Penatalaksanaan Neurofibromatosis Tipe 2
Penatalaksanaan neurofibromatosis (NF) tipe 2 dilakukan dengan observasi klinis rutin yang bertujuan mengevaluasi potensi munculnya komplikasi cairan serebrospinal dan lesi batang spinal.
Manajemen NF tipe 2 perlu dilakukan oleh tim multidisiplin yang terdiri dari tenaga saraf, bedah saraf, bedah plastik, kulit, mata, THT, bedah umum, genetik, radiologi, onkologi medis dan radiasi, psikologis, perawat, dan farmasi.[1,9]
Terapi diindikasikan bila tumor menekan batang otak atau berisiko menimbulkan kehilangan fungsi pendengaran. Schwannoma sendiri umumnya tumbuh dengan lambat dan tidak memerlukan intervensi dalam jangka pendek.
Tumor lain yang terletak intrakranial, pada saraf kranial, atau saraf spinal juga bertumbuh dengan lambat dan tidak bergejala sehingga tata laksana utama adalah pengawasan.[1,3]
Terapi Non Farmakologis
Terapi Neurofibromatosis tipe 2 terdiri dari pembedahan dan radiasi.
Tata Laksana Bedah
Pembedahan merupakan terapi lini pertama pada schwannoma vestibular maupun tumor lain yang bergejala atau bersifat progresif. Tingkat keberhasilan reseksi sempurna schwannoma pada NF tipe 2 lebih rendah daripada tumor sporadis, karena schwannoma pada NF tipe 2 cenderung melibatkan lebih banyak fasikel saraf dengan tingginya penempelan pada saraf sekitar.
Meskipun begitu, umumnya tumor vestibular berukuran kecil, yaitu yang berukuran <1,5 mm, yang terletak intrakanalikular dapat direseksi sempurna dengan tetap mempertahankan fungsi pendengaran dan saraf fasialis.[1,3,7,9]
Tumor yang berukuran besar sebaiknya ditata laksana secara konservatif. Debulking atau dekompresi hanya dilakukan bila terjadi penekanan batang otak, penurunan fungsi pendengaran, disfungsi saraf fasialis, atau hidrosefalus obstruktif. Pengambilan keputusan antara tindakan operasi dini dan preservasi fungsi fasialis atau penundaan operasi selama pasien masih dapat mendengar masih sulit untuk ditentukan.[1,3,7]
Reseksi Bedah:
Reseksi bedah umumnya dilakukan hanya bila pasien menderita gejala neurologis progresif atau pertumbuhan tumor yang cepat. Saraf koklea dipertahankan pada setiap tindakan operasi dengan harapan bahwa saraf dapat dimanfaatkan untuk implan koklea di masa yang akan datang.[7,9,13]
Disfungsi neurologis progresif yang membutuhkan intervensi bedah terjadi pada 12-20% pasien ependymoma spinal. Dengan lambatnya laju pertumbuhan tumor intrakranial, saraf kranial, atau saraf spinal, intervensi bedah pada tumor yang hanya menimbulkan gangguan minor malah berisiko menyebabkan disabilitas terjadi lebih dini sebelum terjadi secara alamiah.[3,7]
Meskipun ependymoma pada populasi tanpa NF tipe 2 umumnya ditangani dengan reseksi total atau kadang dengan radioterapi dan kemoterapi, tidak jelas apakah ependymoma pada individu dengan NF tipe 2 membutuhkan tata laksana yang agresif.[3]
Eksisi bedah terhadap schwannoma kutaneus tidak diperlukan, tetapi dapat diindikasikan bila tumor tersebut menimbulkan gangguan penampilan atau nyeri. Eksisi juga dapat membantu proses diagnosis.[3]
Reseksi dengan bedah mikro dengan preservasi fungsi pendengaran semakin berkembang dengan tersedianya stereo-mikroskop definisi tinggi, bor kecepatan tinggi yang lebih aman dengan stimulasi saraf terintegrasi, agen hemostatik lokal yang efisien, serta navigasi dan monitoring saraf intra operasi.
Pendekatan bedah mikro dapat dilakukan dari fossa kranial tengah dan retrosigmoid. Endoskopi semakin banyak digunakan untuk pembedahan dasar tengkorak.[13]
Radiasi
Radiasi biasanya diindikasikan bila tumor tidak terjangkau secara bedah atau tumor berprogresi setelah dilakukan tindakan pembedahan. Stereotactic radiosurgery merupakan terapi alternatif pembedahan bagi schwannoma vestibular, dan umumnya dilakukan dengan pisau gamma. Meskipun demikian, hasil terapi radiasi pada pasien NF tipe 2 tidak sebaik pasien dengan schwannoma vestibular unilateral sporadik, dengan kontrol tumor jangka panjang hanya sekitar 60%.[1-3,7]
Angka preservasi fungsi pendengaran pada pasien NF tipe 2 juga lebih rendah secara signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kecenderungan histologis schwannoma NF tipe 2 untuk menginvasi serabut saraf, bukan hanya menggeser saraf seperti halnya tumor sporadis. Karena itu, kerusakan saraf pasca radiasi atau bedah tidak dapat dihindari.
Radiasi membawa risiko transformasi tumor ke arah keganasan, terutama pada pasien anak. Biasanya terapi radiasi dihindari bila risiko lebih besar daripada manfaat. Perkembangan keganasan pasca radiasi dapat membutuhkan waktu hingga 15 tahun. Keganasan dapat berkembang dalam lesi yang diradiasi atau berupa keganasan baru dalam lapang radiasi, misalnya glioblastoma yang merupakan tumor otak maligna yang paling banyak ditemukan. [1-3]
Terapi Farmakologis
Bevacizumab adalah antibodi monoklonal yang merupakan inhibitor vascular endothelial derived growth factor (VEGF) dan digunakan sebagai terapi NF tipe 2 dengan hasil yang menjanjikan. Bevacizumab telah digunakan sebagai terapi schwannoma vestibular yang bertumbuh cepat dan ependimoma. Sekitar 60-70% pasien merespon terhadap terapi.
Bevacizumab mengurangi ukuran tumor pada 53% pasien dan memperbaiki fungsi pendengaran pada 57% pasien. Terapi dapat diberikan bertahun-tahun, tetapi terdapat kekhawatiran mengenai toksisitas renal pada terapi jangka panjang termasuk hipertensi dan proteinuria.[1-3]
Pada pasien dewasa muda yang menerima terapi bevacizumab atau agen lain yang memengaruhi fertilitas, langkah antisipasi harus dilakukan termasuk konsultasi dengan spesialis reproduksi.[9]
Lapatinib (inhibitor EGFR/Erb2) menunjukkan efektivitas terhadap schwannoma vestibular pada sebuah studi. Agen lain seperti inhibitor rapamisin (mTOR) mungkin menghambat progresi tumor.[9]
Neuropati perifer yang tidak terkait tumor dapat ditata laksana secara simptomatik. Contoh terapi ini adalah gabapentin atau pregabalin untuk kontrol nyeri dan gejala sensorik lain.[9]
Perburukan fungsi pendengaran secara mendadak merupakan kedaruratan. Pertimbangkan pemberian kortikosteroid oral atau intratimpanik.[14]
Evaluasi Sistem Indera Pada Neurofibromatosis Tipe 2
Pasien dengan NF tipe 2 memerlukan evaluasi fungsi pendengaran, penglihatan, MRI, dan brainstem evoked potential.Bila tidak ada penurunan kondisi klinis, pemeriksaan MRI kepala maupun pemeriksaan pendengaran dan penglihatan dapat dilakukan setahun sekali.[1]
Evaluasi Sistem Pendengaran
Preservasi dan augmentasi fungsi pendengaran sangat penting dalam tata laksana pasien yang menderita NF tipe 2. Pasien dengan gangguan fungsi pendengaran dapat dirujuk ke audiologis untuk mengikuti terapi membaca bibir dan bahasa isyarat. Alat bantu dengar dan/atau implan koklea atau batang otak dapat dipertimbangkan. Alat bantu dengar dapat membantu pada awal perjalanan penyakit.
Rehabilitasi pendengaran dengan implan koklea atau batang otak perlu didiskusikan pada pasien yang kehilangan fungsi pendengaran. Implan koklea dapat bermanfaat pada individu yang menderita gangguan vaskuler pada koklea tetapi tidak disertai kerusakan saraf.[14]
Implan juga dapat digunakan pada pasien dengan tumor stabil di mana fungsi pendengaran telah hilang tetapi masih terdapat bukti adanya fungsi saraf koklea. [3,13] Implan batang otak merupakan pilihan untuk pasien yang sudah tidak memiliki saraf koklea fungsional.[14]
Latihan membaca bibir dapat dilakukan pada pasien yang menderita gangguan pendengaran dengan melibatkan partisipasi komunitas. Manajemen komprehensif juga dilakukan untuk memaksimalkan fungsi mobilisasi, meminimalisasi risiko cedera, dan dukungan psikologis.[9]
Evaluasi Penglihatan
Manifestasi gangguan penglihatan pada NF tipe 2 harus dideteksi dan ditata laksana sejak awal. Mayoritas katarak yang terkait dengan NF tipe 2 tidak membutuhkan tindakan. Waspadai katarak pada masa bayi yang menyebabkan ambliopia dan mempengaruhi fungsi penglihatan. Pasien demikian mungkin memerlukan intervensi pada katarak disertai pemasangan patch pada mata yang sehat.[3]
Evaluasi Kelemahan Saraf Fasialis
Pasien dengan kelemahan saraf fasialis dapat mengalami gangguan fungsi dan penampilan yang signifikan. Evaluasi sebaiknya dilakukan oleh dokter bedah untuk menilai perlunya terapi dengan injeksi toksin botulinum (botox), penempatan pemberat kelopak mata, dan reanimasi wajah.[7]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri