Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi dibagi menjadi enam macam yaitu struktural, genetik, infeksi, metabolik, imunitas dan yang terakhir adalah etiologi yang tidak diketahui. Setiap pasien epilepsi dapat memiliki salah satu atau beberapa etiologi sekaligus sebagai penyebab terjadinya epilepsi. Ada berbagai macam faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terjadinya epilepsi, baik faktor internal seperti neoplasma, riwayat genetik keluarga dengan epilepsi dan faktor eksternal seperti stress dan kurang tidur.[5,6]
Etiologi
Berikut etiologi yang menjadi penyebab terjadinya epilepsi dan penting untuk diketahui karena berhubungan dengan pilihan terapi serta prognosis epilepsi.
Struktural
Etiologi struktural adalah abnormalitas struktur di otak yang diketahui melalui pencitraan dan merupakan penyebab utama terjadinya epilepsi pada pasien. Kelainan struktural ini terbagi menjadi dua yaitu kelainan struktural yang didapat seperti akibat stroke, trauma dan infeksi, serta kelainan struktural genetik yang menyebabkan terjadinya malformasi korteks. Kelainan struktural merupakan penyumbang 40% dari total epilepsi resisten obat pada anak.[2,6]
Contoh gambaran pencitraan berupa kelainan struktur yang berhubungan dengan epilepsi antara lain sebagai berikut, mesial temporal lobe seizures yang berhubungan dengan sclerosis hippocampus. Gelastic seizures dengan kelainan berupa hypothalamic hamartoma, sindrom Rasmussen, dan hemiconvulsion‐hemiplegia‐epilepsy. Abnormalitas struktural ini menjadi penting untuk diketahui karena dapat menjadi pintu masuk terapi bedah bila obat antiepilepsi tidak memberikan hasil yang memuaskan.[6]
Genetik
Etiologi genetik sebagai faktor predisposisi terjadinya epilepsi masih terus berkembang. Masih banyak kelainan genetik yang tidak diketahui. Etiologi genetik dapat diamati lebih jelas pada kasus dengan riwayat keluarga memiliki kelainan autosomal dominan, contohnya syndrome of Benign Familial Neonatal Epilepsy yang diketahui terjadi mutasi pada salah satu gen kanal potassium, KCNQ2 atau KCNQ3.[6,7]
Epilepsi dapat terjadi akibat mutasi beberapa atau hanya satu gen saja. Mutasi genetik dapat menyebabkan terjadinya epilepsi dengan gejala ringan hingga berat. Contoh mutasi monogenik yang menyebabkan terjadinya epilepsi dapat diamati pada anak-anak dengan ensefalopati epilepsi berat, yaitu pada sindrom Dravet. Lebih dari 80% pasien memiliki varian abnormal gen SCN1A. Mutasi gen SCN1A berhubungan dengan sindrom Dravet dan Genetic Epilepsy with Febrile Seizures Plus (GEFS+).[6,7]
Etiologi genetik sendiri tidak menjadi satu-satunya faktor penentu terjadinya epilepsi. Seseorang bisa saja mewarisi mutasi genetik yang menjadi etiologi epilepsi, namun peran dari faktor lingkungan seperti stress, kurang tidur dan penyakit tetap berperan memicu terjadinya awitan kejang.[6]
Infeksi
Infeksi merupakan etiologi tersering yang saat ini diketahui menjadi penyebab epilepsi. Pada kasus kejang seperti ini, kejang merupakan salah satu gejala utama infeksi penyakit tersebut dan memenuhi kriteria diagnosis epilepsi. Contohnya adalah infeksi neurosistiserkosis, tuberkulosis, HIV, malaria serebral, subacute sclerosing panencephalitis, cerebral toxoplasmosis, dan infeksi kongenital, contohnya Zika virus dan cytomegalovirus.[2,6]
Metabolik
Seperti pada skenario etiologi infeksi, pada etiologi metabolik, kejang epilepsi juga merupakan salah satu gejala suatu penyakit metabolik yang terjadi pada seseorang. Epilepsi metabolik dapat terjadi sebagai manifestasi dari abnormalitas biokimia atau defek metabolik didalam tubuh. Contohnya adalah porfiria, uremia, aminoasidopati, atau kejang terkait pyridoxine.[6]
Imunitas
Epilepsi yang terjadi akibat gangguan sistem imun terjadi akibat reaksi inflamasi yang dimediasi oleh imunitas tubuh yang menyebabkan terjadinya inflamasi sistem saraf pusat. Contoh kondisi ini adalah pada penyakit ensefalitis autoimun. Manifestasi klinis epilepsi terkait imunitas antara lain kejang, gejala psikiatrik, gangguan gerak, amnesia, kebingungan hingga kehilangan kesadaran. [2,6]
Etiologi yang tidak diketahui
Penyebab suatu epilepsi yang tidak diketahui etiologinya saat ini terutama berhubungan pada kasus diagnosis epilepsi dinegara berkembang dengan akses teknologi yang terbatas, sehingga diagnosis hanya dapat ditegakkan sampai titik tertentu saja tanpa mengetahui etiologi penyebabnya.[6]
Faktor Risiko
Faktor risiko epilepsi banyak dikaitkan dengan proses perkembangan janin dalam kehamilan serta masalah pada saat persalinan dan post natal. Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan epilepsi adalah:
- Riwayat sakit berat saat kehamilan
- Riwayat cedera otak traumatik
- Kejang demam
- Riwayat epilepsi pada keluarga
Skor APGARyang rendah saat lahir.
- Stress
- Gangguan elektrolit (contohnya hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia)
- Efek toksik akut (antidepresan, simpatomimetik)
Withdrawal syndromes (ethanol, benzodiazepines)
- Sepsis
- Infeksi sistem saraf pusat
- Stroke
- Neoplasma
- Penyakit inflamasi (lupus cerebritis, anti-NMDA receptor encephalitis)[2,6,8,9]