Epidemiologi Astigmatisme
Prevalensi astigmatisme atau mata silinder pada populasi secara umum bervariasi, antara 7,6‒61,7%. Angka lebih tinggi pada individu berusia lanjut ≥70 tahun.[10]
Global
Berdasarkan meta analisis estimasi prevalensi gabungan (estimated pooled prevalence/EPP) astigmatisme adalah 14,9% pada anak dan 40,4% pada dewasa. Prevalensi astigmatisme pada anak dilaporkan terendah di Asia Tenggara (9,7%), dan tertinggi di Amerika (27,2%) dan Mediterania Timur (20,4%). Pada dewasa, prevalensi astigmatisme di Asia Tenggara dilaporkan sebesar 44,78%.[11]
Prevalensi astigmatisme lazim (with-the-rule) lebih tinggi pada populasi usia muda (≤40 tahun), sedangkan prevalensi astigmatisme tidak lazim (against-the-rule) dan astigmatisme oblik meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Astigmatisme <1,5 D memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan astigmatisme ≥1,5 D.[12]
Indonesia
Belum terdapat data nasional mengenai prevalensi astigmatisme di Indonesia. Namun, terdapat studi di Sumatera yang melaporkan prevalensi astigmatisme pada usia dewasa sebesar 47,2%. Selain itu, terdapat studi di Sumba yang melaporkan prevalensi sebesar 2,2%.[13,14]
Mortalitas
Kondisi gangguan refraksi astigmatisme tidak menyebabkan langsung kematian. Namun, morbiditas kondisi ini signifikan terutama pada astigmatisme >2,00 D, dan pada populasi anak.
Studi menyebutkan bahwa astigmatisme >2,00 D yang tidak dikoreksi pada balita dapat dikaitkan dengan performa yang lebih buruk pada tugas kognitif, bahasa, dan motorik halus.[12]
Astigmatisme pada dewasa juga dapat menyebabkan penurunan kualitas penglihatan, peningkatan tingkat silau, lingkaran cahaya (halos), kesulitan mengemudi di malam hari, risiko jatuh (terutama dengan astigmatisme oblik), dan ketergantungan terhadap penggunaan kacamata yang menyebabkan penurunan kualitas hidup.[10]