Patofisiologi Degenerasi Makula
Patofisiologi degenerasi makula belum dipahami secara baik, namun penelitian-penelitian yang ada mengaitkan faktor genetik, jalur biokimia serta sistem komplemen dengan perjalanan penyakit ini.
Teori-teori yang ada sekarang terutama berfokus pada proses yang terjadi di lapisan epitel pigmen retina, fotoreseptor, dan kompleks membran Bruch. Epitel pigmen retina atau retinal pigmen epithelium (RPE) adalah lapisan yang penting untuk menunjang metabolisme dan fungsi lapisan fotoreseptor retina serta memiliki fungsi fagositosis.
Saat proses penuaan terjadi, fungsi sel-sel di lapisan ini berkurang sehingga terjadi akumulasi residu metabolisme dari segmen luar fotoreseptor di intraselular epitel pigmen retina dalam bentuk lipofusin.
Selain itu terjadi, pula perubahan pada permeabilitas membran Bruch sehingga residu yang seharusnya dapat dibuang melalui pembuluh darah koriokapilar menjadi deposit di ruang antara epitel pigmen retina dan membran Bruch yang kemudian membentuk lesi drusen (khas pada degenerasi makula).[3]
Lesi drusen menginduksi kaskade inflamasi yang berperan dalam progresivitas degenerasi makula. Lesi drusen akan menyebabkan penebalan membran Bruch, disfungsi epitel pigment retina, dan kerusakan fotoreseptor.
Degenerasi Makula Tahap Lanjut
Degenerasi makula tahap lanjut, terutama tipe non-eksudatif, dapat ditandai dengan atrofi geografik. Lesi ini ditandai dengan area berbatas tegas di pole posterior retina, atrofi pada epitel pigmen retina, fotoreseptor dan koriokapilar. Atrofi lapisan-lapisan tersebut membuat pembuluh darah koroid menjadi lebih tampak jelas.[1,3]
Degenerasi lapisan epitel pigmen retina akan memicu disfungsi pada membran Bruch yang menyebabkan terpisahnya koriokapiler dari lapisan epitel pigmen retina sehingga timbul kondisi iskemia.
Kondisi iskemia tersebut memicu pengeluaran faktor vascular endothelial growth sehingga terbentuk neovaskular abnormal di lapisan epitel pigmen retina. Pembuluh darah abnormal tersebut mudah mengalami kebocoran dan perdarahan serta dapat berinvolusi menjadi jaringan parut, yang pada tahap lanjut degenerasi makula (terutama tipe eksudatif) yang ditandai dengan jaringan parut berbentuk disciform.[3,5]
Penelitian genetik menunjukkan korelasi yang kuat antara mekanisme jalur komplemen dengan degenerasi makula, terutama poliformisme nukleotid pada gen komplemen faktor H (CFH) di kromosom 1 serta gen PLEKHA1 dan LOC387715 pada kromosom 10. Dua bentuk polimorfisme, yakni Tyr402His pada kromosom 10q26 dan Ala69Ser berkaitan dengan risiko genetik degenerasi makula hingga 50-75% pada populasi Kaukasian.
Penyakit dakriosistitis juga paling umum ditemukan pada etnis Kaukasian. CFH merupakan inhibitor jalur komplemen. Gangguan fungsi CFH menyebabkan aktivasi kaskade komplemen terus menerus dan reaksi inflamasi pada jaringan subretina. Aktivitas komplemen juga dapat meningkat sebagai respon terhadap permukaan sel mikroorganisme.
Beberapa kandungan rokok juga dapat memicu aktivitas-aktivitas tersebut. Aktivasi sistem komplemen menyebabkan kerusakan selular yang merupakan proses utama pada degenerasi makula. Teori patofisiologi ini dibuktikan dengan ditemukannya banyak protein sistem komplemen dalam lesi drusen pasien degenerasi makula.[1,3]
Selain jalur komplemen, jalur biokimia lain seperti jalur imunitas innate yakni reseptor toll-like 3 dan 4, jalur proteolisis atau metabolisme drusen yakni HTRA1, serine protease, jalur perbaikan DNA yakni ERCC6, transkripsi DNA yakni RAX2, jalur metabolisme lipid, regulasi fungsi matriks ekstraseluler pada beberapa penelitian juga menunjukkan keterkaitannya dengan patogenesis degenerasi makula.[1]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri