Penatalaksanaan Ruptur Uteri
Penatalaksanaan kasus ruptur uteri dimulai dengan stabilisasi hemodinamik pasien. Selanjutnya, perlu dilakukan penatalaksanaan definitif dengan sectio caesarea dan repair ruptur uteri atau histerektomi.[1,3,15]
Resusitasi
Pada sebagian besar kasus ruptur uteri, kondisi ibu yang datang ke fasilitas kesehatan kemungkinan besar sudah mengalami syok hipovolemik yang ditandai dengan takikardia, penurunan tekanan darah, berkeringat, dan perfusi perifer buruk akibat kehilangan darah atau blood loss.
Berikan pasien oksigen suplemental dan pasang jalur intravena dengan menggunakan jarum besar ukuran 14-16G untuk resusitasi. Mulai pemberian cairan dengan kristaloid berupa cairan salin normal atau Ringer laktat sebagai volume replacement. Lakukan pengambilan sampel darah untuk dilakukan pemeriksaan dan persiapan transfusi darah.
Pasang kateter urin untuk memantau urine output. Produksi urin normal adalah 0,5-1 ml/kg/jam atau sekitar 30 ml/jam. Pantau terus tanda-tanda vital ibu, sembari mempersiapkan pasien untuk masuk ke ruang operasi untuk menjalani tindakan pembedahan.[1,15,16]
Pembedahan
Tindakan operasi merupakan terapi definitif dari ruptur uteri. Tindakan operatif yang dilakukan yakni operasi sectio caesarea pada ibu hamil, diikuti dengan tindakan repair atau histerektomi.
Tindakan sectio caesaria segera dilaksanakan setidaknya 10-37 menit setelah diagnosis ruptur uteri ditegakkan. Setelah janin berhasil dilahirkan, maka selanjutnya perlu dipertimbangkan terapi pembedahan lanjutan. Pemilihan tindakan pembedahan selanjutnya disesuaikan dengan luasnya ruptur uteri, derajat perdarahan, kondisi umum ibu, dan keinginan ibu untuk hamil di masa mendatang.[5]
Repair Ruptur
Tindakan operasi berupa repair ruptur lebih dipilih terutama pada keadaan dimana pasien masih memiliki keinginan untuk hamil lagi, kasus low transverse uterine rupture, robekan tidak sampai ke broad ligament, serviks, atau paracolpos, perdarahan uterus mudah dikontrol, dan tidak ada tanda koagulopati secara klinis maupun laboratorium.
Dilaporkan bahwa 83% pasien berespon baik dengan tindakan repair ruptur. Namun, tindakan ini memiliki kemungkinan ruptur ulang dengan insidensi 4,3-19%.[1,5]
Histerektomi
Tindakan histerektomi dipilih pada keadaan dimana robekan uteri berjumlah multipel, robekkan mencapai broad ligament/ longitudinal/ low lying atau sangat ekstensif atau jika terjadi perdarahan yang sulit dikontrol. Diperkirakan 1 dari 3 wanita yang mengalami ruptur uteri perlu menjalani histerektomi.[1,5]
Monitoring Pasca Pembedahan
Pasca pembedahan, penilaian dan observasi kondisi pasien secara ketat akan terus dilakukan, yakni dengan memantau stabilitas hemodinamik, keseimbangan asam-basa dalam darah, dan risiko koagulasi. Apabila perdarahan yang dialami pasien cukup berat, ditandai dengan peningkatan kadar laktat darah > 2 mmol/L, maka pemberian vasopresor direkomendasikan, dan pasien sebaiknya dirawat di intensive care unit (ICU).[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Ida Bagus Nugraha