Diagnosis Neuritis Optik
Diagnosis neuritis optik dapat ditegakkan dengan adanya trias klasik yang terdiri dari hilangnya penglihatan, nyeri periokular, dan diskromatopsia. Neuritis optik seringkali berkaitan dengan multiple sclerosis.
Penyebab neuropati optik lainnya perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, terutama jika pasien mengalami kehilangan penglihatan bilateral. MRI adalah modalitas pemeriksaan penunjang yang utama karena dapat mengidentifikasi tanda peradangan saraf optik secara langsung.
Anamnesis
Pasien dengan neuritis optik seringkali mengeluhkan rasa nyeri pada pergerakan bola mata diikuti dengan penglihatan yang memburuk terutama pada satu mata. Hanya 10% pasien yang mengalami gejala di kedua mata secara bersamaan. Neuritis optik bilateral lebih sering ditemukan pada anak usia 12-15 tahun.[1,7]
Pasien juga bisa menggambarkan keluhannya sebagai penglihatan yang tidak jelas, kontras yang buruk, warna yang terlihat kotor atau pucat, dan pandangan yang gelap. Setelah awitan subakut, ketajaman visual pasien akan terus memburuk selama beberapa hari. Pada pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, umumnya gejala terberat dialami dalam 1 hingga 2 minggu setelah awitan penyakit, kemudian akan membaik.
Rasa nyeri dan memburuknya penglihatan sangat mengganggu, sehingga sebagian besar pasien akan segera memeriksakan diri tanpa menunggu apakah gejala dapat membaik dengan sendirinya. Nyeri saat menggerakan bola mata tidak ditemukan pada 8% pasien yang lesi inflamasi utamanya terletak pada bagian intrakranial saraf optik.[7]
Fenomena Klasik Neuritis Optik
Dua fenomena klasik yang dikaitkan dengan neuritis optik adalah fenomena Pulfrich dan Uhthoff. Fenomena Pulfrich adalah kondisi saat sebuah objek yang digerakkan mengayun linear, dipersepsikan pasien sebagai bergerak melingkar. Fenomena ini juga bisa ditemukan pada orang normal bila salah satu matanya ditutup dengan filter abu-abu.
Sementara itu, fenomena Uhthoff adalah memburuknya penglihatan saat terjadi kenaikan suhu tubuh yang bisa diakibatkan oleh aktivitas fisik atau setelah mandi air hangat. Kejadian ini lebih sering terjadi bila manifestasi klinis neuritis optik lainnya sudah mulai membaik atau bila menjadi kronis. Fenomena Uhthoff umumnya timbul pada pasien yang juga mengalami multiple sclerosis.[2,7,13]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan oftalmologi dapat memberikan bukti objektif untuk membantu menegakan diagnosis. Pada neuritis optik unilateral, reaksi cahaya pupil secara langsung dan konsensual yang menyertai dari pupil yang lain akan ditemukan lebih lemah pada mata yang terkena cahaya dibandingkan mata yang tidak. Temuan ini dikenal sebagai defek pupil aferen relatif (RAPD). Kondisi ini juga bisa ditemukan dengan bantuan tes cahaya berayun.[2]
Ketajaman visual pada neuritis optik beragam, dapat berkisar dari 0 yaitu tidak ada persepsi cahaya hingga 1,5. Pada 67% pasien ditemukan ketajaman visual di bawah 0,5. Sebanyak 3% pasien yang mengalami neuritis optik mengalami kebutaan. Di lain pihak, ketajaman visual lebih besar dari 1,0 ditemukan pada 11% kasus.
Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya skotoma pada tengah lapang pandang. Sebanyak 33% kasus mengalami defisit ringan pada mata sisi berlawanan juga. Pemeriksaan visus dan lapang pandang penting dilakukan untuk mendeteksi perkembangan atau perburukan penyakit selama pemantauan.[7,14]
Diskus optik biasanya tampak normal, namun bisa ditemukan adanya edema pada 33% kasus. Persepsi warna diuji dengan meminta pasien untuk melihat sebuah objek berwarna dengan 1 mata terlebih dahulu, kemudian dengan mata lainnya. Warna objek seharusnya tampak memiliki saturasi yang sama pada kedua mata. Mata yang terkena neuritis optik cenderung akan melihat warna menjadi lebih gelap dan pucat.[7]
Diagnosis Banding
Pada pasien pediatrik, diagnosis banding neuritis optik perlu mempertimbangkan kasus infeksi dan pascainfeksi yang dapat menyebabkan gejala gangguan saraf optik. Pada pasien yang berusia di atas 50 tahun, pertimbangkan kemungkinan neuropati optik iskemik, misalnya akibat diabetes mellitus. Pada pasien dengan kehilangan penglihatan di kedua mata, diagnosis alternatif harus dipikirkan terlebih dulu.[20,21]
Neuropati Optik Iskemik
Neuropati optik iskemik lebih banyak ditemukan pada pasien berusia di atas 50 tahun. Penyebab neuropati iskemik dapat dibagi menjadi penyebab arteritik dan nonarteritik. Neuropati optik iskemik nonarteritik adalah bentuk yang paling sering muncul. Neuropati optik iskemik nonarteritik adalah gangguan iskemik idiopatik dari kepala saraf optik yang ditandai dengan kehilangan penglihatan yang bersifat akut, monokular, dan tanpa rasa sakit, disertai dengan pembengkakan cakram optik. Kehilangan penglihatan terjadi karena perfusi yang buruk dalam sirkulasi arteri siliaris posterior yang mensuplai kepala saraf optik. Sementara itu, neuropati optik iskemik arteritik umumnya terjadi pada pasien lebih dari 70 tahun dan biasanya disebabkan oleh arteritis temporal. Berbeda dengan penyakit neuropati optik iskemik, pasien dengan neuritis optik umumnya mengalami perbaikan penglihatan meskipun tidak mendapat terapi.
Neoplasma
Berbagai kasus neoplasma dapat menyebabkan kompresi saraf optik yang menimbulkan gejala serupa neuritis optik. Massa sellar dan parasellar (kraniofaringioma, meningioma, atau adenoma hipofisis), meningioma selubung saraf optik, dan lesi metastasis perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding.
Neuropati Optik Genetik
Neuropati optik genetik juga dapat memberi manifestasi klinis yang mirip dengan neuritis optik. Contoh penyakit ini adalah neuropati optik herediter Leber dan atrofi optik tipe Kjer autosomal dominan.
Neuropati Optik Kompresif
Neuropati optik kompresif dapat menyebabkan kehilangan penglihatan bertahap seiring pertumbuhan lesi, meskipun presentasi klinis bisa bersifat akut. Pasien bisa mengeluhkan nyeri maupun tanpa nyeri. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan kompresi adalah abses, aneurisma arteri karotis oftalmik, oftalmopati tiroid, dan pseudotumor serebri. MRI otak dan orbita dapat mengonfirmasi diagnosis.
Neuropati Optik Toksik atau Metabolik
Diagnosis banding lain yang perlu dipikirkan adalah neuropati optik akibat toksin, obat, radiasi , maupun defisiensi nutrien (vitamin B1, B12, atau asam folat). Biasanya, keterlibatan bersifat bilateral dan awitan mungkin akut atau progresif lambat.
Trauma
Cedera kepala tertutup dapat merusak saraf optik dan memberi gejala serupa neuritis optik. Hal ini utamanya ditemukan pada kasus trauma yang melibatkan segmen intraorbita atau intrakanalikuli. Patomekanisme dapat berupa memar ataupun perdarahan yang mempengaruhi saraf optik. Pada kasus yang lebih jarang, saraf optik dapat mengalami transeksi atau avulsi.[21]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan neuritis optik adalah pemeriksaan laboratorium darah, analisis cairan serebrospinal, MRI, dan OCT.[4]
Laboratorium Darah
Pemeriksaan darah yang direkomendasikan adalah pemeriksaan darah lengkap, C-reactive protein, gula darah sewaktu, serologi infeksi, dan serologi autoimun yang dicurigai. Dalam kasus yang mengarah akibat infeksi, pasien sebaiknya diuji untuk sifilis, penyakit Lyme, serta infeksi Bartonella dan West Nile virus. Di daerah endemik atau riwayat pajanan, tes quantiferon merupakan baku emas untuk tuberkulosis. Pemeriksaan autoantibodi dapat dilakukan pada pasien neuritis optik yang dicurigai akibat Neuromyelitis Optica Spectrum Disorder (NMOSD) dan MOG. Walaupun tidak spesifik, namun pemeriksaan antinuclear autoantibodies (ANA) juga sering dijumpai pada pasien dengan neuritis optik NMOSD dan MOG dibandingkan yang disebabkan oleh multiple sclerosis.[7]
Analisis Cairan Serebrospinal
Pasien dengan neuritis optik tipikal tidak memerlukan studi laboratorium dan pungsi lumbal. Sementara itu, kasus atipikal akan memerlukan pemeriksaan yang lebih lengkap untuk menetapkan regimen pengobatan yang benar, khususnya pada anak-anak, kasus bilateral, atau ketika dicurigai adanya penyakit sistemik dan infeksi. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal meliputi penentuan protein total, albumin, IgG, IgA, IgM, glukosa laktat, jumlah sel, analisis mikrobiologi/virologi, dan pita oligoklonal. Perbandingan pita oligoklonal protein dalam cairan serebrospinal dapat memprediksi risiko multiple sclerosis.[4]
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pencitraan MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting dalam kasus neuritis optik karena dapat mengungkapkan peradangan saraf optik secara langsung, biasanya pada sekuens T1 dengan kontras. Namun, MRI sendiri tidak bisa digunakan sebagai pengganti diagnosis klinis. Meningioma selubung saraf optik dapat terlihat persis seperti neuritis optik pada MRI dan harus dicurigai jika penyematan kontras tidak hilang dalam 3 bulan.[7]
Penyematan kontras yang terlihat lebih dari setengah panjang saraf optik atau terus berlanjut hingga kiasma optikus perlu dicurigai sebagai neuromyelitis optica. Penting juga untuk menentukan apakah terdapat fokus demielinasi pada otak, kelainan ini paling sering muncul pada corpus callosum dan area periventrikular yang paling terlihat pada gambaran sekuens T2-FLAIR. Fokus aktif dari multiple sclerosis akan menyerap media kontras. Jumlah lesi tipikal pada white matter adalah kriteria yang paling penting untuk memperkirakan risiko terjadinya multiple sclerosis. Multiple sclerosis hanya terjadi pada 25% pasien dengan hasil MRI yang tidak menunjukkan adanya fokus demielinasi di otak.[4,7]
Optical Coherence Tomography (OCT)
Optical Coherence Tomography (OCT) dapat mengidentifikasi inflamasi retina walaupun ringan, edema makula, perubahaan mikrosistik, atau neovaskularisasi. Pada pasien yang mengalami neuritis optik akut, pemeriksaan OCT dapat menunjukan adanya edema serabut saraf retina, penipisan sel ganglion dan lapisan pleksiform dalam, serta hilangnya serabut retina peripapilar. Namun, korelasi hasil OCT, prognosis visual, dan respons tata laksana masih belum jelas, sehingga dengan OCT saja tidak dapat menentukan manajemen lanjutan.[1]