Diagnosis Ruptur Uteri
Diagnosis dari ruptur uteri perlu dicurigai pada ibu hamil yang mengeluhkan nyeri abdomen dengan sensasi ripping. Ruptur uteri juga bisa menyebabkan penurunan gerakan janin dan perdarahan per vaginam. Ibu umumnya bisa melihat perubahan bentuk uterus yang nyata pada dinding abdomen.[1,5]
Anamnesis
Pasien ruptur uteri umumnya datang sudah mengalami gangguan hemodinamik akibat perdarahan, sehingga akan mengalami gejala seperti lightheadedness, pusing, mual, muntah, keringat dingin, dan ansietas. Selain itu, biasanya pasien mengalami disertai keluhan seperti perdarahan pervaginam dan nyeri akut pada abdomen disertai sensasi ripping.
Pasien bisa mengeluhkan nyeri dada atau ujung bahu apabila darah telah memasuki rongga peritoneum. Nyeri juga bisa dirasakan di suprapubik bila ada keterlibatan kandung kemih.
Apabila setelah dilakukan penilaian awal dan secara hemodinamik pasien cukup stabil, maka pada anamnesis dapat ditanyakan secara singkat mengenai faktor-faktor yang mungkin menjadi pencetus dari terjadinya ruptur uteri. Ini mencakup riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat operasi rahim seperti miomektomi atau sectio caesarea, serta riwayat trauma.[1]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dinilai 2 kondisi yakni kondisi ibu dan kondisi janin.[1,6]
Pemeriksaan Fisik pada Ibu Hamil
Sama halnya dengan anamnesis, pemeriksaan fisik pada kondisi ruptur uteri perlu dilakukan secara cepat dan tepat agar tidak menunda penanganan pada pasien. Pemeriksaan fisik pada ibu dimulai dari tanda-tanda vital sebagai indikator dari ketidakstabilan hemodinamik akibat syok hipovolemik. Selanjutnya, dapat dilakukan dilakukan beberapa pemeriksaan berikut.[1,6]
Palpasi Abdomen:
Pada palpasi abdomen bisa didapatkan nyeri tekan terlokalisir, serta bentuk uterus berubah yang ditandai dengan Bandl’s ring yang merupakan cincin retraksi patologis yang terbentuk karena penipisan segmen bawah uterus dengan penebalan dan retraksi segmen atas uterus.
Dokter juga bisa merasakan perubahan pola kontraksi, dengan amplitudo menurun atau bahkan tidak ada kontraksi sama sekali. Pada pemeriksaan Leopold, bagian janin mungkin sulit teraba atau teraba berada di luar uterus.
Pemeriksaan Rongga Vagina:
Jika dilakukan pemeriksaan dalam atau Vaginal Touche, bisa didapatkan adanya darah segar atau bekuan darah. Meski begitu, temuan ini tidak selalu muncul kecuali robekan uterus sampai ke vagina atau serviks.
Selain itu, pada pemeriksaan vagina juga dapat diidentifikasi hilangnya presentasi janin atau pergerakan dari presentasi janin yang menuju rongga perut. Hal ini dapat terjadi apabila sebagian tubuh janin masuk ke rongga peritoneum.[1,6]
Pemeriksaan pada Janin
Pemeriksaan pada janin dapat melalui bantuan Fetal Doppler untuk menilai denyut jantung atau melalui bantuan pemeriksaan Cardiotocography (CTG). Pemeriksaan denyut jantung janin adalah indikator paling sensitif untuk menilai maternal end organ perfusion.
Penurunan aliran darah ke janin dapat ditandai dengan bradikardia dan deselerasi lambat. Apabila kondisi cukup parah, denyut jantung janin tidak ada sama sekali, yang mana harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan lanjutan seperti ultrasonografi.[1]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding ruptur uteri adalah kegawatdaruratan obstetrik lain dengan gejala nyeri abdomen dan perdarahan pervaginam. Ini mencakup abrupsio plasenta, atonia uteri, dan plasenta previa.[1]
Abrupsio Plasenta
Abrupsio plasenta adalah kondisi lepasnya plasenta secara prematur sebelum persalinan terjadi. Abrupsio plasenta pada umumnya terjadi pada wanita hamil berusia di atas 20 minggu dan ditandai dengan gejala klasik seperti perdarahan pervaginam dengan onset cepat, nyeri perut atau punggung bawah, disertai kontraksi uterus dengan frekuensi tinggi.
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh trauma abdomen. Cara membedakan abrupsio plasenta dari ruptur uteri adalah melalui ultrasonografi.[12]
Atonia Uteri
Atonia uteri adalah kondisi dimana korpus uteri tidak berkontraksi secara adekuat. Biasanya kondisi ini ditandai dengan adanya perdarahan yang terjadi segera setelah bayi lahir, disertai dengan uterus yang tidak berkontraksi dan konsistensi uterus lembek.
Atonia uteri bisa disebabkan oleh persalinan lama, distensi uterus akibat polihidramnion, gestasi multi-fetal, dan bayi makrosomia. Pada atonia uteri, gejala dapat membaik dengan pemberian uterotonika.[13]
Plasenta Previa
Plasenta previa adalah kondisi plasenta yang berimplantasi menutupi ostium internum serviks sehingga menutupi jalan lahir. Kondisi ini berisiko untuk menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Hampir sebagian besar kasus berhasil terdiagnosis pada awal kehamilan melalui pemeriksaan USG. Plasenta previa ditandai dengan adanya perdarahan pervaginam, tanpa disertai rasa nyeri.[14]
Pemeriksaan Penunjang
Pada ruptur uteri, pemeriksaan penunjang tidak diwajibkan untuk dilakukan apabila dapat menyebabkan penundaan pada penanganan pasien. Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan secara cepat dan simultan yakni pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit dan golongan darah untuk mempersiapkan transfusi.
USG dapat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti abrupsio plasenta dan plasenta previa. Temuan yang didapatkan pada kasus ruptur uteri melalui pemeriksaan USG yakni abnormalitas pada dinding uterus, hematoma pada area sekitar luka robekan, cairan bebas pada peritoneum, anhidramnion, dan bagian fetus yang berada di luar uterus.[1,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Ida Bagus Nugraha