Epidemiologi Dry Eye Syndrome
Berdasarkan data epidemiologi, dry eye syndrome atau keratokonjungtivitis sicca merupakan penyakit mata yang paling sering dijumpai, dengan prevalensi mencapai 50% secara global. Insidensi dry eye syndrome ditemukan lebih tinggi pada populasi Asia, dibandingkan Eropa atau Amerika Utara
Global
Dry eye syndrome merupakan salah satu penyakit mata yang paling sering ditemukan secara global. Prevalensi dry eye syndrome (DES) bervariasi antara 20–50% pada populasi umum di dunia. Secara umum, DES lebih sering dijumpai pada usia lanjut dan jenis kelamin perempuan.[5]
Namun, prevalensi pada kelompok usia muda juga diketahui meningkat, yaitu ditemukan pada 30–65% pekerja kantor. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan alat-alat elektronik dan lensa kontak.[5,9]
Insidensi dan prevalensi DES diketahui lebih tinggi di Asia, dibandingkan Eropa dan Amerika Utama, diduga akibat peranan budaya atau perbedaan ras. Sebuah metaanalisis tahun 2018, melaporkan prevalensi dry eye syndrome sebesar 17%.[3,10]
Evaporative dry eye disease (EDE) merupakan jenis yang paling banyak ditemukan, yaitu sekitar 50%. Sedangkan prevalensi aqueous deficient dry eye (ADDE) sebesar 14%. Pada 36% kejadian dry eye syndrome, dapat ditemukan defisiensi aqueous dan juga evaporatif. Sekitar 10% pasien dengan dry eye syndrome yang signifikan, menderita sindrom Sjogren.[4,5,11]
Indonesia
Hingga saat ini belum ada data epidemiologi dry eye syndrome secara nasional.[12]
Mortalitas
DES jarang menyebabkan mortalitas secara langsung. Sebagian besar kasus DES derajat keparahannya ringan hingga sedang, sehingga dapat membaik setelah diobati. Namun, DES dapat mengalami komplikasi, misalnya ulkus kornea, terutama pada pasien yang juga mengalami sindrom Sjogren. Ulkus kornea atau perforasi kornea dapat menyebabkan terjadinya kebutaan.[5]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra