pada salah satu ventrikel dengan sebuah burr hole, dimana teknik ini merupakan gold standard dalam monitoring tekanan intrakranial. Penggunaan teknik ini juga dapat dilakukan untuk mengurangi cairan serebrospinal dan memasukkan obat secara intratekal seperti antibiotik pada kasus ventrikulitis. Penggunaan EVD ini juga diindikasikan pada perdarahan pasca trauma sebagai drainase.[9]
Pengendalian Suhu
Pada praktik klinis suatu hipertermi ringan pada pasien cedera otak traumatik diasosiasikan dengan luaran yang buruk dan perawatan ICU yang memanjang, karena hal ini dapat mengakibatkan edema dan peradangan. Sebaliknya, pendinginan dapat pula memberikan neuroproteksi dan telah memperlihatkan peningkatan luaran yang berhubungan dengan hipoksi otak global. Betapapun, otak yang mengalami trauma menderita gangguan sirkulasi dan hipoksia pada zona penumbra akibat hipersensitifitas yang terjadi karena stres adrenergic yang diakibatkan oleh cedera otak itu sendiri, yang mungkin dapat memperburuk hipotermia aktif.[9]
Tindakan Bedah
Tata laksana bedah umumnya dilakukan pada hematoma akut ekstra aksial yakni perdarahan subdural dan perdarahan epidural. Beberapa studi berskala kecil pernah melaporkan bahwa pembuatan burr hole untuk manajemen awal hematoma ekstra aksial mungkin bermanfaat bagi pasien cedera otak traumatik.
Di lain sisi, pada perdarahan intraserebral, tindakan bedah masih kontroversial dilakukan karena tidak banyak bukti yang mendukung. Tindakan bedah pada perdarahan intraserebral dilakukan setelah pertimbangan lokasi perdarahan dan jumlah perdarahan.
Kraniotomi Dekompresi
Kraniotomi dekompresi merupakan sebuah prosedur operasi dengan membuka area yang cukup besar dari tengkorak. Kraniotomi menurunkan tekanan intrakranial dengan memberikan ruang ekstra pada otak yang membengkak dan dapat dengan cepat mencegah herniasi batang otak.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kranioktomi merupakan prosedur yang dapat dilakukan sebagai prosedur penyelamatan namun, kemungkinan cacat yang parah membayangi mereka yang menjalani prosedur ini. The Brain Tumor Foundation (BTF) merekomendasikan kraniotomi dekompresi frontotemporoparietal dengan target menurunkan angka kematian dan luaran neurologis yang lebih baik.[9]
Rujukan
Pasien cedera otak traumatik harus dirujuk dapat ke bagian bedah saraf atau ke bagian penyakit saraf. Indikasi rujukan cedera otak traumatik ke bedah saraf antara lain:
- Temuan abnormal pada CT-Scan kepala (hematoma, fraktur)
-
Skor glasgow coma scale kurang dari 8 setelah resusitasi
- Skor GCS yang semakin menurun terutama motorik
- Tanda kelainan neurologis yang progresif
- Luka tusuk pada kepala
- Kebocoran cairan serebrospinal
Indikasi untuk evakuasi perdarahan pada perdarahan epidural (EDH) adalah:
- Volume EDH lebih dari 30 cc tanpa mempertimbangkan skor GCS
-
Volume EDH kurang dari 30 cc, ketebalan kurang dari 15 mm, midline shift kurang dari 5 mm dapat ditangani secara non operatif dengan observasi ketat
Indikasi untuk evakuasi perdarahan pada perdarahan epidural (EDH) adalah SDH akut dengan ketebalan lebih dari 10 mm atau midline shift lebih dari 5 mm pada hasil CT Scan kepala harus dievaluasi secara bedah tanpa mempertimbangkan skor GCS pasien.
Pasien dengan skor GCS kurang atau sama dengan 8, ketebalan SDH kurang dari 10 mm, midline shift kurang dari 5 mm dilakukan evakuasi hematom secara bedah bila terdapat salah satu berikut ini:
- Skor GCS telah turun 2 atau lebih sejak penilaian GCS awal
- Pupil anisokor atau tidak respon dan dilatasi.
- Peningkatan tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg
Pasien juga dapat dirujuk ke spesialis saraf untuk kolaborasi dengan bedah saraf untuk menangani pasien secara medikamentosa misalnya untuk pemberian manitol pada pasien yang mengalami herniasi serebri. Pasien yang perlu dipantau ketat termasuk penanganan tekanan intrakranial yang tinggi dapat dirawat di ruang rawatan intensif.[26,27]
Rehabilitasi
Rehabilitasi penting bagi pasien setelah mengalami cedera otak traumatik, karena gangguan kognitif, gangguan emosional, serta gejala sisa defisit neurologis dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Modalitas rehabilitasi bersifat kompleks karena tergantung dari kondisi masing-masing pasien. Dukungan sosial sangat diperlukan dalam upaya rehabilitasi tersebut.
Pada pasien berusia anak-anak atau remaja yang mengalami cedera otak traumatik ringan (brain concussion), mobilisasi dini dilaporkan dapat mengurangi gejala concussion secara lebih baik daripada istirahat berkepanjangan.[26,27]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold Tampubolon