Patofisiologi Amenorrhea Sekunder
Patofisiologi amenorrhea sekunder meliputi kelainan yang terjadi pada area yang meregulasi siklus menstruasi yakni hipotalamus, pituitari, ovarium, dan uterus. Penyebab kelainan ini bersifat multifaktorial seperti gangguan hormonal, penyakit sistemik, stres, latihan fisik berlebihan, penggunaan obat-obatan, hingga pertumbuhan massa tumor.[1,3]
Fisiologi Mestruasi
Siklus menstruasi dihitung sejak hari pertama terjadinya menstruasi. Normalnya, siklus ini berlangsung sekitar 28 hari, akan tetapi dapat berkisar antara 21–35 hari. Siklus ini terdiri dari fase folikular, ovulasi, dan luteal. Siklus menstruasi dipengaruhi oleh proses kerja dari hipofisis, pituitari, dan ovarium yang selanjutnya disebut jaras HPO.[4]
Jaras Hormon dan Proses Ovulasi
Pertama-tama, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang diproduksi hipotalamus memicu pelepasan kelenjar hipofisis untuk mensintesis follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini bermanfaat dalam menginduksi estrogen dan progesteron.
Aktivasi reseptor LH menyebabkan peningkatan sintesis androgen dalam sel ovarium. Pada saat yang bersamaan, FSH mengaktivasi reseptor FSH di sel granulosa ovarium agar androgen dikonversi menjadi estrogen. Peningkatan kadar estrogen dalam tubuh menstimulasi penebalan dinding endometrium.[4]
Maturasi dinding endometrium dan tingginya kadar estrogen memberi sinyal umpan balik positif pada produksi FSH dan LH. Peningkatan signifikan dari LH atau disebut LH surge menyebabkan folikel yang telah matang mengalami ruptur dan mengeluarkan oosit atau disebut ovulasi. Ovum kemudian akan bergerak menuju tuba falopi dan siap untuk dibuahi.[4,7]
Pada fase luteal, folikel yang telah ruptur akan membentuk korpus luteum. Korpus luteum akan memproduksi progesteron serta estrogen. Kondisi ini menyebabkan dinding endometrium semakin menebal dan siap mengalami implantasi dari ovum yang telah dibuahi. Jika tidak terjadi pembuahan, kadar estrogen dan progesteron terus menurun sehingga menyebabkan dimulainya siklus menstruasi berikutnya.[4,7]
Patofisiologi Amenorrhea Sekunder
Patofisiologi amenorrhea sekunder umumnya berhubungan dengan terganggunya aksis HPO. Gangguan mekanisme kerja jaras HPO dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kehamilan, laktasi, penyakit tiroid, hiperprolaktinemia, hiperandrogenisme, hipogonadotropik hipogonadisme, dan efek alat kontrasepsi hormonal.[1,2,5]
Berbagai Mekanisme Terjadinya Amenorrhea Sekunder
Supresi produksi GnRH menyebabkan sekresi FSH dan LH oleh kelenjar pituitari anterior mengalami penurunan. Menurunnya kadar FSH dan LH berdampak pada kurangnya stimulasi pembentukan estrogen dan progesteron yang berujung pada anovulasi dan amenorrhea.[2,5,6]
Pada pasien polycystic ovarian syndrome (PCOS) yang mengalami amenorrhea, terjadi ketidakseimbangan kadar LH dan FSH. Tingginya kadar LH, androgen, dan insulin dapat mempengaruhi pertumbuhan folikel ovarium sehingga terjadi anovulasi.[2,5]
Kerusakan jaringan ovarium pada wanita berusia <40 tahun juga dapat menyebabkan penurunan jumlah atau disfungsi folikel ovarium yang disebut primary ovarian insufficiency (POI). Kondisi ini berdampak pada gangguan sintesis estrogen dan progesteron sehingga menstruasi tidak terjadi.[2,5,8]
Rusaknya jaringan endometrium atau terbentuknya jaringan parut pada dinding uterus akibat prosedur bedah seperti dilatasi dan kuretase juga dapat mengganggu siklus menstruasi. Selain itu, penyumbatan aliran keluar darah menstruasi akibat stenosis serviks juga dapat menyebabkan amenorrhea sekunder.[1,3]