Epidemiologi Vulvitis
Data epidemiologi menunjukkan bahwa vulvitis dermatitis adalah penyebab vulvitis yang paling banyak.[3]
Global
Secara global, dermatitis merupakan penyebab vulvitis paling banyak di wanita usia dewasa maupun anak-anak. Pada wanita dewasa, dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan dapat ditemukan pada 50% kasus pruritus vulva. Vulvitis kronis yang dialami wanita prapubertas tanpa disertai vaginitis, biasanya diakibatkan oleh dermatitis atopik.[3,14]
Pada wanita usia reproduktif, vulvitis infeksi paling banyak disebabkan oleh Candida sp.. Pada wanita prapubertas, vulvitis infeksi paling banyak disebabkan oleh grup A beta hemolitikus Streptococcus (GABHS) atau cukup sering juga akibat Haemophillus influenzae dan Shigella sp.[3]
Vulvitis lichen sclerosus lebih sering terjadi pada wanita pasca menopause dan meningkatkan risiko malignansi pada vulva. Sekitar 15% vulvitis kronis pada anak-anak disebabkan oleh lichen sclerosis. Prevalensi vulvitis lichen sclerosus pada usia pramenarche mencapai 1 per 900 wanita.[4,13]
Vulvitis sel plasma merupakan kasus vulvitis yang jarang ditemukan. Pasien vulvitis sel plasma biasanya wanita usia 26-70 tahun, lebih banyak di usia pasca menopause.[9,16]
Indonesia
Belum ada data mengenai epidemiologi vulvitis di Indonesia.
Mortalitas
Tidak ada hubungan vulvitis lichen sclerosus dengan peningkatan risiko mortalitas seseorang, kecuali lesi berkembang menjadi malignansi. Seorang pasien vulvitis lichen sclerosus memiliki risiko berubahnya lesi menjadi karsinoma sel skuamosa vulva sebesar 2-5%. Risiko tersebut dipengaruhi oleh durasi mengalami vulvitis lichen sclerosus.[5,9]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja