Penatalaksanaan Epilepsi
Penatalaksanaan epilepsi bertujuan untuk menghilangkan serangan kejang pada pasien epilepsi tanpa disertai efek samping bermakna. Tata laksana epilepsi secara umum dapat dibagi menjadi terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi.[13]
Pasien wanita dengan epilepsi katamenial membutuhkan pertimbangan khusus ketika dokter merencanakan terapi. Pilihan tata laksana yang dapat diberikan adalah tata laksana hormonal maupun nonhormonal.
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian obat anti epilepsi, yang dapat diberikan secara monoterapi atau politerapi. Keuntungan pengobatan monoterapi adalah efek samping yang timbul lebih sedikit serta biaya yang jelas lebih murah. Hanya saja berdasarkan hasil studi yang ada, pasien yang memberikan respon terapi yang baik berupa penurunan episode kejang hanya 70% saja. Bila pasien tetap tidak merespon setelah pemberian double terapi, pemberian triple terapi angka keberhasilan hanya < 5%.[2,13,16]
Terapi anti epilepsi diindikasikan pada epilepsi dengan episode kejang tanpa provokasi lebih dari 1 kali. Pada pasien dengan episode kejang tanpa provokasi hanya satu kali, pasien hanya dianjurkan untuk menghindari risiko terjadinya kejang, contohnya minum alkohol dan kurang tidur. Pasien tidak perlu minum obat anti epilepsi.[13]
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan golongan sebagai berikut:
- Penghambat kanal sodium, obat golongan ini menghambat aktivasi berulang kanal sodium (carbamazepine, oxcarbazepine, eslicarbazepine, phenytoin, fosphenytoin, lamotrigine, lacosamide, dan zonisamide)
- agonis reseptor GABA (benzodiazepine dan barbiturates)
- penghambat ambilan GABA (tiagabine)
- penghambat transaminase GABA (vigabatrin)
- antagonis glutamate (topiramate, felbamate, perampanel)
- berikatan dengan protein synaptic vesicle 2A (levetiracetam, brivaracetam)
- mekanisme kerja lebih dari satu (gabapentin, pregabalin, asam valproat)[9,13]
Dalam memilih obat anti epilepsi, berikut adalah hal yang harus dipertimbangkan:
- Tipe Kejang
- Sindrom Epilepsi
- Profil Farmakokinetik
- Interaksi Obat/Kondisi Medis Lain Pasien
- Efikasi
- Efek Samping Obat
- Biaya[14]
Tabel 1. Informasi Obat Antiepilepsi yang Umum Digunakan
Obat | Dosis(Dewasa) dalam mg | Efek Samping | Penggunaan pada kejang fokal | Penggunaan pada kejang generalisata |
carbamazepine | 600–1800 | mengantuk, pandangan kabur, diplopia, dysequilibrium, leukopenia, gagal hepar | √ | √ (tonik-klonik) |
ethosuximide | 500–1000 | Gangguan Gastrointestinal, perubahan mood, letargi, cegukan, nyeri kepala | √ | √ (absence) |
felbamate | 2400–3600 | Nausea, insomnia, nyeri kepala, anorexia, anemia aplastik, gagal hati | √ | √ (tonik-klonik) pada sindrom Lennox-Gastaut |
gabapentin | 1200–2400 | Ataxia, pusing, somnolen, lelah, nystagmus | √ | - |
lamotrigine | 100–250 (bersama valproate) 300–500 | ruam, pusing, diplopia, ataxia, somnolen | √ | √ (absence,myoklonik, tonik-klonik) |
levetiracetam | 1000–3000 | Somnolen, infeksi, nyeri kepala | √ | √ (absence,myoklonik, tonik-klonik) |
oxcarbazepine | 1200–2400 | pusing, diplopia, nyeri kepala, pandangan kabur, somnolen, nausea | √ | - |
phenobarbital | 90–180 | Sedasi, depresi, hilang konsentrasi, afek tumpul, hiperaktivitas | √ | - |
phenytoin | 300–500 | Ataxia, dysarthria, gingival hypertrophy, hirsutisme, acneiform eruption, gagal hati, osteomalasia | √ | √ (tonik-klonik) |
primidone | 750–1250 | Sedasi, pusing, nausea, ataxia, depresi | √ | - |
tiagabine | 32–56 | pusing, gugup, pemikiran abnormal | √ | - |
topiramate | 200–400 (dengan inducer) | lelah, psychomotor slowing, pusing, berat badan turun, batu ginjal(1–2%) | √ | √ (absence,myoklonik, tonik-klonik) |
valproate | 1000–3000 | Gangguan Gastrointestinal, penambahan berat badan, rambut rontok, tremor, trombositopenia, gagal hati, pankreatitis | √ | √ (absence,myoklonik,tonik-klonik) |
zonisamide | 200–600 | pusing, ataxia, bingung, anoreksia, nausea | √ | √ (Myoklonik, tonik-klonik) |
Sumber : dr. Reren, 2020.[13-15]
Kriteria seseorang dengan epilepsi dikatakan telah sembuh adalah pada individu yang telah melampaui onset usia terjadinya sindrom epilepsi yang bergantung pada usia, atau pada individu yang tidak pernah mengalami kejang lagi dalam 10 tahun terakhir dan sudah tidak mengonsumsi obat anti epilepsi dalam 5 tahun terakhir.[2]
Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien epilepsi adalah berupa terapi bedah dan non bedah.
Terapi Bedah
Terapi bedah dilakukan pada 20-30% pasien yang tidak memilki respon yang baik dengan pemberian obat antiepilepsi. Terapi bedah diindikasikan pada pasien tersebut bila bagian otak yang menyebabkan kejang dapat dioperasi tanpa memberikan efek defisit neurologis yang berat. Dalam menentukan apakah pasien layak operasi atau tidak perlu dilakukan serangkaian pemeriksaan dengan video-EEG, pencitraan neuronal serta studi psikometrik.[14]
Prosedur operasi bedah pada pasien epilepsi antara lain lobektomi dan lesionektomi. Temporal lobektomi adalah prosedur operasi bedah yang paling sering dilakukan pada pasien epilepsi. Pada pasien dengan indikasi operasi yang tepat, lebih dari 80% kasus dapat bebas dari kejang setelah pembedahan,walau beberapa tetap harus dibarengi dengan konsumsi obat anti epilepsi.[13,14]
Stimulasi nervus vagus juga dilaporkan dapat menjadi terapi tambahan bagi pasien epilepsi yang tidak terkontrol. Alat stimulasi nervus vagus biasanya diimplantasikan secara bedah di bawah kulit pasien.
Terapi Non Bedah
Terapi non bedah yang dapat dilakukan pada pasien epilepsi adalah dengan diet ketogenik. Diet ketogenik diberikan berdasarkan teori bahwa keadaan asidosis dan ketosis memiliki efek anti kejang. Dari hasil studi, pasien yang episode kejangnya menjadi terkontrol setelah menerima diet ketogenik adalah 30 hingga 33%, sedangkan sisanya yaitu 33% pasien mengalami penurunan episode kejang dan 33% lainnya sama sekali tidak memberikan respon apapun.[2,14]
Diet ketat ini harus diinisiasi di Rumah sakit karena kemungkinan efek samping gangguan metabolik yang ditimbulkan. Hambatan lainnya adalah diet ini amat sulit untuk dilakukan, hanya 10% pasien yang berhasil menerapkan diet ini setelah 1 tahun.[2,14]
Selain diet, pasien juga dapat melakukan upaya modifikasi gaya hidup dengan menjalankan pola hidup sehat, antara lain dengan menghindari konsumsi alkohol, istirahat cukup, relaksasi dan teknik biofeedback.[14]