Diagnosis Cedera Mata
Diagnosis pada cedera mata atau trauma mata didapat secara klinis dari manifestasi yang timbul dari trauma mekanik dan non mekanik ke mata, yang menyebabkan gangguan struktural dan fungsional mata. Cedera mata diklasifikasikan menjadi cedera mata terbuka (open globe injury), cedera mata tertutup (closed globe injury), dan cedera periokular.[38,39]
Pemeriksaan penunjang pada cedera mata dilakukan untuk melihat gangguan struktur dan fungsi mata akibat trauma. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standard pada cedera mata adalah CT scan.
Klasifikasi Cedera Mata
Cedera mata diklasifikasikan menjadi cedera mata akibat trauma mekanik dan non-mekanik.
Klasifikasi Cedera Mata akibat Trauma Mekanik
Cedera mata mekanik selanjutnya diklasifikasikan menjadi cedera mata terbuka (open globe injury), cedera mata tertutup (closed globe injury), dan cedera periokular.
Cedera Mata Terbuka (Open Globe Injury):
Cedera mata terbuka (open globe injury) adalah cedera mata yang menyebabkan defek struktural pada seluruh ketebalan dinding sklera dan kornea. Berdasarkan mekanismenya, cedera mata terbuka dibagi lagi menjadi 2, yaitu ruptur bola mata dan laserasi akibat penetrasi benda asing.[38]
Perbedaan ruptur bola mata dan laserasi akibat penetrasi benda asing adalah ruptur bola mata juga merupakan trauma terbuka yang menembus ketebalan bola mata, namun disebabkan oleh trauma tumpul, sedangkan laserasi akibat benda asing disebabkan oleh benda tajam.[38]
Cedera Mata Tertutup (Closed Globe Injury):
Cedera mata tertutup (closed globe injury) adalah cedera yang menyebabkan defek struktural, namun tidak menembus seluruh ketebalan mata. Cedera mata tertutup ini kemudian juga dapat dibagi menurut manifestasi klinisnya, yaitu laserasi lamelar dan kontusio.[38]
Laserasi lamelar juga membentuk luka terbuka, namun tidak melibatkan seluruh ketebalan dinding bola mata, sedangkan kontusi tidak membentuk luka terbuka pada bola mata. Laserasi lamelar kemudian dibagi lagi menjadi 3, yaitu laserasi konjungtiva, laserasi parsial sklera, dan laserasi parsial kornea.[38,39]
Cedera mata tertutup seringkali menyebabkan abrasi konjungtiva (defek di epitel konjungtiva), abrasi kornea (defek di epitel kornea), hifema, iritis traumatik (inflamasi pada iris karena trauma), midriasis traumatik (dilatasi pupil karena kerusakan sfingter pupil), dislokasi lensa, perdarahan vitreus, traumatik retinopati, dan ablatio retina.[38]
Cedera Periokular:
Cedera periokular dibagi menjadi cedera preseptal dan cedera orbita yang meliputi bagian orbital yang lebih dalam. Cedera preseptal meliputi struktur anatomis pada area preseptal, yaitu bulu mata, palpebra, kelenjar meibomian, sistem nasolakrimal, dan otot orbikularis okuli. Cedera orbita yang meliputi bagian orbital yang lebih dalam melibatkan tulang orbita, lemak, otot-otot ekstraokular, saraf dan pembuluh darah intraorbital.[38,39]
Cedera orbita dapat dibagi menjadi fraktur orbita atau cedera akibat benda asing, sindrom kompartemen orbital, atau kerusakan saraf optik yang terjadi akibat trauma.[38,39]
Klasifikasi Derajat Cedera Mata akibat Trauma Kimia
Di Indonesia, penentuan derajat luka pada cedera kimia ditentukan dengan klasifikasi Roper-Hall, yaitu sebagai berikut:
- Derajat I: kerusakan kornea hanya sebatas pada lapisan epitel dan tidak ada iskemia limbus
- Derajat II: kornea menjadi seperti berkabut, namun kamera okuli anterior dan struktur detail iris masih bisa terlihat; disertai iskemia kurang dari ⅓ limbus
- Derajat III: lapisan epitel hilang semua, lapisan stroma kornea menjadi berkabut sampai struktur detail iris terhalang; disertai iskemia ⅓ sampai ½ limbus
- Derajat IV: kornea menjadi opak, iris dan pupil tidak dapat terlihat; disertai iskemia lebih dari ½ limbus[43]
Anamnesis
Anamnesis pada cedera mata dibagi menjadi anamnesis pada trauma mekanik dan non mekanik, sehingga akan lebih baik apabila anamnesis diawali dengan membedakan penyebab cedera mata. Pasien dengan cedera mata mekanik, perlu ditanyakan mengenai onset trauma, mekanisme, dan adanya benda asing yang masuk ke bola mata.[18]
Selain itu, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat kelainan pada mata, riwayat konsumsi obat-obatan tertentu, riwayat imunisasi tetanus, dan riwayat alergi, juga perlu ditanyakan karena akan mempengaruhi tatalaksana.[18]
Pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri dengan derajat yang bervariasi, fotofobia, floaters, penurunan penglihatan dan/ atau pandangan kabur, serta diplopia bila sudah ada keterlibatan otot-otot ekstraokular. Keluhan lain dapat berupa rasa mengganjal di mata, mata merah dan rasa terbakar.[19]
Pada cedera yang disebabkan oleh bahan kimia, jenis bahan kimia yang menyebabkan cedera mata sebaiknya digali, misalnya dengan menunjukkan botol bahan kimia. Waktu dan durasi pajanan, gejala yang timbul segera setelah pajanan, serta penatalaksanaan yang telah diberikan di tempat kejadian juga perlu ditanyakan.[19]
Keluhan pada cedera mata akibat bahan kimia biasanya meliputi penurunan penglihatan, nyeri sedang sampai berat pada mata, tidak dapat membuka kelopak mata atau blefarospasme, hiperemi konjungtiva, dan fotofobia.[44]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada cedera mata diawali dengan memeriksa keadaan umum dan tanda vital seperti kasus trauma pada umumnya. Apabila terdapat kelainan sistemik dan hemodinamik, stabilisasi hemodinamik dilakukan terlebih dahulu.[2,9,10]
Pemeriksaan oftalmologi pada pasien trauma dimulai dari pemeriksaan ketajaman visus dan lapang pandang, kemudian dilanjutkan dengan inspeksi menggunakan slit lamp untuk melihat bagian anterior mata (bila tidak ada slip lamp dapat menggunakan lup) untuk mengidentifikasi luka, termasuk kedalaman dan ukuran luka.[2,9,10,39]
Pemeriksaan bagian anterior bola mata dilakukan secara sistematis dari bagian luar dimulai dari bagian periorbita dan kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea, bilik mata depan, pupil (kesimetrisan, bentuk, dan tepi yang reguler atau ireguler), iris, dan lensa.[2,9,10]
Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan melihat segmen posterior bola mata dengan funduscopy dan penilaian posisi serta pergerakan bola mata.[2,9,10]
Pemeriksaan segmen posterior dapat dilakukan dengan oftalmoskop untuk melihat kejernihan vitreous humor dan memeriksa fundus. Pemeriksaan gerakan bola mata juga penting dilakukan untuk menilai otot-otot ekstraokular. Selain itu, tekanan intraokular (TIO) dapat dinilai dengan tonometri. Indikasi kegawatdaruratan pada cedera mata, antara lain ketajaman visual awal kurang dari 20/200, adanya hifema, bentuk pupil dan uvea yang abnormal.[2,9,10]
Pemeriksaan Fisik pada Cedera Mata Akibat Trauma Kimia
Pemeriksaan fisik pada trauma kimia idealnya dilakukan setelah irigasi mata sampai didapatkan pH netral. Pengecekan pH dilakukan dengan kertas lakmus setelah irigasi 30 menit. Selanjutnya, pemeriksaan fisik mata dilakukan dengan melihat kejernihan, integritas kornea, iskemia limbus dan tekanan intraokular.[2]
Pada cedera mata yang disebabkan oleh bahan kimia, bentuk kornea dapat bervariasi dari jernih, defek epitel kornea, keratitis pungtata sampai kerusakan seluruh epitel, dan perforasi kornea. Hal ini juga dapat menyebabkan penurunan visus. Pada pemeriksaan konjungtiva dan sklera dapat ditemukan inflamasi konjungtiva dan iskemia perilimbus.[2]
Pada bilik mata depan dapat dijumpai adanya flare dan cells, yang menunjukkan adanya reaksi inflamasi pada bilik mata depan (temuan ini biasa terjadi pada trauma basa dan biasanya menandakan penetrasi yang lebih dalam).[2]
Pada cedera kimia, dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular akibat fibrosis anyaman trabekular dan debris inflamasi yang terjebak di dalamnya, serta kerusakan/jaringan parut akibat inflamasi konjungtiva dan rusaknya sel goblet.[12]
Pemeriksaan Fisik pada Cedera Mata Akibat Trauma Mekanik
Pemeriksaan fisik terkait cedera mata akibat trauma mekanik dilakukan untuk mengidentifikasi jenis cedera mata, apakah merupakan cedera mata terbuka (open globe injury), cedera mata tertutup (closed globe injury), atau cedera periokular.[38]
Pada cedera mata terbuka, pemeriksaan fisik dengan eversi kelopak mata, pengukuran tekanan intraokular dengan tonometri, tetes mata untuk tujuan diagnostik (misalnya fluorescein), serta tetes mata anestesi (seperti tetracaine), menarik benda asing yang penetrasi harus dihindari.[38]
Teknik eversi kelopak mata dan pengukuran tekanan bola mata dengan tonometri merupakan manuver yang menekan mata. Adanya hifema, glaukoma traumatik, dan sindrom kompartemen mata dapat menyebabkan peningkatan TIO.[38,40]
Pada cedera mata mekanik, gejala klinis yang sering muncul adalah ruptur bola mata dan hematoma retrobulbar. Keluhan khas ruptur bola mata antara lain adalah kelainan bentuk mata, mata merah yang disertai nyeri, dan kehilangan penglihatan, meskipun tidak selalu tampak pada awal pemeriksaan.[10]
Ruptur bola mata biasanya terjadi pada bagian sklera yang paling tipis, yaitu pada area limbus atau di belakang insersi otot rektus. Ruptur pada area limbus, biasanya dapat dilihat secara langsung atau dengan slit lamp. Ruptur di belakang insersi otot rektus tidak dapat dilihat langsung, tapi dapat dilihat dari pemeriksaan pergerakan bola mata yang gerakannya menjadi turun, hilangnya red reflex, dan perdarahan vitreus.[39]
Hilangnya red reflex pada pemeriksaan dengan oftalmoskop, dapat pula menunjukkan adanya ablasio retina serta perdarahan vitreus. Ablatio retina dapat sejawat sekalian identifikasi seperti gambar 2 dan dapat ditemukan kelainan pada pemeriksaan lapang pandang.[38]
Pada kasus hematoma retrobulbar tanda yang sering muncul, antara lain nyeri yang berat, kesulitan membuka mata, kehilangan penglihatan, dan proptosis. Pada bagian periorbita, dapat ditemukan ekimosis dan hematoma.[10]
Manifestasi klinis cedera mekanik mata yang paling mengancam penglihatan adalah fraktur orbita, sindrom kompartemen orbita, dan traumatic optic neuropathy (TON).
Fraktur Orbita:
Fraktur orbita seringkali terjadi karena trauma tumpul, dan bagian yang sering terkena adalah lantai dan dinding medial orbita. Lantai orbita dibentuk oleh tulang maxilla, zygomatic, dan palatina. Bagian ini bersebelahan dengan nervus infraorbitalis, muskulus rektus inferior dan jaringan sekitarnya.[40]
Sesuai ototnya, maka fraktur di lantai orbita akan “menjebak” muskulus rektus inferior, sehingga mata sulit digerakkan secara vertikal serta adanya keluhan diplopia. Sedangkan apabila nervus infraorbita terjepit, akan mengganggu sensasi sensorik di bagian rima inferior orbita sisi yang sama dan bibir atas.[40]
Dinding medial orbita dibentuk oleh tulang maxilla bagian frontal, tulang lakrimalis, tulang ethmoid, dan corpus sphenoid. Tulang-tulang ini bersebelahan dengan muskulus rektus medialis. Sesuai fungsinya, maka pergerakan mata horizontal akan lebih sulit. Selain itu, karena strukturnya juga bersebelahan dengan sistem nasolakrimal dan medial canthal tendon, seringkali pasien datang dengan sekret berair yang banyak dari mata atau epifora.[40]
Sindrom Kompartemen Orbita:
Sindrom kompartemen orbita terjadi apabila ada penekanan karena perdarahan akut ataupun edema, yang menyebabkan peningkatan tekanan intraorbita dan intraokular, sampai menekan arteri yang memperdarahi saraf optik sehingga tidak dapat melakukan perfusi ke saraf optik dan menyebabkan kehilangan penglihatan dalam waktu kurang dari 90 detik.[40]
Sebelum keadaan ini, dapat ditemukan trauma, diplopia, proptosis yang disertai penurunan visus, relative afferent pupillary defect (RAPD), oftalmoplegia, edema periokular, dan tanda peningkatan tekanan intra orbita, seperti adanya ketegangan pada palpebra dan tahanan saat ingin melakukan eversi.[40]
Gambar 2: Gambaran Funduskopi Ablatio Retina
Traumatic Optic Neuropathy (TON):
Traumatic optic neuropathy (TON) terjadi akibat benda yang menyebabkan cedera, secara langsung membuat defek pada saraf optik, karena letaknya di dalam, maka ini jarang terjadi. Manifestasi yang sering ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah penurunan ketajaman visus, RAPD (bila TON unilateral), tidak mampu melihat warna atau achromatopsia, dan gangguan lapang pandang.[40]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada cedera mata meliputi berbagai kelainan fungsional dan struktural mata dengan gambaran klinis yang dapat ditemukan pada cedera mata. Diagnosis banding cedera mata tergantung dari etiologi dan bagian mata yang terkena. Beberapa penyakit yang menjadi diagnosa banding trauma kimia antara lain, abrasi kornea, ulkus kornea, dan konjungtivitis.[31,36]
Abrasi Kornea
Abrasi kornea dapat terjadi karena defek epitel kornea. Pada abrasi kornea didapatkan keluhan nyeri tajam yang hebat pada mata, sensasi benda asing, fotofobia, penglihatan kabur. Abrasi kornea depat disebabkan trauma kimia maupun mekanik pada mata, penggunaan kontak lens, serta infeksi. Abrasi kornea yang terjadi karena proses infeksi biasanya didapatkan pola tertentu, dapat setelah akibat riwayat trauma 1-2 minggu sebelumnya, serta pada pemeriksaan kultur didapatkan etiologinya, misalnya bakteri.[34]
Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva, dimana pada trauma kimia didapatkan juga inflamasi pada konjungtiva. Keluhan yang dirasakan pasien yaitu mata merah, rasa mengganjal pada mata, rasa terbakar, terkadang fotofobia. Namun, pada konjungtivitis biasanya disebabkan oleh virus, bakteri, maupun alergi; sedangkan pada cedera mata, peradangan pada konjungtiva didahului oleh kejadian trauma.[35]
Ulkus Kornea
Ulkus kornea merupakan defek pada kornea yang terjadi dari lapisan epitel sampai dengan stroma, lesi yang timbul biasanya akan menyebabkan kerusakan yang irreversible pada lapisan kornea dalam bentuk jaringan parut. Ulkus kornea dapat disebabkan oleh infeksi dan non infeksi, seperti autoimun, trauma dan defisiensi vitamin A.[32,33]
Lapisan kornea, khususnya membran Bowman, tidak dapat beregenerasi. Hal ini menyebabkan kerusakan yang irreversibel pada epitel kornea, sehingga saat terjadi proses penyembuhan dapat terbentuk jaringan parut. Hal ini sama dengan trauma akibat zat kimia, dimana adanya debris inflamasi yang meninggalkan bekas jaringan parut.[32,33]
Manifestasi klinis ulkus kornea yang disebabkan oleh infeksi, dapat dibedakan dengan non infeksi, seperti trauma, dengan membedakan etiologinya. Etiologi infeksi dapat dilihat dari anamnesis yang mengarah pada infeksi dan bukan trauma, serta dari kultur atau biakan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada cedera mata mekanik dilakukan dengan tujuan menilai gangguan struktur bola mata akibat trauma. Pemeriksaan penunjang yang terutama dipilih pada kasus cedera mata sebagai gold standard adalah CT scan.
Radiologi
Pemeriksaan CT Scan merupakan pemeriksaan gold standard dalam cedera mata namun tidak semua daerah di Indonesia dapat mengakses CT scan, sehingga foto polos dan ultrasonografi lebih sering digunakan di daerah.[24,25]
Computed Tomography (CT) Scan:
Computed Tomography (CT) scan pada cedera mata dilakukan untuk mendeteksi dan melokalisasi adanya benda asing intraokular. Pemeriksaan CT scan membantu menilai integritas struktural bola mata, tulang orbita dan jaringan di sekitar bola mata secara tiga dimensi, termasuk perdarahan (hifema dan perdarahan vitreus) dan hematoma serta dislokasi lensa.[24-26]
Cedera mata dapat menyebabkan fraktur orbita, dimana sangat mungkin disertai dengan displacement otot-otot ekstraokular. Pemeriksaan CT scan dapat membantu mengidentifikasi keadaan ini. Selain itu, CT scan juga dapat mengidentifikasi adanya ablatio retina akibat cedera mata.[24-26]
X-ray atau Foto Polos:
Rontgen atau X-ray dilakukan untuk menilai adanya kelainan struktural, terutama pada tulang-tulang yang membentuk dinding orbita dan kepala leher. Foto polos juga dapat membantu mengidentifikasi benda asing, namun kelemahan dari x-ray adalah pemeriksaan ini kurang sensitif untuk menilai struktur jaringan lunak yang membentuk bola mata. Akan tetapi, x-ray tetap digunakan pada area yang sumber daya pemeriksaannya terbatas, misalnya pada area terpencil yang tidak memiliki sarana CT scan.[24]
Ultrasonografi:
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada cedera mata cukup sering digunakan, karena non-invasif dan cost effective. Ultrasonografi dapat membantu klinisi untuk mengidentifikasi kelainan pada lensa dan lesi bagian posterior bola mata akibat cedera mata.[24,26]
Manifestasi yang dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ultrasonografi antara lain, perdarahan vitreus, floaters, ablatio retina, benda asing, struktur sklera dan jaringan di sekitar mata, seperti otot-otot ekstraokular. Di Indonesia, penggunaan ultrasonografi untuk cedera mata lebih sering digunakan di daerah-daerah tertentu dimana akses CT scan sulit didapat.[24,26]
Optical Coherence Tomography (OCT):
Pemeriksaan Optical Coherence Tomography (OCT) pada cedera mata dilakukan untuk melihat dengan jelas bagian posterior bola mata, termasuk mengidentifikasi retinopati dan makulopati yang menyertai cedera mata. Pemeriksaan ini sangat jelas untuk mengevaluasi bagian posterior bola mata, namun tidak aksesibel di semua tempat.[28]
Magnetic Resonance Imaging (MRI):
Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membantu mengidentifikasi benda asing di mata serta posisinya. Akan tetapi, MRI tidak disarankan dilakukan jika dicurigai ada benda asing logam, sehingga dibandingkan CT scan, MRI jarang digunakan.[24,27]
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkap pada cedera mata dilakukan untuk mengetahui status hematologi pasien. Pemeriksaan ini berperan dalam membantu penentuan tatalaksana dan persiapan pembedahan.[4]
Prothrombin Time (PT), activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), bleeding time (BT) pada cedera mata dilakukan untuk melihat adanya gangguan pembekuan darah dan faktor koagulasi. Hal ini juga akan mempengaruhi penatalaksanaan cedera pada pasien.[4]