Penatalaksanaan Korioamnionitis
Penatalaksanaan korioamnionitis mencakup pemberian antibiotik, ditambah dengan pemberian antipiretik. Terminasi kehamilan umumnya tidak diperlukan, tetapi dapat dipertimbangkan pada kondisi tertentu, misalnya abses otak atau perforasi intestinal.
Antibiotik Intrapartum
Pemberian antibiotik intrapartum disertai dengan pemberian antipiretik direkomendasikan, baik pada kasus suspek atau kasus korioamnionitis yang telah terkonfirmasi. Pemberian antibiotik dapat mengurangi angka kejadian bakteremia, pneumonia, dan sepsis pada neonatus.
Pemberian antibiotik intrapartum dapat menurunkan kejadian sepsis neonatorum hingga 80%. Pemberian antibiotik juga menurunkan morbiditas ibu akibat demam dan mempersingkat lama perawatan di rumah sakit.[1,6,16]
Pemberian Antibiotik pada Wanita dengan Demam Intrapartum tanpa Adanya Kriteria Klinis Korioamnionitis Lainnya
Pada kasus demam intrapartum saja, tanpa disertai kriteria klinis lain yang menunjukkan korioamnionitis, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik untuk korioamnionitis, kecuali bila diketahui terdapat sumber infeksi lain.
Hal ini dikarenakan, demam intrapartum saja juga berhubungan dengan dampak buruk bagi neonatus baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Meskipun mekanisme yang menjelaskan hal ini masih belum jelas, namun beberapa ahli mengaitkan hal ini dengan hipertermia serta perubahan laju metabolik yang terjadi yang dapat memperburuk hipoksia pada jaringan.[1]
Rekomendasi Regimen Antibiotik Utama pada Korioamnionitis
Rekomendasi regimen antibiotik utama untuk korioamnionitis adalah sebagai berikut:
Ampicillin 2 gram intravena, 4 kali sehari; ditambah gentamicin loading dose 2 mg/kgBB intravena dilanjutkan dengan dosis 1,5 mg/kgBB, 3 kali sehari; atau tanpa loading dose dengan dosis 5 mg/kgBB intravena, sekali sehari
- Regimen untuk pasien dengan alergi ringan penisilin: Cefazolin 2 gram intravena, 3 kali sehari; ditambah gentamicin loading dose 2 mg/kgBB intravena dilanjutkan dengan dosis 1,5 mg/kg BB, 3 kali sehari; atau tanpa loading dose dengan dosis 5 mg/kgBB intravena, sekali sehari
- Regimen untuk pasien dengan alergi berat penisilin: Clindamycin* 900 mg intravena, 3 kali sehari dan gentamicin loading dose 2 mg/kgBB intravena dilanjutkan dengan dosis 1,5 mg/kg BB, 3 kali sehari; atau tanpa loading dose dengan dosis 5 mg/kgBB intravena, sekali sehari
- Pada wanita yang menjalani operasi sectio caesarea, tambahkan satu dosis tambahan dari regimen yang digunakan, serta tambahkan clindamycin 900 mg intravena atau metronidazole 500 mg intravena setidaknya untuk 1 kali pemberian
- Pada wanita yang menjalani persalinan normal, antibiotik dosis tambahan tidak diperlukan, kecuali jika ada faktor maternal yang mengarahkan pada perlunya pemberian antibiotik, misalnya adanya bakteremia atau demam pada masa postpartum
*Pada wanita dengan kolonisasi Streptococcus grup B yang status resistensi antibiotiknya tidak diketahui atau terbukti resisten terhadap clindamycin, ganti clindamycin dengan vancomycin 1 gram intravena, 2 kali sehari.[1]
Rekomendasi Regimen Antibiotik Alternatif pada Korioamnionitis
Rekomendasi regimen antibiotik alternatif untuk korioamnionitis adalah sebagai berikut:
- Ampicillin-sulbactam 3 gram intravena, 4 kali sehari
Piperacillin-tazobactam 3,375 gram intravena, 4 kali sehari; atau 4,5 gram intravena, 3 kali sehari
- Cefotetan 2 gram intravena, 2 kali sehari
- Cefoxitin 2 gram intravena, 3 kali sehari
- Ertapenem 1 gram intravena, sekali sehari
- Pada wanita yang menjalani operasi sectio caesarea, tambahkan satu dosis tambahan dari regimen yang digunakan[1]
Antipiretik
Antipiretik yang disarankan adalah paracetamol 500-1000 mg yang dapat diberikan secara oral, intravena, maupun rektal, dengan dosis maksimal per hari 4 g.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan korioamnionitis yang berisiko melahirkan prematur tidak disarankan. Pemberian kortikosteroid juga harus dihindari pada wanita yang terbukti mengalami infeksi sistemik.[18]
Induksi dan Terminasi Persalinan
Induksi persalinan dapat dipertimbangkan pemberiannya pada kasus partus lama, bila tidak terdapat kontraindikasi. Korioamnionitis sendiri bukan merupakan indikasi dilakukannya persalinan secara sectio caesaria. Keputusan mengenai metode persalinan dan perlu tidaknya induksi ditentukan berdasarkan indikasi obstetri.
Penatalaksanaan Neonatal untuk Neonatus yang Lahir dengan Riwayat Korioamnionitis
Neonatus yang lahir dengan riwayat korioamnionitis berpotensi mengalami infeksi neonatorum yang dapat menyebabkan terjadinya sepsis neonatorum. Pendekatan tata laksana pada neonatus ini perlu didasarkan pada usia gestasi dan kondisi neonatus. Komunikasi antara tim obstetri dan tim neonatal sangatlah penting untuk penatalaksanaan yang sesuai.[2,16]
Neonatus tidak perlu mendapatkan tata laksana jika ibu hanya mengalami demam tanpa adanya kriteria klinis lain yang mengarahkan pada korioamnionitis.
Pada kondisi di mana korioamnionitis dicurigai, keputusan untuk memberikan tata laksana pada neonatus didasarkan pada kondisi klinis. Jika asimtomatik, neonatus cukup diobservasi tanpa perlu diberikan antibiotik, kecuali pada neonatus dengan usia gestasi <34 minggu yang perlu mendapatkan antibiotik sesegera mungkin disertai dengan kultur.
Pada kondisi di mana korioamnionitis terkonfirmasi, berikan antibiotik pada neonatus mencakup administrasi kombinasi aminoglikosida intravena dan penicillin. Contoh antibiotik yang dapat digunakan adalah gentamicin intravena 7,5 mg/kgBB, sekali sehari; ditambah dengan ampicillin intravena 50 mg/kgBB, dua kali sehari.
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja