Edukasi dan Promosi Kesehatan Servisitis
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai servisitis adalah pentingnya terapi antimikroba sesuai dengan patogen penyebab. Jika penyebab servisitis adalah etiologi non-infeksi, maka pasien perlu diedukasi untuk menghilangkan bahan iritan yang dicurigai menimbulkan servisitis.[1,6,15]
Edukasi Pasien
Pasien perlu diedukasi bahwa servisitis adalah penyakit yang dapat dicegah dengan menghindari aktivitas seksual dengan pasangan yang terinfeksi. Idealnya, kedua pasangan seksual melakukan pemeriksaan infeksi menular seksual, termasuk pemeriksaan HIV, sebelum melakukan hubungan seksual. Jika risiko infeksi tidak dapat diketahui dari pemeriksaan, kondom harus digunakan dalam praktik hubungan seksual.[1,6,15]
Pasien perlu diedukasi bahwa reinfeksi setelah sembuh bisa terjadi kembali jika pasangan seksual belum diterapi. Oleh karena itu, semua pasangan seksual pasien dalam 60 hari terakhir perlu dihimbau untuk melakukan evaluasi, tes, dan diberikan terapi presumptif dengan pilihan regimen yang sama dengan pasien.
Untuk mencegah transmisi dan reinfeksi, pasien yang telah diterapi dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seksual hingga pasien dan pasangan seksualnya selesai terapi dan sudah terjadi resolusi gejala.[1,2]
Pasien yang mendapatkan terapi metronidazole atau tinidazole perlu diedukasi untuk tidak minum alkohol selama terapi hingga 24 jam setelah selesai terapi metronidazole atau 72 jam setelah selesai terapi tinidazole. Jika pasien sedang menyusui, maka dihimbau untuk tidak menyusui selama terapi hingga 12-24 jam setelah terapi metronidazole selesai atau 3 hari setelah terapi tinidazole.[6,10]
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit melibatkan berbagai sektor serta dukungan dari pemerintah, antara lain promosi kesehatan mengenai servisitis melalui iklan layanan masyarakat, kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko, serta edukasi kesehatan seksual bagi remaja dan dewasa muda, Skrining rutin tahunan terhadap infeksi gonorrhea dan chlamydia direkomendasikan pada populasi berisiko tinggi.
Masyarakat perlu berperan serta dalam berperilaku hidup sehat dengan menghindari perilaku seksual dan non-seksual berisiko, serta mengupayakan ketahanan keluarga. Secara umum, pencegahan dapat dilakukan dengan konsep “ABCDE”:
Abstinence: tidak melakukan hubungan seksual
Be faithful: setia dengan pasangan, hanya berhubungan seksual dengan pasangan tetap yang diketahui tidak menderita infeksi menular seksual
Condom use: menggunakan kondom sebagai perlindungan terhadap infeksi menular seksual
Don’t use Drug: menghindari penyalahgunaan obat atau zat adiktif, yang merupakan salah satu faktor risiko servisitis (populasi berisiko)
Education: meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi dan promosi kesehatan[1,6,15]
Vaksinasi
Hingga saat ini belum ada vaksin yang disetujui Food and Drug Administration (FDA) untuk infeksi gonorrhea, chlamydia, herpes simpleks, dan trichomoniasis. Di sisi lain, infeksi serviks oleh Human papilloma virus (HPV) dapat dicegah dengan vaksin HPV.
Vaksin HPV direkomendasikan pada usia 11-12 tahun sebanyak 2 dosis dengan selisih waktu pemberian 6-12 bulan. Pada individu usia ≥15 tahun yang belum pernah mendapat vaksin HPV, vaksin diberikan sebanyak 3 dosis, dengan dosis kedua diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua.
Vaksinasi yang baru dilakukan setelah umur 26 tahun tidak banyak memberikan manfaat karena pasien kemungkinan sudah terpapar HPV.[1,9]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani