Diagnosis Tetanus
Diagnosis tetanus harus dicurigai pada pasien dengan riwayat cedera rawan tetanus baru-baru ini disertai dengan riwayat imunisasi tetanus yang tidak adekuat. Gejala klinis tetanus berupa trismus atau risus sardonicus atau spasme otot yang nyeri biasanya dapat dikenali.
Masa inkubasi tetanus berkisar antara 3 hingga 21 hari sejak inokulasi spora pada luka. Interval median dari kejadian luka dan timbulnya gejala tetanus adalah 7 hari. Pada beberapa kasus gejala dapat timbul paling cepat kurang dari 2 hari dari kejadian luka.[7]
Berdasarkan gejala klinis tetanus diklasifikasikan menjadi tetanus generalisata, tetanus lokal, dan tetanus sefalik.[2,8]
Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata adalah bentuk tetanus yang paling banyak ditemukan (>80% kasus). Tetanus generalisata bisa diawali dengan tetanus lokal selama beberapa hari. Gejala klinis yang muncul pertama kali biasanya adalah trismus (±90% kasus).
Gejala klinis lain yang sering muncul di awal kejadian tetanus adalah spasme dan rasa nyeri pada daerah leher atau kaku kuduk. Pada lansia keluhan awal yang muncul dapat berupa disfagia (kesulitan menelan).
Gejala klinis lain yang dapat muncul pada tetanus generalisata antara lain risus sardonicus, opistotonus (spasme beberapa kelompok otot yang menyebabkan gambaran punggung yang melengkung, lengan adduksi, fleksi pada siku dan pergelangan tangan, serta ekstensi tungkai bawah), dan gangguan pernapasan akibat spasme otot dinding dada, faring, ataupun laring.
Spasme otot yang bersifat episodik dapat timbul akibat rangsangan berupa sentuhan, cahaya, dan suara. Pada perkembangan penyakit, spasme dapat terjadi secara spontan. Spasme otot yang terjadi dapat menyerupai konvulsi, namun dengan kesadaran yang intak.
Spasme otot yang hebat dapat menyebabkan ruptur tendon hingga fraktur tulang. Tetanus generalisata dapat juga diikuti dengan gangguan sistem saraf otonom, yang menimbulkan takikardia atau bradikardia, instabilitas tekanan darah, diaforesis, flushing, dan aritmia.[6-8]
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang paling ringan. Gejala klinis yang muncul biasanya adalah spasme atau kedutan pada otot di sekitar luka. Pasien akan mengeluhkan nyeri setiap terjadi spasme otot tersebut. Keluhan dapat bertahan selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Kematian akibat tetanus lokal sangat rendah, namun tetap memiliki kemungkinan untuk berkembang menjadi tetanus generalisata.[6-8]
Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk tetanus yang paling jarang terjadi. Biasanya disebabkan karena otitis media kronis atau trauma kepala. Berbeda dengan tetanus lokal dan generalisata yang ditandai dengan spasme, pada tetanus sefalik gejala klinis yang muncul berupa paralisis nervus kranial.
Nervus yang paling sering terkena adalah Nervus VII. Tetanus yang diakibatkan karena trauma penetrasi mata dapat menyebabkan paralisis N.III dan ptosis. Nervus lain yang sering terkena pada tetanus sefalik adalah Nervus IV, IX, X, dan XII.
Pada kasus tetanus sefalik dapat juga timbul trismus, disfagia, dan kaku kuduk. Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus generalisata.[2,8]
Anamnesis
Anamnesis terhadap pasien yang dicurigai menderita tetanus meliputi riwayat kejadian luka yang meliputi kapan terjadinya, mekanisme terjadinya luka, dan perawatan luka yang telah dilakukan.
Selain daripada itu, hal yang perlu ditanyakan adalah kapan gejala pertama kali muncul sejak terjadinya luka, riwayat operasi atau prosedur medis, misalnya sirkumsisi, pencabutan gigi, persalinan, dan sebagainya. Tanyakan pula risiko adanya port d’entree lain seperti penggunaan jarum suntik atau otitis media supuratif kronis berulang.
Riwayat vaksinasi tetanus sebelumnya juga penting ditanyakan untuk menentukan apakah pasien memiliki imunitas yang adekuat terhadap tetanus.
Pada kasus dicurigai tetanus neonatorum, tanyakan dimana persalinan dilakukan, siapa penolong persalinan, dan apa alat yang digunakan untuk memotong dan mengikat tali pusat bayi.
Pada kasus tetanus neonatorum, tanda klinis yang muncul pertama kali adalah kemampuan menghisap yang buruk (sebelumnya normal). Tanda klinis tersebut dapat muncul di usia bayi 3-10 hari.[2]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien tetanus umumnya tanda vital normal, kecuali jika sudah terjadi gangguan sistem saraf otonom. Demam tidak selalu ada pada pasien tetanus.
Pemeriksaan fisik yang terutama untuk tetanus adalah penemuan salah satu tanda klinis yakni trismus atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri. Trismus adalah kekakuan pada daerah rahang dan leher yang menyebabkan pasien sulit membuka mulut.
Risus sardonikus adalah gambaran yang khas pada tetanus berupa spasme pada otot wajah dimana otot bibir mengalami retraksi, mata tertutup sebagian, elevasi alis yang membuat wajah pasien tampak seperti sedang menyeringai. Saat mengalami spasme otot, kesadaran pasien tetap baik dan dapat merasakan nyeri.
Tes spatula dapat dilakukan dengan memasukkan spatula lidah ke dalam mulut pasien untuk memicu refleks muntah. Hasil negatif jika pasien berusaha mengeluarkan spatula. Pada pasien tetanus tes ini akan merangsang spasme otot masseter, sehingga pasien akan menggigit spatula yang dimasukkan.
Pada pemeriksaan fisik tetanus neonatorum dapat ditemukan refleks hisap yang lemah. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah bayi gelisah, menangis terus menerus, risus sardonikus, rigiditas, dan opistotonus.[2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding tetanus merupakan penyakit dengan kondisi yang memiliki gejala serupa dengan tetanus. Tanda klinis trismus selain ditemukan pada pasien tetanus dapat pula muncul pada kasus infeksi intraoral, keracunan striknin, penggunaan obat distonik seperti metoklopramid atau fenotiazin, dan hipokalsemia.
Meningoensefalitis
Meningoensefalitis dapat menjadi diagnosis banding tetanus saat tanda klinis kaku kuduk muncul. Namun, pada meningoensefalitis biasanya ditemukan penurunan kesadaran, demam tinggi, dan kejang.
Abdomen Akut
Rigiditas abdomen yang ditemukan pada tetanus, dapat didiagnosis banding dengan akut abdomen atau kelainan lain intraabdomen seperti peritonitis, perdarahan intra abdomen, kehamilan ektopik terganggu.
Bell’s Palsy dan Neuritis Trigeminal
Bell’s Palsy dan neuritis trigeminal bisa menjadi diagnosis banding pada tetanus sefalik. Namun, tetanus sefalik seringkali disertai dengan disfagia, trismus, dan kaku kuduk.[2,6,7]
Drug-Induced Dystonias
Obat-obatan phenothiazine seperti chlorpromazine dapat menyebabkan spasme atau distonia. Distonia akibat obat-obatan dapat diketahui melalui gejala deviasi mata yang mana tidak tipikal pada tetanus.
Pada tetanus terjadi kontraksi otot yang cenderung berupa tonik di antara kejang. Sementara pada drug-induced dystonia tidak terdapat kontraksi antar kejang tersebut. Selain itu, kejang pada drug-induced dystonia dapat segera berhenti dengan pemberian agen antikolinergik seperti benztropine mesylate, yang mana tidak berefek pada tetanus.[6,24]
Keracunan Striknina
Keracunan striknina akibat menelan racun tikus dapat menimbulkan gejala mirip dengan tetanus. Namun, perawatan suportif awal yang kritis untuk kedua kondisi tersebut adalah identik. Pada pasien yang telah cukup diimunisasi untuk tetanus, tes darah, urin dan jaringan untuk striknina harus dilakukan di laboratorium rujukan khusus.[6,25]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis tetanus. Sementara itu, tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus. Pemeriksaan seperti lumbal pungsi tidak diperlukan karena biasanya hasil yang ditemukan normal. Pemeriksaan radiologis juga tidak perlu dilakukan.[2,6,7]
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium darah biasanya normal pada pasien tetanus, walaupun dapat ditemukan sedikit leukositosis. Pemeriksaan elektrolit dapat digunakan untuk menyingkirkan spasme otot akibat hipokalsemia.
Pemeriksaan kadar striknin dalam darah atau urin dapat dilakukan untuk menyingkirkan spasme akibat keracunan striknin, bila pada pasien tidak ditemukan port d’entree dan ada riwayat penggunaan pestisida.
Kultur sekret luka belum tentu memberikan hasil yang positif. Di lain pihak, hasil kultur yang positif Clostridium Tetani juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak menderita tetanus.[6-8]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri