Penatalaksanaan Retensio Plasenta
Penatalaksanaan definitif untuk retensio plasenta adalah dengan manual plasenta. Selain itu, retensio plasenta biasanya disertai dengan perdarahan aktif yang dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, sehingga perlu dilakukan tindakan resusitasi cairan. Terapi medis lain, seperti prostaglandin, asam traneksamat, nitrogliserin, dan oxytocin juga dapat diberikan untuk mengatasi perdarahan.
Penanganan Awal
Pada pasien retensio plasenta yang mengalami perdarahan hebat atau dengan gangguan hemodinamik, harus dilakukan stabilisasi hemodinamik. Tindakan resusitasi cairan harus dilakukan dengan cepat pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil atau jika diperkirakan mengalami perdarahan lebih dari 1000 mL.
Berikan oksigen sebesar 10–15 L/menit menggunakan facemask, tanpa mempertimbangkan saturasi oksigen maternal. Pasang 2 akses vena, dengan jarum berukuran 14-gauge. Lakukan infus cairan hingga 3,5 L, diawali dengan 2L cairan kristaloid isotonis yang dihangatkan, misalnya ringer laktat. Selanjutnya resusitasi cairan dapat dilakukan menggunakan kristaloid isotonis, maupun koloid, seperti gelatin suksinat.
Pertimbangkan transfusi darah jika nilai hemoglobin pasien kurang dari 6 g/dL. Target hemoglobin yang diinginkan adalah di atas 8 g/dL.[8,20,25]
Traksi Tali Pusat Terkendali
Traksi tali pusat terkendali dapat digunakan untuk melahirkan plasenta trapped atau inkarserata, serta menstimulasi terjadinya pelepasan pada plasenta adherens. Traksi tali pusat terkendali umumnya menggunakan maneuver Brandt-Andrews, yaitu dengan meletakkan satu tangan pada abdomen untuk menahan fundus uteri dan mencegah inversio uteri, serta satu tangan lainnya melakukan regangan tali pusat dengan menahan tali pusat pada klem.[6,8]
Tinjauan sistematis dari Cochrane pada tahun 2015 menemukan bahwa tindakan traksi tali pusat terkendali dapat menurunkan kebutuhan dilakukannya manual plasenta. Traksi tali pusat terkendali dapat dilakukan secara rutin pada manajemen kala 3, oleh tenaga medis yang kompeten.[26]
Intervensi Farmakologis
Beberapa intervensi farmakologis, seperti oxytocin, carboprost tromethamine, dan nitrogliserin. Pemberian obat-obatan terutama ditujukan untuk memperbaiki kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.
Injeksi Oxytocin pada Vena Umbilikal
Tinjauan sistematis Cochrane pada tahun 2021 menyatakan bahwa injeksi oxytocin pada vena umbilikal merupakan tindakan sederhana, dengan biaya rendah, yang dapat dilakukan jika plasenta tidak segera lahir. Berdasarkan tinjauan tersebut, injeksi oxytocin pada vena umbilikal dapat menurunkan kebutuhan manual plasenta.[27]
Penggunaan injeksi oxytocin vena umbilikal akan menyebabkan kontraksi retroplasenta, sehingga dapat memudahkan terjadinya separasi plasenta. Oleh sebab itu, tindakan ini terutama efektif pada plasenta adherens. Selain itu, penggunaan oxytocin juga dapat mengurangi perdarahan pada pasien.[6,8]
Hingga saat ini belum ada dosis standar yang disarankan untuk injeksi oxytocin pada vena umbilikal. Dosis oxytocin yang digunakan bervariasi, antara 10–100 IU. Volume cairan salin yang dipakai untuk dilusi juga bervariasi, antara 10–30 mL. Metode injeksi dapat dilakukan langsung pada vena umbilikalis.[28]
Selain itu, injeksi dapat dilakukan menggunakan kateter yang dipakai untuk menghisap lendir pada bayi, dengan posisi 5 cm dari insersio plasenta. Penggunaan kateter, dan dilusi oxytocin dengan cairan salin sebanyak 30 mL, terbukti lebih efektif untuk mencapai plasenta, dibandingkan injeksi langsung.[28]
Oxytocin Intravena atau Intramuskular
Penggunaan oxytocin intravena dapat diberikan pada pasien retensio plasenta, terutama dengan perdarahan hebat atau atonia uteri. Penggunaan oxytocin diharapkan akan membantu separasi plasenta, meningkatkan kontraksi uterus, dan menurunkan perdarahan. Oxytocin dapat diberikan secara intravena atau intramuskular dengan dosis 10 IU untuk mencegah perdarahan postpartum.[6,8,29]
Carboprost Tromethamine
Carboprost tromethamine merupakan prostaglandin analog F2-á dengan efek uterotonik poten dan durasi aksi yang lebih panjang. Obat diberikan pada pasien retensio plasenta dengan perdarahan hebat yang tidak membaik dengan terapi oxytocin. Injeksi carboprost tromethamine dapat diberikan intraumbilikal dengan dosis 0,5 mg yang disuspensi dalam 20 mL cairan salin normal.[6,8]
Nitrogliserin
Nitrogliserin (gliseril trinitrat) umumnya digunakan pada pasien retensio uterus yang memiliki kontraksi serviks atau segmen uterus bawah yang berlebihan dan menyebabkan sulitnya ekspulsi plasenta. Pemberian nitrogliserin dapat menginduksi relaksasi otot polos miometrium dan serviks sehingga mempermudah pengeluaran plasenta.
Nitrogliserin dapat diberikan dengan dosis dua spray (400 mikrogram per spray) di bawah lidah. Selain itu, pemberian secara injeksi intravena dapat juga diberikan dengan dosis 50 mikrogram dan maksimum dosis kumulatif 200 mikrogram. Tablet sublingual juga dapat diberikan dengan dosis 0,6–1 mg. Efek relaksasi uterus akan terjadi 1 menit setelah obat diberikan, dan akan bertahan selama 1–2 menit.[4,6,8]
Manual Plasenta
Tindakan manual plasenta merupakan terapi definitif pasien retensio plasenta. Ekspulsi plasenta akan merangsang terjadinya kontraksi uterus, sehingga perdarahan dapat berkurang.
Manual plasenta merupakan tindakan yang menyebabkan rasa nyeri, sehingga anestesi umumnya diperlukan. Anestesi regional, seperti anestesi spinal, lebih disarankan dibandingkan anestesi umum karena meminimalisir risiko kegagalan intubasi. Akan tetapi, apabila pasien memiliki hemodinamik tidak stabil dan perdarahan hebat, maka anestesi umum lebih disarankan.
Tindakan manual plasenta dapat meningkatkan risiko endometritis. Oleh karena itu, antibiotik profilaksis spektrum luas sebaiknya diberikan. Antibiotik spektrum luas yang direkomendasikan adalah ampicillin dan clindamycin dosis tunggal. Apabila pembukaan serviks terlalu kecil untuk tangan klinisi, maka pemberian nitrogliserin dapat diberikan.[4,6,8]
Teknik
Tindakan manual plasenta dilakukan apabila traksi tali pusat terkendali dan terapi farmakologis gagal melahirkan plasenta. Tindakan ini dilakukan dengan tangan klinisi menelusuri korda umbilikalis untuk mengidentifikasi letak dan ujung plasenta dengan uterus. Pelepasan plasenta dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan dengan gerak dari sisi ke sisi. Tangan lainnya sebaiknya diletakkan pada fundus uterus untuk mencegah terjadinya perforasi uterus.
Jika pelepasan plasenta tidak dapat dicapai, atau hanya sebagian plasenta yang terlepas, maka diperlukan kuretase. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan aktif meskipun plasenta telah dilahirkan, juga mungkin perlu dilakukan kuretase.[4,6,8]
Ekstraksi Instrumen
Apabila tindakan manual plasenta tidak berhasil, maka penggunaan forseps kepala besar, seperti forseps Bierer dan forseps cincin, dapat dilakukan. Tindakan dapat dilakukan dengan cara forseps menggenggam dan melepaskan plasenta dari dinding uterus. Ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk membantu saat melakukan tindakan ini.[4,8]
Histerektomi
Histerektomi merupakan tindakan terakhir yang dapat dilakukan pada pasien retensio plasenta. Tindakan histerektomi ini dilakukan jika plasenta tetap tidak dapat dilahirkan, meskipun telah dilakukan manual plasenta maupun ekstraksi instrumen. Biasanya histerektomi diindikasikan pada retensio akibat plasenta akreta.[6,8,10]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra