Diagnosis Epilepsi
Diagnosis epilepsi saat ini menurut pedoman International League Against Epilepsy (ILAE) 2017 dilakukan secara bertahap dengan tiga fase diagnosa, yaitu diagnosa jenis kejang, diagnosa jenis epilepsi, kemudian menentukan jenis sindrom epilepsi yang sesuai.[6,12]
Penegakan diagnosis epilepsi membutuhkan ketelitian dalam membedakan episode kejang dengan gangguan neurologis sementara lainnya dan pingsan, membedakan suatu gejala akut kejang dengan episode kejang epilepsi tanpa pemicu, serta mengklasifikasikan gangguan yang terjadi serta mengidentifikasi etiologi pada ketiga fase diagnosa sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.[12]
Anamnesis
Anamnesis pada pasien untuk menegakkan diagnosa epilepsi, dimulai dari pertama ditemukan pasien dibawa karena kejang. Pertanyaan berupa autoanamnesa maupun alloanamnesa sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis.[12]
Anamnesa yang dapat ditanyakan antara lain adalah mengenai onset kejang, adakah gejala prodromal atau aura sebelumnya, gambaran secara jelas bagaimana kondisi pasien saat terjadi kejang, durasi kejadian, dan bagaimana kondisi pasien saat post iktal.[12]
Pemeriksaan Fisik
Gambaran pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis epilepsi umumnya hanya dapat ditemukan pada kasus sindrom epilepsi yang disertai dengan manifestasi klinis berupa kelainan fisik. Contohnya pada kelainan kutaneus pada penyakit sindrom neurokutaneous seperti Sturge-Weber dan tuberous sclerosis. Kelainan fisik yang ditemukan pada pasien postictal umumnya bersifat transient.[13,14]
Pemeriksaan fisik pasien epilepsi harus dilakukan sesegera mungkin dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan ulang berkala untuk menilai ada tidaknya kelainan klinis yang menetap. Bila ditemukan kelemahan, afasia, atau lateralisasi Postictal menetap, bisa saja ini merupakan tanda lokasi sumber lesi berupa kelainan struktur, contohnya tumor atau stroke. Gejala tersebut merupakan pertanda kejang simptomatik akut yang bisa saja berkembang menjadi epilepsi.[14]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk diagnosa epilepsi antara lain sebagai berikut:
Syncope
Syncope dapat terjadi Bersama kondisi inkontinensia dan gerakan ekstremitas yang bersifat involunter, sehingga dapat disalah artikan sebagai kejang. Berbeda dengan kejang, syncope umumnya berhubungan dengan posisi berdiri dalam waktu lama, disertai rasa penglihatan berkunang-kunang, penurunan pendengaran, mual, diaphoresis, serta pasien tampak pucat. Sedangkan kejang dapat terjadi pada pasien dalam posisi apapun, serta pemulihan lebih lambat serta dapat disertai dengan gejala post iktal.[9,12]
Gangguan Irama Jantung
Gangguan irama jantung yang dapat menyebabkan kondisi pingsan seperti kejang adalah transient atrioventricular (AV) blocks, sindrom Brugada, dan gelombang QT yang memanjang, kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya episode ventrikular takikardi atau fibrilasi ventrikel.[12]
Pada kondisi gangguan irama jantung ini, serangan umumnya terjadi setelah pasien melakukan aktivitas fisik, dengan tanda klinis awal berupa palpitasi, nyeri dada dan tanda presyncope. Diagnosis pada kondisi ini dapat disingkirkan dengan pemeriksaan elektrokardiografi.[12,15]
Nonepileptic Attack Disorder
Non-epileptic attack disorder paling sering terjadi pada wanita dalam rentang usia 15 hingga 35 tahun. Pada gangguan ini umumnya pasien akan melakukan Gerakan tidak beraturan pada bagian kepala dan pelvis, dengan kedua mata yang cenderung menutup. Saksi mata umumnya akan mengira ini adalah kejang tonik-klonik. Gerakan dapat berlangsung dalam waktu lama tetapi pasien akan pulih dalam waktu yang relatif cepat tanpa adanya reaksi postictal.[12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien epilepsi antara lain digunakan untuk membantu menunjang diagnosis ataupun mencari etiologi epilepsi. Berikut pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan pada pasien epilepsi
Video-Electroencephalography (EEG)
Pemeriksaan EEG dengan rekaman video disamping tempat tidur pasien saat ini merupakan pemeriksaan baku emas dalam mendiagnosis epilepsi. Pemeriksaan EEG juga dapat menjadi predictor rekurensi epilepsi. Abnormalitas EEG yang dapat menjadi prediktor rekurensi epilepsi antara lain ditemukan gambaran sebagai berikut:
- Epileptiform discharges
- Focal slowing
- Diffuse background slowing
- Intermittent diffuse intermixed slowing[13]
Studi Prolaktin
Kadar prolaktin diketahui meningkat pada pasien yang mengalami kejang epileptik. Kadar prolaktin dapat meningkat 3 hingga 4 kali lipat pada pasien dengan tipe kejang tonik klonik generalisata. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan kejang yang terjadi bersifat epileptik atau non epileptik, contohnya akibat psychogenic nonepileptic seizure yang biasa ditemukan pada orang dewasa dan anak remaja.[13,15]
Studi Neuroimaging
Studi neuroimaging yang dilakukan pada pasien epilepsi adalah pemeriksaan Computed tomography (CT)-Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang berguna dalam mendeteksi adanya lesi pada otak yang menjadi pemicu terjadinya epilepsi, contohnya tumor otak.[13,16]
Bila dari pemeriksaan fisik neurologis tidak ditemukan kelainan, ditambah lagi tidak ditemukan adanya kelainan motorik maupun kognitif diantara episode epilepsi, lebih disarankan untuk dilakukan pemeriksaan MRI dibanding CT Scan, karena MRI lebih mampu mendeteksi abnormalitas anatomi yang lebih kecil. Contohnya seperti displasia korteks dan gangguan perkembangan korteks lainnya, gliosis, serta penurunan neuron dengan manifestasi sebagai atrofi fokal.[13,14]
Klasifikasi Epilepsi
Menurut pedoman terbaru dari International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2017, klasifikasi diagnosis epilepsi mengalami pembaharuan. Terminologi diagnosis epilepsi sendiri juga mengalami penambahan, sebelumnya epilepsi didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang mengalami setidaknya dua episode kejang tanpa ada provokasi atau kejang refleks dengan jarak lebih dari 24 jam.[5]
Saat ini ditambahkan dua kondisi lainnya yang termasuk dalam diagnosis epilepsi, yang pertama adalah sebuah episode kejang tanpa adanya provokasi atau kejang refleks dan disertai dengan probabilitas setidaknya 60 % akan terjadi kejang lagi dalam 10 tahun kedepan. Yang kedua adalah bila seseorang terdiagnosis sindrom epilepsi.[2,5]
Pedoman ILAE memberikan tuntunan untuk melakukan diagnosis epilepsi dengan tiga langkah, yaitu menentukan diagnosis tipe kejang, diagnosis tipe epilepsi dan terakhir diagnosis sindrom epilepsi, dengan memperhatikan etiologi penyebab dalam ketiga langkah diagnosis tersebut.[5,6]
Diagnosis Tipe Kejang
Tipe kejang dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe fokal, tipe generalisata dan tipe yang tidak diketahui. Kejang tipe fokal kemudian dibedakan lagi berdasarkan tingkat kesadarannya, apakah sadar atau tidak sadar saat mengalami kejang. Langkah selanjutnya adalah menentukan kejang didominasi oleh gerakan motorik atau non motorik.[5,6]
Kemudian ditentukan apakah terjadi evolusi kejang fokal menjadi bilateral tonik klonik atau tidak. Umumnya didaerah dengan keterbatasan sarana dan prasarana, diagnosis hanya dapat ditegakkan sampai tipe kejang saja karena tidak ada GEE.[5,6]
Pada kejang tipe generalisata, langsung dibedakan apakah kejang utamanya bersifat motorik atau non motorik (absence). Pada kejang yang tidak diketahui bersifat fokal atau generalisata, juga ditentukan apakah kejang dominan motorik atau non motorik.[5,17]
Menentukan Tipe Epilepsi
Setelah menentukan diagnosis tipe kejang, selanjutnya dapat ditentukan tipe epilepsi yang terjadi. Menurut klasifikasi terbaru, epilepsi dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu epilepsi tipe fokal, generalisata, campuran, dan tipe yang tidak diketahui. Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis disertai hasil EEG sebagai penunjangnya.[5,6]
Epilepsi Fokal:
Diagnosis epilepsi fokal ditegakkan pada pasien dengan satu atau beberapa tipe kejang fokal dengan gambaran EEG berupa focal slowing atau epileptiform discharges.[5]
Epilepsi Generalisata:
Diagnosis epilepsi generalisata ditegakkan pada pasien dengan klinis satu atau beberapa tipe kejang generalisata disertai dengan gambaran EEG generalized spike-wave activity atau dengan gambaran EEG yang normal tetapi dengan klinis berupa kejang mioklonik atau dengan riwayat keluarga epilepsi generalisata.[5]
Epilepsi Campuran dan Tidak Diketahui:
Pada pasien epilepsi campuran, tipe kejang ditemukan kejang fokal dan generalisata, gambaran EEG nya juga memperlihatkan gambaran campuran antara generalisata dan fokal. Sedangkan pada pasien yang memenuhi kriteria epilepsi, namun tidak ada hasil EEG atau hasil EEG nya indeterminant, ditambah lagi tidak diketahui riwayat penyakit secara pasti, kelompok ini digolongkan sebagai epilepsi yang tidak diketahui.[5]
Menentukan Sindrom Epilepsi
Sindrom epilepsi adalah diagnosis selanjutnya (tahap tiga) yang diambil dari klaster khusus dengan gambaran pola kejang, EEG, serta pencitraan yang didapatkan muncul bersamaan pada pasien epilepsi. Contoh diagnosa sindrom epilepsi antara lain adalah Idiopathic atau Genetic Generalized Epilepsy Syndromes, Reflex Epilepsy Syndromes, Focal Epilepsy Syndromes, childhood absence epilepsy, West syndrome, dan Dravet syndrome.[5,6]
Sindrom epilepsi umumnya berkorelasi dengan onset usia pasien mengalami epilepsi, kemungkinan remisi, pemicu terjadinya kejang, variasi diurnal, dan juga dapat mempengaruhi prognosis. Pasien dengan diagnosa sindrom epilepsi biasanya memiliki komorbiditas seperti gangguan kejiwaan dan intelektual yang rendah.[6]