Penatalaksanaan Servisitis
Penatalaksanaan utama servisitis adalah pemberian terapi antimikroba. Terapi antimikroba diberikan sebagai terapi empirik presumtif atau sebagai terapi spesifik sesuai dengan agen infeksius yang telah teridentifikasi.[1,2]
Terapi Empirik Presumtif
Terapi empirik presumtif direkomendasikan pada pasien servisitis dengan risiko tinggi infeksi menular seksual, termasuk wanita usia <25 tahun yang aktif secara seksual, wanita dengan pasangan seksual baru, pasangan multipel, atau berganti-berganti, dan pasangan seksual yang menderita infeksi menular seksual. Terapi empirik juga direkomendasikan pada pasien servisitis dengan etiologi yang tidak teridentifikasi.
Pada pasien servisitis dengan risiko infeksi menular seksual yang rendah, terapi dapat ditunda hingga ada hasil pemeriksaan diagnosis pasti, yakni organisme patogen teridentifikasi dengan pemeriksaan laboratorium.[1,2]
Pilihan Terapi Empirik Presumtif
Pilihan terapi empirik presumtif yang direkomendasikan yaitu azithromycin 1 gr dosis tunggal per oral atau doxycycline 100 mg 2 kali sehari per oral selama 7 hari. Terapi gonore perlu ditambahkan jika pasien memiliki risiko gonore atau tinggal di daerah dengan prevalensi gonore yang tinggi. Terapi yang ditambahkan yaitu cefixime 800 mg dosis tunggal per oral atau injeksi ceftriaxone intramuskular 250 mg dosis tunggal.[1,2]
Terapi Sesuai Agen Kausal
Jika agen kausal telah teridentifikasi, terapi dapat diberikan sebagai berikut.[1,6]
Chlamydia
Pada kasus servisitis terkait Chlamydia trachomatis, diberikan azithromycin 1 gr dosis tunggal per oral atau doxycycline 100 mg 2 kali sehari selama 7 hari.
Terapi alternatif lain yaitu erythromycin base 500 mg 4 kali sehari per oral selama 7 hari, atau erythromycin ethylsuccinate 800 mg 4 kali sehari per oral selama 7 hari. Pilihan lain adalah levofloxacin 500 mg 1 kali sehari per oral selama 7 hari, atau ofloxacin 300 mg 2 kali sehari selama 7 hari.[1,2]
Gonorrhea
Pada kasus infeksi Neisseria gonorrhoea, dapat diberikan injeksi ceftriaxone intramuskular 250 mg ditambah azithromycin 1 gr dosis tunggal per oral atau doxycycline 100 mg 2 kali sehari per oral selama 7 hari.
Pada pasien dengan alergi berat terhadap sefalosporin, dapat diberikan azithromycin 2 gr dosis tunggal per oral dan dilakukan tes konfirmasi kesembuhan 1 minggu kemudian.[1,2]
Trikomoniasis
Pada kasus trichomoniasis, diberikan tinidazole atau metronidazole 2 gr dosis tunggal per oral. Terapi alternatif dapat diberikan metronidazole 500 mg 2 kali sehari per oral selama 7 hari.[1,2]
Infeksi Herpes Simplex Virus
Pada infeksi herpes simplex virus (HSV), diberikan acyclovir 400 mg 3 kali sehari per oral selama 7-10 hari.[1,2]
Mycoplasma genitalium
Pada infeksi M. genitalium, diberikan azithromycin 1 gr dosis tunggal per oral. Terapi alternatif jika gagal dengan azithromycin adalah moxifloxacin 400 mg dosis tunggal.[1,2]
Vaginosis Bakterial
Pada kasus yang berkaitan dengan vaginosis bakterial, diberikan metronidazole 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari, atau metronidazole gel 0,75% intravagina sekali sehari selama 5 hari.[1,2]
Rawat Inap
Rawat inap diindikasikan pada pasien dengan pelvic inflammatory disease (PID), abses tubo-ovari, tidak dapat minum obat oral, gagal terapi rawat jalan, sedang hamil, status immunocompromise, atau diagnosis tidak dapat dipastikan dimana appendicitis dan kehamilan ektopik terganggu tidak dapat dieksklusi. Perawatan dan monitor intensif serta medikasi parenteral diperlukan jika terjadi penyebaran infeksi.[1,6]
Follow Up
Tes konfirmasi kesembuhan umumnya tidak diperlukan. Namun pada ibu hamil, gejala yang menetap, curiga reinfeksi, dan kepatuhan pasien terhadap terapi yang tidak terjamin, tes ulang perlu dilakukan 3-4 minggu setelah selesai terapi.
Pada pasien servisitis chlamydia atau servisitis gonokokus dengan gejala menetap, tes ulang dilakukan 3-6 bulan setelah terapi awal tanpa melihat status terapi pada pasangan seksual pasien. Pada pasien servisitis yang disebabkan T. vaginalis, tes ulang perlu dilakukan 3 bulan setelah terapi karena tingginya risiko reinfeksi.
Pada kasus gagal terapi, perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan antimikroba.[1,6]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani