Diagnosis Diplopia
Diagnosis diplopia dilakukan untuk menemukan etiologi yang mendasari timbulnya keluhan. Diplopia memiliki diagnosis banding yang sangat luas. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kondisi patologi di mata, orbita, otot ekstraokular, neuromuscular junction, ataupun sistem saraf pusat.
Pada saat pasien datang, penting untuk membedakan kondisi kegawatdaruratan dengan yang tidak. Contoh penyebab diplopia yang membutuhkan terapi segera adalah stroke, aneurisma, dan diseksi.[2,4,8]
Anamnesis
Anamnesis secara jelas dan komprehensif pada diplopia harus dilakukan, meliputi awitan mendadak atau perlahan, melibatkan satu atau dua mata, durasi intermiten atau konstan, objek kedua bergeser secara horizontal (gambar berdampingan) atau vertikal (gambar di atas satu sama lain), nyeri dengan atau tanpa gerakan okular, tingkat keparahan, adanya variabilitas terkait posisi kepala atau arah pandangan, faktor yang memberatkan dan menghilangkan, serta riwayat diplopia sebelumnya.
Untuk menginvestigasi penyebab diplopia, pendekatan berikut dapat digunakan:
- Tentukan apakah hanya satu saraf yang terlibat. Keterlibatan banyak cabang saraf umumnya menandakan penyebab yang lebih serius dan membutuhkan evaluasi yang lebih mendalam, termasuk modalitas pencitraan neurologi
- Tentukan apakah pasien mengalami nyeri. Adanya nyeri kepala derajat berat, terutama bila awitannya mendadak, umumnya membutuhkan investigasi segera dan lebih lanjut karena adanya kemungkinan aneurisma serebral
- Lakukan investigasi terkait komorbiditas, terutama diabetes dan gangguan tiroid. Diabetes dapat menyebabkan mononeuropati kranial yang melibatkan saraf kranial ke III, IV, dan VI
- Identifikasi awitan dan progresi dari manifestasi. Apabila gejala membaik seiring waktu, kemungkinan penyebab diplopia bersifat jinak. Gejala yang berfluktuasi dapat menandakan adanya myasthenia. Sementara itu, gejala dengan awitan yang mendadak umumnya berhubungan dengan iskemia[9]
Selain itu, diperlukan penilaian disfungsi saraf kranial, seperti kelainan penglihatan akibat gangguan saraf kranial II; mati rasa area dahi dan pipi akibat gangguan saraf kranial V; kelemahan wajah akibat gangguan saraf kranial VII; pusing, gangguan pendengaran, atau kesulitan berjalan akibat gangguan saraf kranial VIII; dan kesulitan menelan atau berbicara terkait gangguan saraf kranial IX dan XII. Keluhan adanya kelemahan dan kelainan sensorik secara intermiten atau konstan juga harus diperhatikan.
Gejala nonneurologi dari penyebab potensial juga harus dipastikan, antara lain mual, muntah, dan diare yang terkait botulisme; jantung berdebar, sensitif terhadap panas, dan penurunan berat badan terkait penyakit Graves; serta kesulitan mengontrol kandung kemih terkait multiple sclerosis.[2,4,5]
Riwayat penyakit sebelumnya, riwayat obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat operasi mata, serta riwayat trauma area wajah dan kepala juga perlu ditanyakan.[1,2,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada diplopia dimulai dengan pemeriksaan tanda-tanda vital dan adanya tanda-tanda toksisitas seperti apatis dan kebingungan.[4]
Pemeriksaan mata dimulai dengan konfirmasi diplopia monokular atau binokular, menilai posisi awal mata, mengukur ketajaman visual, penilaian lapang pandang, menilai adanya eksoftalmus, ptosis, kelainan pupil, gerakan mata yang tidak sesuai, dan nistagmus selama pengujian motilitas mata. Pemeriksaan oftalmoskopi dilakukan, terutama jika dicurigai terdapat kelainan pada lensa dan retina.
Pada anak, keluhan diplopia mungkin sulit diidentifikasi. Manifestasi diplopia pada anak dapat berupa mata memicing, menutup satu mata dengan tangan, atau menggunakan posisi kepala yang tidak wajar saat melihat sesuatu.[4,5,9]
Uji Motilitas Okular
Uji motilitas okular dapat membantu menentukan disfungsi otot dan saraf kranial, antara lain:
- Jika penglihatan ganda lebih buruk saat melihat ke satu sisi dan lebih baik melihat ke sisi lain, serta jika mata tampak juling, maka kemungkinan besar otot rektus lateral tidak berfungsi yang umumnya akibat paresis saraf VI[4,9]
- Jika terdapat derajat ptosis yang bervariasi atau disfungsi pupil, deviasi okular, serta keterbatasan dari otot-otot ekstraokular yang terlibat, maka kemungkinan adanya kelumpuhan saraf III parsial[9,10]
- Jika pasien cenderung memiringkan kepala untuk mendapatkan penglihatan yang lebih baik dan jika penglihatan ganda terutama vertikal dan paling buruk melihat ke satu sisi dan ke bawah, maka kemungkinan terjadi kelumpuhan saraf IV[4,9]
Uji motilitas okular harus dilakukan dengan meminta pasien mengikuti objek target dengan matanya, tanpa menggerakan kepala. Dokter menggerakkan target secara perlahan ke segala arah pandangan, yaitu arah kanan, kiri, kanan dan kiri atas, serta kanan dan kiri bawah. Pemeriksaan perlu dilakukan di setiap mata secara terpisah.
Setelah pengujian motilitas, dilakukan cover test dan cover-uncover test untuk menentukan adanya deviasi atau strabismus dengan kedua mata terbuka atau hanya ketika satu mata terbuka.[2,4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding diplopia sangat luas. Setiap lesi yang mempengaruhi batang otak, dapat mempengaruhi nukleus atau fasikulus saraf kranial, melibatkan jalur vestibulo-okuler atau fasikula longitudinal medial, dapat menjadi diagnosis banding diplopia.[2,5]
Botulisme
Botulisme ditandai dengan paralisis neuromuskular yang bersifat mendadak, memiliki karakteristik descending dan simetris, dimulai dari otot leher, otot respirasi, hingga ke tungkai, dan memburuk dalam beberapa hari. Kondisi ini disebabkan oleh toksin dari bakteri Clostridium botulinum.[2,5,11-13]
Pada pemeriksaan fisik ditemukan gangguan saraf kranial, antara lain ptosis, gangguan penglihatan, diplopia, penurunan refleks kornea, disfagia, kelemahan otot wajah, disartria, dan penurunan refleks menelan. Selain itu, dijumpai gangguan saraf otonom berupa hipotensi, bradikardia, diare diikuti konstipasi, dan retensi urine. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan toksin, kultur, dan elektromiografi.[11-13]
Convergence Insufficiency
Kondisi ini adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan kesejajaran mata binokular pada objek dekat, ditandai dengan penglihatan kabur pada objek dekat, ketegangan mata, dan frank diplopia. Diagnosis cukup ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan tanda-tanda kardinal utama,berupa peningkatan titik dekat konvergensi, penurunan amplitudo konvergensi fusional, dan eksodeviasi lebih besar pada saat dekat.[1,2,5,14]
Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barre dapat menyebabkan terjadinya diplopia ketika mempengaruhi saraf okulomotor, yang dikenal sebagai varian Miller-Fisher. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan peningkatan kadar antibodi GQ1b.[2,5]
Ensefalopati Wernicke
Ensefalopati Wernicke adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B1 dengan trias klasik berupa ensefalopati, ataxic gait, dan disfungsi okulomotor. Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan dua dari empat tanda berikut, antara lain defisiensi diet, tanda okular (ophthalmoplegia), disfungsi serebelar, dan perubahan kondisi mental atau gangguan memori ringan.[2,15]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada diplopia dilakukan untuk menegakkan etiologi dan menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Evaluasi oftalmologi dianjurkan untuk memantau dan membantu menggambarkan defisit lebih lanjut.[2,4,5]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dipilih sesuai indikasi setelah dilakukan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan antibodi anti-asetilkolin (ACh), anti–muscle-specific receptor tyrosine kinase (MuSK), dan low-density lipoprotein receptor-related protein 4 (LRP4).[2,4,5]
Selain itu, pemeriksaan tiroid juga perlu dipertimbangkan, termasuk pengukuran kadar thyroid-stimulating hormone (TSH), free T4, antibodi tiroperoksidase, dan thyroid-stimulating hormone receptor antibody.[4,5]
Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan CT scan atau MRI area tengkorak dan orbita dipertimbangkan jika diplopia dicurigai disebabkan oleh patologi intrakranial, misalnya fraktur blow out, pembesaran otot pada oftalmopati tiroid, tumor orbita, tumor sepanjang jalur saraf kranial, peningkatan tekanan intrakranial, aneurisma arteri karotis intrakranial, fistula kavernosa karotis, penyakit sinus, dan kelainan tulang yang menyebabkan perpindahan mata.[2,4,5]
Pemeriksaan pencitraan juga direkomendasikan pada kasus diplopia awitan baru, terutama pada pasien berusia < 50 tahun dengan temuan neurologis dan diplopia progresif atau riwayat kanker.[2,5]