Diagnosis Amenorrhea Sekunder
Diagnosis amenorrhea sekunder ditegakkan bila periode tanpa siklus menstruasi terjadi selama 3 bulan pada wanita dengan riwayat menstruasi teratur atau selama 6 bulan pada wanita dengan riwayat menstruasi tidak teratur. Evaluasi amenorrhea terutama dilakukan untuk mengeksklusi penyebab kehamilan atau laktasi. Pemeriksaan fisik dan penunjang secara menyeluruh perlu dilakukan untuk mencari etiologi yang mendasari amenorrhea sekunder.[1,3,5]
Anamnesis
Anamnesis diawali dengan menanyakan informasi usia dan kapan pasien mengalami menstruasi pertama. Jika pasien tidak pernah mengalami menstruasi sebelumnya maka diagnosis mengarah pada amenorrhea primer.[1,3,5]
Riwayat Menstruasi
Pada pasien yang telah mengalami menarke, dokter perlu menanyakan riwayat menstruasi sebelumnya secara mendetail. Informasi yang perlu dievaluasi meliputi frekuensi, durasi, perkiraan jumlah darah menstruasi, dan tanggal menstruasi terakhir.[1,3,5]
Riwayat Keluhan
Tanyakan riwayat keluhan amenorrhea atau iregularitas menstruasi sebelumnya, dan seberapa sering terjadinya. Dokter juga perlu menanyakan apakah onset amenorrhea terjadi setelah pasien mengalami kelahiran, operasi, trauma, infeksi panggul atau prosedur kuretase.
Keluhan lain perlu dievaluasi agar penyebab amenorrhea sekunder dapat diketahui. Keluhan nyeri kepala, sekresi cairan seperti susu dari puting, maupun defek lapang pandang dapat mengindikasikan gangguan pada hipotalamus atau pituitari.
Keluhan jerawat dan pertumbuhan rambut tubuh yang abnormal mengindikasikan polycystic ovarian syndrome (PCOS). Sementara itu, gejala yang mengindikasikan penyakit tiroid meliputi fatigue, perubahan berat badan, palpitasi, dan takikardi. Stresor psikososial dan riwayat latihan fisik yang berat dapat mengindikasikan kondisi gangguan fungsional pada hipotalamus.[1-3,5]
Riwayat Kontrasepsi dan Obat Lainnya
Alat kontrasepsi yang mengandung progestin dapat menekan pertumbuhan endometrium, oleh karena itu riwayat penggunaan kontrasepsi juga perlu ditanyakan. Dokter juga perlu menggali informasi mengenai riwayat penyakit kronik pada pasien dan keluarga, serta riwayat konsumsi obat-obatan seperti antipsikotik.[1-3,5]
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk menilai amenorrhea sekunder diawali dengan mengukur berat badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh. Selanjutnya, pemeriksaan perlu dilakukan untuk mengeksklusi diagnosis kehamilan.
Pemeriksaan lain juga diperlukan untuk mengevaluasi gejala seperti gangguan lapang pandang, galactorrhea, hirsutisme, perubahan kulit yang abnormal seperti acanthosis nigricans. Pemeriksaan fisik tiroid juga juga dapat dilakukan untuk menentukan penyebab amenorrhea. [1,2,5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding amenorrhea sekunder meliputi keadaan lain yang menyebabkan terjadinya amenorrhea patologis, seperti adanya kehamilan.
Kehamilan
Diagnosis kehamilan patut dicurigai pada wanita yang aktif secara seksual. Selain amenorrhea, pasien dapat menunjukkan gejala seperti mual, muntah, mudah lelah, dan nyeri pada payudara.[1]
Penyakit Tiroid
Pasien dengan kondisi hipotiroid atau hipertiroid dapat mengalami gangguan siklus menstruasi. Diagnosis ini bisa ditentukan melalui pemeriksaan hormon TSH.
Pasien hipotiroid dapat menunjukkan gejala lemas, cold intolerance, peningkatan berat badan, perubahan suara, kulit kering, dan konstipasi. Sementara pasien hipertiroid umumnya mengalami tremor, palpitasi, heat intolerance, cemas, iritabilitas, mudah berkeringat, kesulitan tidur, dan penurunan berat badan meskipun nafsu makan meningkat.[12]
Prolaktinoma
Prolaktinoma adalah tumor jinak yang tumbuh di kelenjar hipofisis. Keluhan dapat berupa galaktorea dan gejala akibat penekanan massa tumor seperti nyeri kepala, gangguan lapang pandang, atau pandangan kabur.
Hasil pemeriksaan umumnya menunjukkan kelainan hormon hipofisis seperti peningkatan kadar prolaktin. Penegakan diagnosis prolaktinoma dilakukan dengan temuan massa melalui pemeriksaan radiografi MRI.[13]
Insufisiensi Ovarium Primer
Insufisiensi ovarium prematur (POI) merupakan kondisi kegagalan prematur ovarium yang terjadi pada wanita berusia <40 tahun. Penyakit ini dapat disebabkan oleh penyakit infeksi seperti Mumps, juga kelainan genetik seperti Sindrom Turner.[14]
Pasien dapat menunjukkan gejala gangguan endokrin seperti lemas, intoleransi terhadap suhu panas, atau peningkatan berat badan. Selain itu pasien juga dapat mengalami keluhan gangguan genitourinaria seperti vaginal dryness dan disuria. Hasil pemeriksaan akan menunjukkan peningkatan kadar follicle-stimulating hormone (FSH) dan penurunan kadar estradiol.[8,14]
Hiperplasia Adrenal Kongenital
Hiperplasia adrenal kongenital merupakan kelainan genetik yang membuat adrenal bekerja terlalu aktif. Wanita dengan penyakit ini dapat menunjukkan ciri fisik yang lebih maskulin, hirsutisme, serta riwayat pubertas prekoks. Pada pasien ini dapat ditemukan peningkatan kadar 17-hydroxyprogesterone (17-OHP) dalam darah, penurunan kadar kortisol dan aldosterone disertai peningkatan kadar hormon androgen.[15]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diawali dengan pemeriksaan test pack untuk mengetahui adanya kehamilan. Jika hasil tes kehamilan negatif, pemeriksaan lain dilakukan untuk mengevaluasi adanya gangguan hormonal atau struktural yang mendasari amenorrhea.[1,5]
Pemeriksaan thyroid stimulating hormone (TSH) diperlukan untuk mengevaluasi gangguan tiroid. Bila kadar TSH normal, pemeriksaan dilanjutkan dengan evaluasi kadar prolaktin. Bila kadar prolaktin normal, langkah selanjutnya adalah dengan melakukan uji hormon progesteron dan estrogen serta pemeriksaan radiologi sebagai penunjang diagnosis.[1-5]
Serum Prolaktin
Pemeriksaan kadar prolaktin dilakukan untuk menilai adanya hiperprolaktinemia. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pasien berpuasa. Kadar normal prolaktin adalah < 25 µg/L pada perempuan. Peningkatan kadar prolaktin secara fisiologis dapat bersifat episodik dan labil pada sebagian orang. Oleh karena itu, kadar prolaktin <100 µg/L perlu dikonfirmasi kembali sebanyak 2 kali untuk menghindari kesalahan diagnosis.[1,16]
Uji Progesteron dan Estrogen
Uji progestin diawali dengan pemberian pil progesteron dengan dosis 10 mg, per oral 1 kali setiap harinya selama 10 hari. Metode ini diharapkan akan memicu terjadinya perdarahan atau withdrawal bleed setelah konsumsi obat dihentikan. Bila withdrawal bleed tidak terjadi, selanjutnya pasien perlu dilakukan uji estrogen-progestin.
Pasien diberikan pil kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dan progesteron selama 1 bulan. Jika pasien mengalami withdrawal bleed setelah kontrasepsi oral ini dihentikan (hasil uji positif), kelainan struktural pada endometrium dapat dieksklusikan.
Jika pasien tidak mengalami withdrawal bleed setelah uji progestin tetapi mengalaminya setelah uji estrogen-progestin, kecurigaan mengarah pada kondisi hipogonadisme dan lanjutkan pemeriksaan dengan menilai kadar FSH serta estradiol. Jika terdapat peningkatan kadar FSH dan kadar estradiol yang rendah, diagnosis mengarah pada kegagalan ovarium dalam memproduksi estrogen.
Jika kadar FSH dan estradiol rendah, diagnosis mengarah pada disfungsi hipotalamik-pituitari yang bisa disebabkan oleh stres, latihan fisik, atau infark pituitari. Jika hasil uji estrogen-progesteron negatif, pasien dicurigai mengalami kerusakan pada endometrium atau disebut Sindrom Asherman.[1]
Pencitraan
Pemeriksaan USG pelvis dapat dilakukan untuk mendeteksi massa pada ovarium, sementara USG transvaginal bermanfaat untuk menilai adanya akumulasi darah menstruasi yang terjebak dalam uterus. Selanjutnya, pemeriksaan histeroskopi dapat dilakukan untuk mengevaluasi adanya stenosis serviks. Selain itu, pemeriksaan MRI dapat dilakukan pada pasien dengan amenorrhea yang dicurigai berhubungan dengan prolaktinoma atau neoplasma otak lainnya.[1–3]