Pendahuluan Strabismus
Strabismus adalah deviasi salah satu atau kedua bola mata dari posisi normalnya, sehingga seseorang sulit mengarahkan kedua bola mata secara simultan saat hendak memfokuskan pandangan pada sebuah objek. Normalnya, kedua mata memiliki kedudukan yang sama, atau orthophoria, dan bergerak secara simultan sehingga bayangan objek/target visual jatuh pada fovea. Strabismus dapat mengenai satu mata/unilateral maupun kedua mata/bilateral.[1–3]
Strabismus dibagi menjadi 2 tipe, yaitu concomitant dan incomitant. Strabismus concomitant adalah strabismus dengan sudut deviasi yang sama pada seluruh arah gerakan bola mata dengan otot ekstraokular masih dapat bergerak maksimal. Strabismus incomitant adalah strabismus dengan sudut deviasi berbeda pada berbagai posisi lirikan disertai pergerakan otot ekstraokular yang terbatas. Pola deviasi “A” dan “V” termasuk dalam strabismus incomitant.[3–6]
Gambar 1. Anak dengan Strabismus.
Arah deviasi pada strabismus dapat dibedakan menjadi horizontal, vertikal, dan cyclodeviation. Deviasi horizontal terdiri dari esotropia (mengarah ke dalam) dan eksotropia (keluar), sedangkan deviasi vertikal terdiri dari hipertropia (ke atas) dan hipotropia (ke bawah). Cyclodeviation adalah rotasi pada aksis anteroposterior atau rotatorik. Eksotropia dan esotropia adalah bentuk yang sering ditemukan pada strabismus.[4,7–10]
Pola deviasi “A” adalah bertambah jauhnya jarak kedua pupil (divergen) dengan semakin ke bawah arah pandangan, seperti membentuk huruf A. Sebaliknya, pola deviasi “V” adalah semakin jauhnya jarak kedua pupil dengan arah pandangan yang semakin ke atas, seperti membentuk huruf “V”.[11]
Strabismus terjadi karena adanya gangguan struktur atau sistem neuromuskular yang mengontrol otot–otot ekstraokular untuk mempertahankan posisi bola mata dan menggerakan kedua bola mata. Strabismus berdasarkan etiologinya dapat dibagi menjadi primer dan sekunder. Strabismus primer biasanya idiopatik dan terjadi pada bayi dan anak–anak. Strabismus sekunder merupakan strabismus yang terjadi karena penyakit tertentu atau trauma.[12–15]
Neonatus dapat menunjukkan gejala strabismus horizontal intermittent, tetapi hal ini masih dapat dikatakan normal. Apabila bertahan sampai usia >3 bulan, maka perlu dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut. Strabismus dapat menjadi salah satu tanda patologis yang berbahaya, misalnya retinoblastoma atau keadaan patologis intrakranial.[1]
Penatalaksanaan strabismus bertujuan untuk mengembalikan penglihatan binokular. Tata laksana yang dipilih meliputi pemakaian kacamata, terapi oklusi, dan tindakan operatif. Penatalaksanaan pada strabismus juga harus meliputi etiologinya.[3,10,12,15]
Komplikasi yang sering dan sangat ditakutkan pada strabismus adalah ambliopia. Selain mengganggu tumbuh kembang anak, kondisi ini juga mengganggu performa akademik dan masa depan anak. Strabismus dapat memberikan dampak yang buruk pada psikososial dan sosioekonomi pasien apabila tidak mendapatkan tata laksana yang optimal.[16]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli